jpnn.com - Permukiman kumuh menjadi masalah laten yang dialami kota-kota di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, kawasan permukiman kumuh secara nasional meluas dua kali lipat. Pada tahun 2014, Indonesia memiliki kawasan kumuh seluas 38.000 hektare. Tahun ini, luas kawasan kumuh menjadi 87.000 hektare.
Meluasnya kawasan kumuh ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan. Apalagi Jakarta dengan angka migrasi masuk tinggi setiap tahunnya mengalami persoalan serius dalam menata permukiman kumuh yang dimilikinya.
BACA JUGA: Sahabat Penyatu PMKRI Minta Jokowi Menata Ulang Komunikasi Politik Lingkaran Istana
Dalam rilis Kementerian Agraria dan Tata Ruang, terdapat 118 dari total 267 desa/kelurahan di DKI Jakarta dikategorikan sebagai kawasan kumuh. Jumlah ini mencapai hampir 50 persen dari total kawasan hunian di Jakarta. Kawasan kumuh paling tinggi terdapat di Jakarta Utara, yaitu 39 persen. Kemudian diikuti Jakarta Barat 28 persen, Jakarta Selatan 19 persen, Jakarta Timur 12 persen, Jakarta Pusat 11 persen, dan Kepulauan Seribu 1 persen.
Kriteria kawasan kumuh di Jakarta ditentukan melalui sepuluh indikator, yaitu kepadatan penduduk di atas 1.700 jiwa per hektare, rumah tidak memiliki ventilasi atau dalam keadaan buruk, tata letak bangunan tidak teratur, tempat tinggal tidak sesuai dengan standar konstruksi tempat tinggal, kepadatan bangunan lebih dari 354 unit per hektare.
BACA JUGA: Gelar Konferensi Studi Nasional, PMKRI Menyoroti Persoalan HAM dan Ekologi
Selain itu, tidak memiliki saluran air sehingga terjadinya penggenangan, kondisi jalan rusak atau jalan tidak terbuat dari beton/aspal, tidak memiliki jamban atau jamban dalam kondisi buruk, tidak adanya penerangan jalan umum, dan frekuensi pengangkutan sampah lebih dari 3 kali sehari.
Urbanisasi dan Congestion Forces
Rindarjono (2013) menempatkan urbanisasi sebagai faktor utama munculnya masalah permukiman kumuh di daerah perkotaan. Urbanisasi dalam perspektif luas didefinisikan sebagai pertumbuhan perkotaan melalui pertambahan populasi, perkembangan infrastruktur ekonomi, serta suprastruktur sosial, budaya, dan politik. Dalam perspektif sempit, urbanisasi adalah migrasi dari desa menuju kota. Dalam konteks ini, urbanisasi yang dimaksud adalah migrasi dari desa ke kota. Di Indonesia, migrasi desa-kota menyumbang 20 persen terhadap pertumbuhan penduduk perkotaan.
Urbanisasi sejatinya memiliki dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi. Pertambahan jumlah penduduk akibat migrasi ini akan turut meningkatkan permintaan barang dan jasa, sehingga menggerakkan roda ekonomi melalui produksi dan penawaran barang dan jasa. Tingginya permintaan dan penawaran menumbuhkan faktor-faktor aglomerasi dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi produktivitas dan inovasi. Para pencari kerja dan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja akan terhubung dengan cepat, pertukaran ide dan pengetahuan akan terjadi dengan baik, dan setiap orang akan mudah untuk mengakses pasar. Urbanisasi memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Namun, manfaat kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat ini menjadi terhambat karena pengelolaan faktor-faktor kepadatan (congestion forces) tidak dilakukan secara baik. Migrasi masuk ke daerah perkotaan telah meningkatkan kepadatan penduduk dalam suatu kawasan permukiman. Kegagalan dalam mengelola congestion forces ini melahirkan permukiman-permukiman kumuh dan perumahan yang terlalu padat. Dampak lebih besarnya adalah perkembangan kota menjadi tidak terkendali (urban sprawl).
Jakarta merupakan kawasan metro multi-distrik yang separuh wajahnya menampilkan kekumuhan. Setiap tahun, lebih dari 70 ribu orang bermigrasi ke Jakarta untuk melanjutkan hidupnya. Kepadatan penduduk Jakarta saat ini 15.663 jiwa per kilometer persegi. Jakarta yang terus dibombardir oleh migrasi memiliki keterbatasan lahan untuk dapat menampung secara layak para pendatang dari daerah ini. Bagi sebagian pendatang yang mampu untuk survive karena keahlian yang dimilikinya, Jakarta menjadi tempat yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Tetapi, bagi sebagian yang tidak mampu untuk survive, akan berpotensi menciptakan masalah dengan menjamurnya permukiman kumuh.
Kegagalan mengelola congestion forces di Jakarta telah melahirkan kawasan-kawasan kumuh. Survey pada tahun 2015 menemukan satu hal lain yang menyumbang kekumuhan Jakarta, yaitu kekurangan perumahan layak huni yang terjangkau dan kurangnya akses yang memadai untuk pembiayaan kredit perumahan menjadi penyebab menjamurnya kawasan kumuh di Jakarta.
Paradigma Kota Industri
Jauh sebelum Jakarta menampilkan wajah kumuhnya saat ini, seorang filsuf sosialis asal Jerman, Friedrich Engels telah menguraikan fakta kota-kota di Inggris yang dipenuhi dengan kawasan-kawasan kumuh. Engels dalam tulisannya “The Great Towns” pada tahun 1844, menunjukkan bagaimana revolusi industri pertama mempengaruhi transformasi kota Manchester, London, Brimingham, dan Leeds yang mengorbankan human nature. Kengerian urbanisme industri di Inggris mengubah bentuk fisik kota-kota dan memperburuk kualitas hidup masyarakat (pekerja).
Perubahan bentuk fisik kota-kota di Inggris ketika itu terjadi melalui pemisahan secara tajam bagian-bagian kota antara para pekerja dengan golongan menengah ke atas, yaitu kaum borjuis-kapitalis. Para pekerja menghuni pada bagian dalam kota, dekat dengan kawasan industri mereka bekerja. Sementara, golongan menengah ke atas menghuni bagian luar kota. Permukiman yang dihuni oleh para pekerja menampilkan kekacauan rumah yang tidak terencana, bersesak-sesakkan, dan lingkungannya kotor. Kontras dengan kawasan yang dihuni golongan menengah ke atas. Kondisi demikian mempengaruhi kualitas hidup para pekerja di Inggris. Polusi udara, air kotor, dan bangunan kumuh menurunkan kesehatan para pekerja. Banyak yang meninggal karena kebutuhan-kebutuhan pokok mereka tidak terpenuhi.
Apa yang ditunjukkan Engels sebenarnya juga menjadi fenomena umum kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke 19 dan awal abad ke 20. Seorang sosiolog dan perencana kota asal Amerika Serikat, Lewis Mumford mengkritik bagaimana kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat hanya melayani kepentingan ekonomi, lalu mengabaikan nilai-nilai spiritual komunitas manusia dan relasi dengan lingkungan alam. Dalam tulisannya “What is a City?” di tahun 1937, dia secara konsisten menyatakan, desain fisik dan fungsi ekonomi sebuah kota harus melayani fungsi kota sebagai komunitas manusia dan relasinya dengan lingkungan (fungsi sosial kota). Kota dipandang sebagai teater aksi sosial yang menekankan pentingnya peran aktor secara maksimal. Panggung dengan segala pernak-perniknya mendukung aktor untuk memerankan aksinya.
Baik Engels maupun Mumford menolak paradigma kota yang berbasis pada revolusi industri. Dasar argumentasi Engels pada pemisahan kelas borjuis-kapitalis dengan kelas pekerja, sehingga kota menjadi medium penindasan secara struktural oleh kaum borjuis-kapitalis terhadap kaum pekerja. Sementara, kritik Mumford terhadap paradigma kota industri ini ditujukan kepada orientasi ekonomi sebuah kota telah mengabaikan fungsi sosial yang sebenarnya paling utama. Kepentingan ekonomi/bisnis ini menjadikan lingkungan fisik perkotaan tidak teratur dan tidak koheren karena mengabaikan batasan-batasan ukuran kota. Munculnya kawasan-kawasan kumuh menyebabkan fungsi sosial kota menjadi kacau.
Problematika kekumuhan Jakarta hari ini adalah konsekuensi atas paradigma kota industri yang dimilikinya. Kengerian urbanisme industri yang dipaparkan Engels di Inggris pada tahun 1844 terjadi juga di Jakarta hari ini. Kawasan-kawasan kumuh yang menutupi hampir separuh Jakarta adalah dampak orientasi ekonomi/bisnis. Kekumuhan ini seolah hal lumrah demi mewujudkan keuntungan ekonomi yang besar. Komunitas manusia dan relasinya dengan lingkungan (fungsi sosial) sebagai keutamaan kota dalam pandangan Mumford, menjadi tidak berarti di hadapan fungsi ekonomi Jakarta. Hal inilah yang menjadi kegagalan kota-kota masa lalu di Eropa dan Amerika, dan Jakarta mengulanginya saat ini.
Menyelamatkan Jakarta
Jakarta membutuhkan suatu langkah radikal untuk menyelamatkan wajah kumuh yang dimilikinya. Langkah ini tidak saja terbatas pada tataran teknis/kebijakan, melainkan dimulai dari paradigma pembangunan kota. Paradigma kota industri yang mementingkan fungsi ekonomi/bisnis harus diganti dengan paradigma kota sebagai komunitas manusia yang membutuhkan kenyamanan relasi dengan lingkungannya, dalam bahasa Mumford sebagai teater aksi sosial. Paradigma kota sebagai teater aksi sosial akan memungkinkan Jakarta menjadi tempat yang baik dalam melayani kehidupan komunitas manusia (masyarakatnya). Fungsi ekonomi dan penataan fisik kota menopang fungsi sosial ini.
Implikasi perubahan paradigma ini adalah adanya pembatasan ukuran suatu kota/kawasan permukiman. Kota Jakarta akan menjalankan fungsi sosialnya secara efektif apabila ukuran kepadatan dan luas kawasannya dibatasi. Pembatasan yang dimaksud bukanlah pembatasan pertumbuhan populasi melalui kelahiran dan migrasi, tetapi upaya perencana kota dan pengambil kebijakan untuk melipatgandakan jumlah pusat-pusat aktivitas masyarakat. Perencanaan dan kebijakan ini disebut dengan kota berinti ganda. Pola pengembangan kota seperti ini umum terjadi di Amerika dan Eropa. Apa yang dulunya dianggap mustahil dilakukan, sekarang kota-kota di sana telah berhasil mengurangi permukiman kumuh dengan sangat signifikan.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta sejatinya telah memuat skema pengembangan kota berinti ganda. Daerah Gambir merupakan pusat utama, kemudian didukung oleh pusat-pusat ke dua sebagai pusat wilayah dan pusat pelayanan lokal. Keberadaan pusat-pusat ini dalam paradigma kota sebagai fungsi sosial harus melayani komunitas manusia yang bermukim di sekitarnya. Namun, hal ini kontras dengan yang terjadi di lapangan. Permukiman penduduk tidak mengikuti pusat-pusat kegiatan. Permukiman liar terjadi di bantaran-bantaran sungai di DKI Jakarta, seolah-olah dibiarkan muncul dan berkembang.
Pengelolaan congestion force Jakarta harus mengikuti perubahan paradigma kota sebagai fungsi sosial. Maka, pemerintah perlu untuk mengintervensi iklim investasi perumahan di Jakarta, agar tidak mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan hunian yang layak. Selain itu, kebijakan untuk tidak membatasi arus migrasi masuk ke Jakarta sudah tepat dilakukan oleh gubernur Anies, karena bagaimana pun di alam demokrasi, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencari dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, kebebasan ini perlu diadministrasikan secara baik dan menata lingkungan fisik Jakarta sesuai dengan perencanaan tata ruang dan wilayahnya.
Langkah ini perlu ditopang kuat secara kelembagaan pemerintah. Di samping itu, menyelamatkan wajah kumuh Jakarta membutuhkan political will seorang gubernur, sejauh mana dia berkomitmen untuk menata Jakarta sesuai dengan perencanaan kotanya. Setelah komitmen pemimpinan dan perkuatan kelembagaan, tantangan selanjutnya adalah mengubah karakter masyarakat yang dipengaruhi oleh paradigma lama bagaimana sebuah kota bertumbuh. Dibutuhkan kerjasama multipihak untuk mendorong perubahan paradigma ini, sehingga dapat membentuk karakter baru masyarakat. Jika semua ini berjalan baik, agenda reforma agraria di Jakarta menjadi langkah penting selanjutnya untuk menyelamatkan wajah kumuh Jakarta hari ini.(***)
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia dan Ketua Lembaga Kajian Isu Pengurus Pusat PMKRI
Redaktur & Reporter : Friederich