jpnn.com - TOMEGORO Yoshizumi dikirim ke Jawa pada 1932 ketika Jepang sedang menjalankan spionase agresif. Di penghujung Perang Dunia II, Yoshizumi membelot ke pihak Indonesia. Tan Malaka memberinya nama Bung Arif.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Perempuan Berkebaya di Laman Google Kemarin Siapa Ya?
Lahir pada 1911 di Oizumi-Mura Nishitagawa, Prefektur Yamagata, Jepang, di usia 21 tahun, Yoshizumi berangkat lebih dahulu ke Selatan tanpa diketahui teman-temannya.
“Belakangan diketahui bahwa Yoshizumi mendapat tugas menjadi mata-mata militer Jepang di Hindia Belanda,” ungkap Nogi Harumichi, kawan sejawat Yoshizumi dalam Japan at War, an Oral History.
BACA JUGA: Mike Marjinalâ¦Balada Punk Indonesia
Nogi Harumichi Direkrut Aliansi Mahasiswa Patriotik di Universitas Nibon. Dia dipersiapkan menjadi intelijen untuk invasi ke Selatan. Aliansi Mahasiswa Patriotik merupakan bagian dari gerakan sayap kanan Aliansi Internasional Anti Komunis.
Aliansi ini memiliki akademi di wilayah Meguro Tokyo, yang dikepalai oleh Kaneko, murid pemimpin gerakan sayap kanan Iwata Ainoke. “Tomegoro Yoshizumi siswa akademi tersebut,” tulis Haruko Taya Cook dan Theodore Failor Cook dalam Japan at War an Oral History.
BACA JUGA: Jokowiâ¦Siapkan Palangka Raya jadi Ibu Kota Indonesia
Di Lampung, Yoshizumi pernah berperan sebagai pekerja di warung kelontongan. Di Jawa, sebagaimana dicuplik dari buku Jejak Intel Jepang, dia buka rumah pelacuran.
Begini ceritanya...
Jadi, pada awal 1930-an, Jepang mengutus satu tim opsir kesehatan ke Jawa untuk mengamati kondisi-kondisi sanitasi serta statistik penyakit. Laporan tim opsir kesehatan itu sangat teliti dan terperinci.
“Laporan inilah yang digunakan penguasa Jepang untuk merencanakan bagaimana menghindari timbulnya penyakit di antara pasukan mereka ketika penyerbuan kelak,” ungkap Richard Deacon, dalam Menyingkap Dinas Rahasia Jepang: Kempei Tai.
Buku ini terbit pertama pada 1983 dengan judul Kempei Tai: A History of The Japanese Secret Service. Deacon, sang penulisnya, digadang-gadang sebagai pakar intelijen dunia.
Ada yang menarik dari temuan tim sensus kesehatan tersebut. Rupanya sejumlah besar orang Jawa golongan atas yang bekerja dalam pemerintahan Belanda suka mendatangi rumah pelacuran.
Informasi ini dimanfaatkan Jepang untuk membuka sejumlah rumah pelacuran di Jawa. Tujuannya, untuk memancing dan merekrut orang-orang Jawa yang bekerja dalam pemerintahan menjadi mata-mata.
Menurut Deacon, banyak orang Jawa berhasil direkrut dan aktif menjadi agen Jepang di dalam lingkungan pemerintahan Hindia Belanda.
“Residen direktur agen-agen intelijen ini adalah seorang saudagar terkemuka bernama Tomegoro Yoshizumi,” tulisnya.
Yoshizumi tak hanya bergerak di Jawa. Dia juga memainkan peran cukup brilian di Sulawesi.
“Yoshizumi berhasil membangun keyakinan bahwa orang Jepang dan Minahasa berasal dari ras yang sama; Mongol,” tulis Gerry van Klinken, profesor sejarah Asia Tenggara dan peneliti senior KITLV dalam Minorities, Modernity and the Emerging Nation, Christians in Indonesia, A Biographical Approach.
Van Klinken menyebut, ada dua petugas Jepang yang jadi spesialis Minahasa, yaitu Tomegoro Yoshizumi dan Earl Hideo Kodama. “Yoshizumi sangat dekat dengan Ratu Langie dan AA Maramis,” tulis Van Klinken.
Pada 1935, setelah tiga tahun di Selatan, Yoshizumi pulang kampung ke Jepang. Beberapa waktu kemudian dia kembali lagi ke tanah Jawa. Kali ini, dia melakoni peran sebagai jurnalis.
Yoshizumi bekerja untuk Nichiran Shogyo Shinbun, koran bisnis Jepang di Hindia Timur (Nishi: Jepang, Ran: Hindia Timur/Belanda, Shogyo: Bisnis, Shinbun: surat kabar). Koran ini dipimpin Kubo Tat Suji, seorang penganjur Asianisme yang gigih.
Nichiran Shogyo Shinbun--pertama terbit pada 1934—merupalan koran kedua milik Jepang di Jawa. Koran pertamanya, Jawa Nippo milik Tsukada Tekigai yang pertama terbit pada 1920.
“Nichiran Shogyo Shinbun lebih bernuansa politik ketimbang Jawa Nippo,” kata Guru Besar Universitas Waseda Jepang, Ken’ichi Goto dalam korespondensi via email dengan saya, tempo hari.
Pada 1937, Nichiran Shogyo Shinbun membeli Jawa Nippo. Dua koran milik Jepang itu lebur jadi satu dan berganti nama menjadi Tohindo Nippo (Harian Hindia Timur). Di sinilah Tomegoro Yoshizumi memainkan lakon barunya (lihat foto). Sang intelijen berpropaganda melalui media!
Total Intelijen
Spionase Jepang telah dimulai semenjak 2.400-an tahun silam, sejak Sun Tzu, ahli strategi Tiongkok, menyebarkan teknik-tekniknya di bidang intelijen.
Jepang tak hanya menggunakan spionase untuk kepentingan politik dan militer, seperti banyak dilakukan negara lain. Spionase ala Jepang mencakup semua bidang.
Menurut Deacon, Jepang menerapkan total intelijen. Setelah menyempurnakan teknik Sun Tzu, Jepang menjalankan spionase militer, ekonomi, industri, ilmu dan teknologi, kebudayaan, selera konsumen, kotak saran, tingkah laku manusia, ekologi, dan seterusnya.
Spion-spion Jepang melakukan banyak penyamaran untuk mendapatkan informasi penting. Ada yang menjadi wartawan, nelayan, tukang potret, kuli, penunggu toko kelontong, mengoperasikan rumah pelacuran hingga menjadi bintang film.
Berdasarkan kajiannya, apabila Jepang mempelajari gagasan dari bangsa lain, mereka pasti memperbaiki gagasan tersebut. Artinya, semangat yang diusung bangsa Jepang: cari dan temukan praktik terbaik di seluruh dunia dan lakukan perbaikan atasnya.
“Di antara semua bangsa di dunia, tidak ada yang melebihi hasrat bangsa Jepang dalam hal ingin menguasai ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan senantiasa menjadi landasan berpikir bagi Dinas Rahasia Jepang,” tulis Deacon.
Tomegoro Yoshizumi menjabat Kepala Intelijen Kaigun Bukanfu yang dipimpin Laksamana Maeda, saat Jepang mengambil alih Indonesia dari Belanda.
Di penghujung Perang Dunia II, Yoshizumi yang semula antikomunis, menjadi kiri dan membelot ke pihak Indonesia. Tan Malaka memberinya nama Bung Arif. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Misteri Hilangnya Arsip Negara
Redaktur & Reporter : Wenri