Misteri Hilangnya Arsip Negara

Kamis, 16 Maret 2017 – 17:30 WIB
Potret gedung ANTARA di lantai 2 bioskop Metropole, Cikini. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com

jpnn.com - MESKI milik negara, ternyata kantor berita ANTARA pernah digoyang angkatan bersenjata. Wartawan dan awaknya ditangkap. Dan entah apa yang dipikirkan, arsip ANTARA dibakar. Selapis bukti sejarah negeri ini pun hangus.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Kisah Satu Babak Perfilman Indonesia

Sepekan lalu, 7 Maret 2017, dalam sebuah perburuan sejarah, JPNN.com bertandang ke Galeri Foto ANTARA, Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Tulisan di muka gedung itu, cukup mencuri perhatian: PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA 17 AGUSTUS 1945 DIPANCARKAN KE SELURUH PENJURU DUNIA DARI GEDUNG BERSEJARAH INI.

BACA JUGA: Bukan Haji Salman, ini Manuver Ibnu Saud

Kantor berita resmi milik Republik Indonesia ini pernah dilanda nestapa, medio 1965. "Ditertibkan" oleh sekelompok orang yang disebut aparat keamanan.

"1965. Pada zaman PKI, seluruh arsip ANTARA dibakar," kata Koswara, pejabat Dokumentasi Foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA.

BACA JUGA: Dan Mantra itu pun Bersemayam di Gunung Sepuh

"PKI yang bakar?"

"Bukan!"

Nestapa ANTARA

"Saya ditangkap oleh militer pada hari Jum'at, 15 Oktober 1965, di Kantor Pusat Berita ANTARA," kenang Rusiyati, yang bekerja di ANTARA sejak 1954.

"Saya masih ingat," sambungnya, "di tanggal satu Oktober 1965 siang hari, kantor kami dan beberapa kantor berita harian Ibukota lainnya sudah kena pelarangan terbit oleh KODAM V JAYA."

Pun demikian, para pegawai ANTARA tetap masuk kantor tiap hari. Baik bagian redaksi maupun bagian administrasi.

"Kehadiran kami di kantor dengan maksud tetap siap untuk segera menerbitkan bulletin bilamana pelarangan terbit dicabut kembali," kenang Rusiyati, sebagaimana disampaikan Ratih Miryanti, 23 September 2006 di Amsterdam, Belanda.

Ibu-ibu…bapak-bapak dan para hadirin yang saya hormati, saat ini kehadiran saya sebagai putri kelima dari Ibu Rusiyati karena diminta oleh Oom Sarmadji selaku koördinator dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia di Amsterdam, untuk membacakan sebagian dari karya tulisan Ibu Rusiyati tentang kesaksiannya sebagai wartawan, yang mengalami peristiwa Gerakan Satu Oktober, disingkat GESTOK 1965.

Nah, berikut ini cuplikannya…

8 Oktober 1965. Kantor kami didatangi oleh Letnan Kolonel Noor Nasution dari Palembang. Dia menyatakan bahwa kedatangannya atas tugas untuk memimpin Pusat Kantor Berita ANTARA.

Kami sangat heran terhadap penugasan dirinya sebagai pemimpin kami. Dan sejak saat itu Pusat Berita ANTARA dibawah pimpinan seorang militer.

11 Oktober 1965. Bulletin ANTARA terbit kembali. Waktu itu saya sebenarnya masih menjabat wakil ketua Desk Dalam Negeri tapi dalam proses penerbitan bulletin tidak dilibatkan. Biar bagaimana pun saya setiap harinya tetap masuk kantor.

15 Oktober 1965. Gedung kantor ANTARA dikepung oleh pasukan militer dari Komando Daerah Militer Jakarta, disingkat KODAM Jaya.

26 Pegawai kantor ditangkap dengan cara satu persatu dipanggil namanya untuk berkumpul di ruang redaksi.

Mereka yang dipanggil untuk ditangkap, yaitu pimpinan umum redaksi bernama Soeroto serta lainnya yang menduduki posisi ketua dan wakil ketua dari redaksi afdeling Desk Dalam Negeri, Ekonomi, Luar negeri maupun News Agency.

Di samping itu ada satu orang dari bagian administrasi, berfungsi sebagai ketua bagian ketik, bernama Tini juga diikut sertakan.

Dari mereka ternyata hanya dua perempuan, yaitu saya dan Tini yang tertangkap. Saya dengar bahwa tanggal 14 November 1965 masih dilakukan pembersihan lagi di bagian Afdeling Luar Negeri dengan 14 orang menjadi korban penangkapan.

Siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju komplek KODAM V Jaya. Sesampainya di komplek tersebut, kami disuruh turun dari mobil untuk berjalan menuju ke salah satu gedung bernama Penyelidikan Khusus, LIDIKUS.

Esok paginya, yaitu tanggal 16 Oktober 1965 kami dipanggil oleh pimpinan LIDIKUS bernama Letnan Adil supaya berkumpul di ruangan besar.

Dikatakannya bahwa tempat gedung LIDIKUS kurang memadai buat kami dan untuk itu akan dipindahkan ketempat yang lebih baik.

Beliau tidak menyebutkan nama tempatnya tapi ternyata pada siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju kantor Corps Polisi Militer (CPM) di Jalan Guntur.

Sesampainya di CPM-Gundur segera diadakan pemeriksaan barang-barang yang kami bawa.

Pada waktu itu saya hanya membawa tas berisi kartu pers, kartu izin masuk istana, surat undangan untuk pertemuan 'Angkatan 45' dan uang.

Tas beserta isinya dan jam tangan yang saya pakai disita. Saya dan Tini dipisahkan dari rombongan laki-laki kemudian disuruh berjalan menuju koridor, yaitu gang panjang yang lebarnya kurang lebih 2 meter. Didalam koridor tersebut ada 2 meja dan 2 kursi.

Pada tengah malam ketika kami sedang tidur nyenyak di atas meja, saya dibangunkan oleh seorang berpakaian militer.

Saya dibawa melalui koridor menuju ke ruangan lain. Ruangannya besar dan di situ sudah ada 3 orang berpakaian militer sedang diinterogasi oleh satu orang militer.

Mereka duduk di barisan belakang, sementara itu saya disuruh duduk di barisan paling depan supaya berjauhan dengan 3 orang tersebut.

Dalam proses interogasi, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus mengenai suami saya. Saya menjawab bahwa suami saya saat ini berada di RRT dalam rangka kunjungan resmi sebagai wakil generasi Angkatan '45 bersama delegasi MPRS, pimpinan Chaerul Saleh.

Di samping itu suami saya juga anggota SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Dalam interogasinya dia tidak mengajukan pertanyaan yang sehubungan dengan fungsi kerja saya sebagai wartawan di ANTARA.

Bahkan juga tidak menyinggung masalah penerbitan bulletin terbitan 1 Oktober…siang hari yang memuat berita mengenai peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober).

Setelah melalui proses interogasi cukup lama lantas saya dikembalikan ke tempat semula.

Sementara itu Tini kelihatannya sudah tidur nyenyak sedangkan perasaan dan pikiranku hanya terpancang pada anak-anakku karena tidak mengetahui keberadaan saya.

Saya berusaha untuk bisa tidur tapi kekhawatiran terhadap anak bungsuku yang masih balita membutuhkan susu ibu sangat saya rasakan.

Keesokan pagi harinya saya dan Tini dipanggil untuk kembali ke tempat ruangan di mana kami kemarin harinya diterima.

Kami berdua disuruh duduk dan tidak lama kemudian rombongan laki-laki datang dari arah ruangan lain memasuki ruangan di mana kami sedang duduk.

Lantas mereka disuruh duduk di atas lantai dengan masing-masing kedua tangannya ditaruh di belakang kepala.

Saya sangat kaget dan cemas karena para militer tersebut memperlakukan mereka sangat kasar bahkan bajunya pun sudah penuh dengan lumuran darah dan juga tidak bersepatu.

Mereka menceritakan pengalamannya bahwa malam harinya ketika mereka sedang tidur nyenyak tiba-tiba masuk sekelompok orang berpakaian hitam secara mendadak menghampirinya langsung memukuli serta menyiksanya sambil berteriak-teriak "Komunis".

Suatu kali kami berdua dipindah ke gedung lain tapi masih tetap di dalam kompleks KODAM V Jaya. Mengenai rekan laki-laki lainnya, kami sudah tidak tahu lagi nasibnya. Gedung yang kami tuju sangat mendapat penjagaan ketat dan bersenjata.

Ketika kami memasuki ruangan, ternyata di situ sudah ada tawanan para pimpinan perempuan, antara lain ketua umum GERWANI Umi Sardjono, anggota pimpinan pusat BTI (Barisan Tani Indonesia) Dahliar dan tiga anggota perempuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti Mudigdo, Salawati Daud dan Kartinah.

Ke 5 tokoh perempuan tersebut ternyata ditangkap ketika Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) sedang berlangsung, yang diadakan di Jakarta tanggal 17 Oktober 1965.

Masih ada seorang perempuan lain di mana sebelumnya tidak pernah saya kenal. Dia perlakuannya agak aneh karena setiap malam hari berteriak-teriak, juga di setiap siang harinya ngomong tidak karuan bahkan terkadang tertawa sendiri tanpa sebab.

Sekitar 3 hari kemudian, saya dan Tini dibawa kembali menuju gedung LIDIKUS. Lima Ibu-ibu lainnya juga diikut sertakan bersama kami.

Pada waktu yang sama saya mendapat surat pemecatan sebagai pegawai ANTARA dan juga dicantumkan pernyataan tidak berhak menerima tunjangan hari tua.

Desember 1965. Saya, Tini dan 5 ibu-ibu lainnya dipindahkan ke penjara Bukit Duri di Kampung Melayu. Dengan pemindahan ini saya merasa bahwa penahanan terhadap kami akan berlangsung lama.

***

Begitulah Ratih Miryanti, puteri kelima Rusyati membacakan senarai catatan ibunya dalam acara Peringatan 100 tahun Djawoto yang bertajuk "Perjuangan Wartawan Indonesia untuk Kemerdekaan Nasional, Kebebasan Pers dan Demokrasi”, di Amsterdam, 23 September 2006.

Sekadar catatan, dari penjara Bukit Duri, Rusiyati dikirim ke penjara Plantungan. Pada 1975 dipindahkan ke penjara Bulu, Semarang untuk dimasukan ke kamar isolasi selama 2 tahun. Mantan wartawan ANTARA itu dibebaskan bersyarat pada 1978.

Sayang...ANTARA

Pekan lalu, bersama sekondan lama, saya dikawani Ade P Marboen, editor ANTARA ke Galeri Foto ANTARA. Semangatnya, bertualang ke masa lampau, ke zaman Bersiap, ke zaman Revolusi Belum Selesai, melalui foto-foto bersejarah di kantor berita itu.

Namun apa boleh buat. Harapan tinggal harapan.

"Seluruh arsip ANTARA, sejak awal berdiri (13 Desember 1937--red) hingga 1965 telah dibakar," kata Koswara, pejabat Dokumentasi Foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, kepada JPNN.com.

"Kini, arsip foto ANTARA yang kami punya, yang paling tua tahun 1973. Itu pun…hingga 1980-an foto-fotonya lebih banyak seremonial," sambung Koswara.

Kami duduk melingkari sebuah meja bundar di lantai dua Museum dan Galeri Foto ANTARA. Lampunya temaram.

Sejurus kemudian, sebagai sesama orang dapur, Koswara dan Marboen saling melempar cerita. Cerita yang mereka dengar dari sejumlah saksi mata. Tentang ditangkapnya selapis wartawan ANTARA menyusul peristiwa G30S dan tragedi pembakaran arsip.

Saya bertanya, "di mana arsip-arsip itu dibakar?"

"Di sini!"

***

Menjelang matahari berganti tempat dengan rembulan, kami beranjak. Saya ke Metropole, Cikini.

Di perjalanan, saya melamunkan…apa sebenarnya yang dipikir-bayangkan Adam Malik, Soemanang, A.M. Sipahoetar dan Pandoe Kartawigoena, saat bersepakat mendirikan kantor berita ANTARA pada 13 Desember 1937.

Ke-empatnya pemuda. Paling tua umur 20-an tahun. Adam Malik bahkan masih belasan.

Entah apa yang sebenarnya mereka pikirkan. Yang pasti, apa yang dirintis empat anak muda itu, kini…jadi lembaga resmi negara; Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA.

Amboi…belum bubar itu lamunan, di lantai dua bioskop Metropole ternyata tergantung sebuah foto hitam putih dalam sebuah bingkai; foto gedung ANTARA.

Dari foto itu saya jadi tahu, rupanya tulisan PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA 17 AGUSTUS 1945 DIPANCARKAN KE SELURUH PENJURU DUNIA DARI GEDUNG BERSEJARAH INI, di muka gedung ANTARA yang cukup mencuri perhatian itu sudah menghiasi gedung tersebut sejak lama.

Jika sekarang sebaris dengan ejaan baru. Dulunya (lihat foto), tiga baris dengan ejaan lama. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sajak Bung Karno


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Sejarah  

Terpopuler