jpnn.com - AWAL Desember 2014, saya berkesempatan berdialog dengan ribuan mahasiswa penerima bidikmisi di ITS dan Universitas Negeri Semarang. Salah satunya dengan mahasiswa semester V yang sengaja hadir mengajak ibu dan bapaknya yang bekerja sebagai buruh tani. Raut muka dan tampilan fisiknya membuktikan beratnya beban hidup yang harus ditanggung.
Saya bertanya, apa cita-citanya? Ingin jadi pengusaha. Itulah jawaban sang penerima bidikmisi sambil menggandeng tangan ibu dan bapaknya dengan penuh kebanggaan.
BACA JUGA: Mengidentifikasi Korban Melalui Tengkorak
Dengan penuh percaya diri, dia bercerita bahwa sekarang dirinya mulai berusaha membuat roti brownies yang dipasarkan di kampusnya. Hasil penjualannya sudah melebihi beasiswa bidikmisi yang diterima. Bahkan, dia telah memiliki pegawai. Itulah sebagian kecil contoh benih-benih kesuksesan yang didasarkan atas rasa percaya diri, optimisme, dan berpengetahuan.
Sungguh sangat banyak kisah sukses tentang mereka yang berasal dari keluarga miskin yang mampu membebaskan diri dan keluarganya dari jerat kemiskinan. Bahkan, tidak jarang di antara mereka menjadi pelaku ekonomi nasional. Kesempatan memperoleh pendidikan yang baik menjadi salah satu kunci kisah sukses mereka. Itulah pengalaman empiris yang dengan mudah kita temukan dalam realitas kehidupan.
BACA JUGA: Parpol dan Kepemimpinan Politik
Kajian yang bersumber dari Human Development Report (2011), Global Competitiveness Report (2010–2011), dan World Bank (2011) menunjukkan hubungan yang kuat antara lama belajar (baca tingkat pendidikan) dan pendapatan per kapita yang memiliki koefisien korelasi 0,93. Koefisien korelasi lama belajar dengan daya saing (competitiveness index) adalah 0,96. Koefisien korelasi tersebut semakin meningkat apabila lama belajar dikaitkan dengan indeks pembangunan manusia secara keseluruhan (pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per kapita), yaitu 0,99.
Naiknya koefisien korelasi itu menunjukkan bahwa pendidikan memiliki efek ganda (multiplier effect). Secara statistik, makna koefisen korelasi di atas 0,9 itu berarti ’’hampir pasti’’. Artinya, tingkat pendidikan, tentu yang berkualitas, hampir pasti bisa meningkatkan pendapatan per kapita (kesejahteraan secara ekonomi), kesehatan, dan daya saing.
BACA JUGA: Reputasi Kita dari Musibah
Jeffrey D. Sach dalam bukunya The End of Poverty (2005) telah melakukan penelitian, untuk memotong mata rantai kemiskinan di pedesaan (Kenya) dan perkotaan (Mumbai, India), dapat dilakukan tiga hal: (1) menyediakan kesehatan dasar, (2) memberikan pendidikan, serta (3) membangun infrastruktur air, listrik, dan komunikasi.
Peraih Nobel Ekonomi 2007 Eric Stark Maskin juga menegaskan, solusi terbaik untuk mentas dari kemiskinan adalah meningkatkan pendidikan dan pelatihan kerja bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Jared Bernstein dalam All Together Now: Common Sense for a Fair Economy (2006) menegaskan pentingnya sebuah program yang secara sistemis mampu menolong orang miskin supaya memperoleh pendidikan yang layak dalam menjawab secara sungguh-sungguh problem untuk menurunkan tingkat kemiskinan suatu negara.
Dari kajian tersebut, sungguh sangat jelas, penyediaan layanan pendidikan setinggi-tingginya (sampai jenjang pendidikan tinggi) bagi mereka dari keluarga miskin merupakan jawaban yang paling tepat untuk persoalan kemiskinan.
Karena itu, saat merumuskan program 100 hari (Oktober 2009–Januari 2010) pemerintahan SBY-Boediono, salah satu program Kementerian Pendidikan Nasional adalah menyiapkan beasiswa bagi anak-anak miskin yang memiliki prestasi berupa pembebasan seluruh biaya kuliah di perguruan tinggi dan bantuan biaya hidup yang selanjutnya dikenal dengan bidikmisi (beasiswa pendidikan untuk anak miskin berprestasi). Setiap anak miskin memiliki misi, yaitu memberantas dan memotong mata rantai kemiskinan. Misi itulah yang akan dibidik penerima bidikmisi.
Pada tahun pertama (2010), alokasi bidikmisi sekitar 10.000 (sepuluh ribu) mahasiswa dan terus meningkat secara bertahap menjadi 70 ribu mahasiswa pada tahun akademis 2014–2015. Secara keseluruhan, saat ini telah mencapai 220 ribu mahasiswa yang tersebar di sebagian besar perguruan tinggi negeri.
Awalnya, peraturan menteri menjadi payung hukum pemberian beasiswa bidikmisi tersebut. Lantas, terus ditingkatkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Akhirnya, dalam kurun dua tahun, kebijakan afirmasi tersebut diperkuat melalui UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dengan demikian, kebijakan afirmasi tersebut bukan saja tanggung jawab kementerian terkait, pemerintah, namun sudah menjadi tanggung jawab negara.
Inilah era harapan dan kesempatan baru bagi anak-anak dari keluarga miskin yang berprestasi untuk bisa menikmati layanan pendidikan tinggi. Semula, terasa tidak mungkin untuk bisa kuliah. Jangankan kuliah, memenuhi kebutuhan keseharian saja sudah susah. Sekarang menjadi mungkin. Bidikmisi jawabannya. Tugas kita memang menjadi pemungkin (enabler), yaitu mengubah dan menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Kini, lima tahun telah berjalan, penerima bidikmisi telah menunjukkan hasil yang membanggakan: lulus cum laude, juara di berbagai lomba, aktif di berbagai kegiatan, serta kepekaan dan solidaritas sosialnya sungguh sangat mengagumkan. Bahkan, melalui dana abadi pendidikan, telah disiapkan beasiswa S-2 dan S-3 bagi mereka yang berprestasi gemilang.
Banyak di antara mereka yang diterima di perguruan tinggi top dunia. Insya Allah, dalam kurun 5–10 tahun ke depan, lahir ribuan master, doktor, pengusaha, pembebas kemiskinan, dan generasi baru yang berasal dari keluarga miskin. Itulah saat kebangkitan kaum duafa. Alangkah bahagianya saat itu. Kita bisa tersenyum dan tertawa bersama mereka sambil mengibarkan bendera Merah Putih setinggi-tingginya.
Tidakkah Allah akan mengangkat beberapa derajat orang beriman dan berilmu (QS 35: 28) dan tidakkah Nabi SAW pernah berpesan: Carikan untukku kaum duafa kalian, sebab kalian diberi rezeki dan kemenangan lantaran kaum duafa kalian. Semoga bidikmisi terus ditingkatkan sehingga semakin banyak kaum duafa yang bisa tersenyum dan berpengharapan dalam menatap masa depan menuju kejayaan Indonesia 2045. (***)
*) Penulis adalah Menteri Pendidikan Nasional 2009-2014 dan dosen Jurusan Teknik Elektro ITS
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kiai dan Jabatan
Redaktur : Tim Redaksi