Parpol dan Kepemimpinan Politik

Oleh; Airlangga Pribadi Kusman*

Selasa, 13 Januari 2015 – 04:24 WIB

jpnn.com - DALAM setiap perjuangan menuju perubahan politik, tantangan politik terbesar bukanlah pada momen kemenangan dalam pertarungan politik elektoral yang melegitimasi sebuah kepemimpinan politik. Tantangan terbesar dimulai sesaat setelah kemenangan di tangan dan seluruh pihak menanti pembuktian dari janji-janji yang terlontar sebelumnya.

Seperti halnya kerasnya perjuangan hidup, tidaklah dimulai ketika fajar menyingsing dan indahnya embun pagi menetes di dedaunan. Perjuangan hidup dimulai sesaat setelahnya, ketika terik mentari mulai menyengat dan kita berkubang dalam pusaran masalah dalam bekerja mencari bekal hidup kita.   

Pada konteks inilah peran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang saat ini tengah merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-42 menemukan relevansinya. Sebagai kekuatan utama pendukung presiden terpilih dalam pergantian rezim, PDIP dituntut desakan sejarah untuk merealisasikan apa yang telah dicanangkan sebagai janji politik kepada rakyat Indonesia.

BACA JUGA: Reputasi Kita dari Musibah

Dalam babak baru pasca-Pilpres 2014, PDIP sebagai bagian dari political resource (sumber daya politik) dari kekuasaan menghadapi tantangan baru untuk merealisasikan laku kepemimpinan politik. Kepemimpinan yang diharapkan berjalan seiring dengan ideologi kerakyatan dan kehendak publik dalam mengelola hidup bernegara.

Kunci keberhasilan maupun kegagalan politik dalam setiap pemerintahan terletak pada kemampuan dari pemimpin untuk mengelola kepemimpinan politik. Dalam konstelasi politik modern, seperti diutarakan profesor ilmu politik dari MIT Richard J. Samuels (2003), kepemimpinan politik dapat dimaknai sebagai kemampuan pemimpin dalam mengelola sumber daya sosial yang tersedia untuk melenturkan segenap hambatan politik yang dihadapi demi mencapai visi politik yang dicita-citakan.

BACA JUGA: Kiai dan Jabatan

Sumber daya yang secara potensial dimiliki pemimpin untuk mengelola kehidupan bernegara dapat berupa ideologi politik untuk menjaga dukungan politik publik; dukungan institusi seperti partai politik maupun gerakan sosial. Sementara hambatan politik adalah kekuatan sosial yang membatasi pilihan-pilihan politik yang tersedia bagi pemimpin untuk melakukan transformasi sosial.

Menyoroti dinamika politik Indonesia terkini, pemahaman akan kepemimpinan politik seperti di atas dapat kita proyeksikan untuk memahami perjalanan kepemimpinan politik dwitunggal Joko Widodo-Jusuf Kalla selama lima tahun ke depan. Sehubungan dengan posisi PDIP, sebagai agensi politik, partai ini dapat memerankan diri sebagai sumber daya utama sebagai penentu bagi keberhasilan kepemimpinan politik maupun sebaliknya menjadi constraining variable (variabel penghalang). Ketika hasrat kekuasaan mengalahkan komitmen untuk membaktikan diri bagi perwujudan ideologi nasionalisme kerakyatan (marhaenisme) yang menjadi alasan keberadaannya.  

Memobilisasi Sumber Daya
Sehubungan dengan peran PDIP sebagai pendukung pemerintahan baru, ada beberapa hal yang perlu dicermati agar peran partai menjadi lebih konstruktif sebagai bagian strategis dari sumber daya politik kekuasaan. Pertama-tama, PDIP sebagai partai yang lahir dari rahim ideologi nasionalisme kerakyatan –sebagai bagian dari ajaran Soekarno– saatnya menemukan kembali elan vitalnya sebagai partai pelopor.

BACA JUGA: Alkoholisme: Antara Harapan dan Balas Dendam

Dalam risalah Soekarno Mencapai Indonesia Merdeka (1933), beliau menekankan tugas partai politik yang harus berpegang teguh dalam disiplin politik sebagai kekuatan yang menjadi suluh bagi kehendak bersama. Partai politik memiliki tugas mengolah tenaga rakyat dalam perjuangan politik dalam kehidupan bernegara. Disiplin politik yang diperlukan PDIP sebagai sumber daya kekuasaan di era baru ini bukanlah disiplin hierarkis yang membiakkan patronase politik yang telah berurat akar dalam kehidupan kepartaian di Indonesia.

Disiplin politik yang penting ditanamkan bukanlah disiplin kader-kader yang mengabdi pada kepentingan oligarki kekuasaan sehingga menjadikan kader-kadernya perangkat dari praktik-praktik pertahanan kemakmuran dari para petinggi elitenya. Mengingat kultur feodalisme ala ”bangsawan oesoel” yang memenjarakan daya hidup rakyat bumiputra inilah yang sebenarnya dikecam dan ingin dihancurkan Soekarno dalam setiap pesan-pesan di tulisannya.

Disiplin partai yang diharapkan lahir harus berpijak pada spirit kesetaraan politik modern, budaya demokrasi, dan pengabdian pada agenda kerakyatan yang menjadi titik temu bersama dari segenap kekuatan sosial yang melahirkan kepemimpinan baru dalam Pilpres 2014.     

Kedua, sebagai rahim yang melahirkan kepemimpinan baru dengan harapan-harapan perubahan yang menggelora, PDIP tidak hanya dituntut merevitalisasi diri sebagai partai modern dengan disiplin politik dalam kultur demokrasi. Sebagai partai politik yang berbasis ideologi nasionalisme kerakyatan, PDIP dituntut menjalankan peran aktif sebagai sumber daya pengetahuan, yang memberikan basis rujukan bagi pemerintah untuk memformulasikan kebijakan yang pro terhadap wong cilik.

Setelah lebih enam belas tahun reformasi bergulir, gerak pengetahuan technocratic proneoliberal telah berjalan jauh dari agenda-agenda politik kerakyatan. Meminjam tesis Antonio Gramsci (1971), partai politik adalah the new prince (pangeran baru) yang bertugas melahirkan pengetahuan bagi pijakan aksi politik baru yang lahir dari dinamika sosial gerak hidup masyarakatnya. 

Dalam logika technocratic propasar, privatisasi berbagai kehidupan sosial seperti pendidikan dan kesehatan telah bergerak jauh di luar kontrol politik demokratik. Akibatnya, semangat liberalisme-individual telah menghancurkan tatanan gotong royong, kesenjangan sosial begitu tinggi dengan indeks rasio Gini sebesar 0,41 persen. Tantangan terberat pemerintahan baru adalah mengembalikan semangat gotong royong dan PDIP sebagai sumber daya pemerintahan baru memiliki tugas untuk membangun jejaring pengetahuan di kalangan aktivis sosial yang secara organik bekerja di basis sosial kerakyatan maupun kalangan intelektual nasionalis yang memiliki komitmen mempertahankan basis kehidupan gotong royong yang terancam gelombang pasang neoliberalisme.

Bagi PDIP ke depan, sekarang adalah momen vivere pericoloso, momen hidup dalam pertaruhan terbesar dalam eksistensi politiknya. Ketika partai ini berhasil menempatkan diri sebagai political resource yang mendorong pemerintah untuk bekerja sejalan dengan kehendak bersama seluruh masyarakat, rakyat akan mengenangnya sebagai subjek politik progresif. Apabila sebaliknya yang terjadi, PDIP akan dihukum sejarah. Rakyat tidak akan memberikan kesempatan ketiga bagi partai tersebut untuk memimpin republik ini, menjadi nakhoda bagi perjalanan hidup bangsa. Dirgahayu PDI Perjuangan. Merdeka! (***)

*) Penulis adalah pengajar di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler