Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015?

Selasa, 04 Maret 2014 – 00:11 WIB

PERTUMBUHAN investasi sektor merupakan hal penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang selama ini lebih didominasi dari pertumbuhan konsumsi dalam negeri yang porsinya mencapai 50% dari PDB Indonesia. Upaya mendorong pertumbuhan PDB dimasa depan harus dibarengi dengan upaya serius dalam mendorong pertumbuhan investasi serta peningkatan kinerja ekspor komoditi yang selama ini melamban.


Dalam subsektor kehutanan, investasi pengusahaan produk produk kehutanan baik di hulu (on farm) maupun di industri hilir (off farm) justru terus mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut disebabkan oleh dua hal pokok yaitu, kerusakan sumberdaya hutan itu sendiri yang berimplikasi pada melemahnya keunggulan komparatif atas produk produk berbasis hasil hutan yang menjadi andalan Indonesia selama ini, dan yang kedua lemahnya system kebijakan dalam mempertahankan keunggulan komparatif (absolute advantage) atau potensi daya saing yang dimiliki untuk dapat tetap dipertahankan di pasar internasional.

BACA JUGA: Rencana Strategis Riset Indonesia


Menurut data APHI tahun 2012, jumlah unit Hak Pengusahaan Hutan-alam (HPH) tahun 2011 hanya tinggal 293 unit lagi dari 580 unit pada tahun 1992. Sedangkan jumlah HPH yang aktif pada tahun 2011 tinggal setengahnya (53%). Realisasi produksi menurun tajam dari 26 juta m3 pada tahun 1992 menjadi 4,65 juta m3 pada tahun 2011. Luas hutan yang dikelola pada tahun 1992 sebesar 43 juta hektar menjadi tinggal 16 juta hektar pada tahun 2011. Sedangkan untuk Hutan Tanaman Industri (IUPHHK HT), tampak laju pertumbuhan luas tanaman sangat rendah dengan laju rata rata 220.000 hektar per tahun. Menurut data APHI, jumlah luas tanaman kumulatif tahun 2010 sebesar 4.919.464 hektar, sedangkan target kebijakan 2005-2009 sebesar 9 juta hektar atau satu juta hektar tanaman per tahun.


Angka angka indikatif tersebut diatas menunjukkan bukti bahwa investasi kehutanan cenderung menurun secara berkesinambungan sehingga kemudian sulit dibantah secara fakta statistik jika sejumlah pihak menyebutnya sebagai investasi yang sedang surut (sunset industry). Sehingga mungkin cukup beralasan bagi pemerintah, secara finansial, untuk tidak lagi menganggap subsektor kehutanan sebagai subsektor potensial untuk mendorong pembangunan ekonomi nasional sehingga pembangunan subsektor ini bukan lagi prioritas dalam program penganggaran negara. Terlepas dari benar atau salah dalam proses pengambilan kebijakan penganggaran untuk menetapkan prioritas atas sub/sektor dalam pembangunan ekonomi nasional namun adalah fakta bahwa nalar nalar seperti demikian tetap digunakan dalam pengambilan keputusan pembangunan sektor/subsektor.

BACA JUGA: Penyakit Progeria


Rendahnya daya saing produk kehutanan Indonesia di pasar dunia merupakan salah satu inti persoalan yang menyebabkan jatuhnya investasi kehutanan. Dalam regim kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat yang berlaku saat ini maka secara teoritis rendahnya daya saing produk akhir atau produk setengah jadi secara linier berdampak pada rendahnya mobilisasi permintaan bahan baku kayu dari hutan untuk ditransformasikan menjadi barang siap ekspor. Kondisi ini menyebabkan turunnya harga kayu penghara (kayu bulat) yang diproduksi hutan, sementara produsen kayu bulat seperti HPH, HTI serta Hutan Rakyat tidak dapat mengakses harga yang menarik lebih tinggi di pasar kompetitif dunia. Sementara itu kondisi faktual yang kita hadapi di Indonesia bahkan lebih dari situasi tersebut, dimana ditengah pasar domestik bahan baku yang terdistorsi dari pasar kompetitifnya para produsen kayu bulat dihadapkan pada tingginya biaya produksi yang diduga akibat system kebijakan yang secara kumulatif bersifat disinsentif. Dalam kondisi seperti ini jangan pernah diharapkan perusahaan perusahaan kecil produsen kayu bulat di luar Jawa (HPH, HTI) yang bekerja secara independen (tidak terkait industri yang dikelola secara integrated) dapat bertahan hidup. Jadi bukanlah sesuatu yang mengherankan jika investasi di hulu maupun di hilir bisnis kehutanan secara sistemik terus mengalam penurunan.


Sampai kapan situasi ini akan terus berlaku tanpa adanya perubahan substansial dalam kebijakan?

BACA JUGA: Skizofrenia .


Dalam sebuah analisis menggunakan instrument Constant Market Share Analysis (CMSA) terhadap kinerja ekspor Indonesia yang baru baru ini dilakukan terhadap enam produk unggulan kehutanan yaitu plywood, sawnwood, particleboard, pulpwood, Medium Density Fiberboard (MDF), dan furniture (unpublished) menunjukkan bahwa antara Tahun 1990-1997/1998 keenam produk tersebut memiliki daya saing yang besar dan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja ekspor Indonesia, namun Tahun 1997/1998 produk produk tesebut mengalami kehilangan daya saing dan tidak pernah bangkit kembali sampai dengan saat ini. Posisi pangsa pasar saat ini (data 2011/2012) untuk jenis plywood hanya sekitar 14% berbeda dengan Tahun 1993 yang mencapai 53% serta pangsa pasar produk lainnya sekarang umumnya berada dibawah 2%.


Dalam analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai ekspor yang terjadi selama ini hanya disebabkan karena adanya resonansi kenaikan agregat demand atas seluruh produk barang dan jasa di pasar dunia-sebagai implikasi dari pertumbuhan ekonomi dunia yang semakin baik. Fakta fakta menunjukkan bahwa benar pertumbuhan nilai ekspor Indonesia lebih disebabkan karena kenaikan harga barang ekspor dan secara relatif hanya sedikit diakibatkan oleh kenaikan volume ekspor. Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa kenaikan harga, sebagai akibat pergeseran kurva permintaan agregat dunia memberikan pengaruh lebih dominan daripada kenaikan volume sebagai akibat kemampuan dalam bersaing merebut pangsa pasar di pasar global.


Seperti kiita fahami bahwa daya saing merupakan resultante dari dua kutub keunggulan komparatif (atau sebagian orang menyebut sebagai keunggulan absolut-keunggulan yang dimiliki secara alami), dan keunggulan kompetitif atau required advantage. Keunggulan kompetitif dipengaruhi oleh system kebijakan yang dapat menyebabkan suatu produk barang yang memiliki keunggulan komparatif bisa jadi tidak dapat bersaing di pasar karena system kebijakan yang inefisien atau bahkan sebaliknya. Sehingga untuk produk produk yang memiliki keunggulan absolut, hilangnya daya saing produk produk tersebut sebagai indikasi gagalnya system kebijakan investasi dalam mempertahankan keunggulan absolut yang dimilikinya baik akibat kebijakan berkaitan langsung dengan terjadinya distorsi pasar maupun kebijakan yang tidak langsung mempengaruhi pasar komoditi. Sebuah contoh dampak kebijakan dalam dunia agribisnis kehutanan misalnya hilangnya akses produsen kayu bulat ke pasar kompetitif kayu di pasar dunia akibat kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat menyebabkan produsen kayu bulat termasuk pengusaha Hutan Tanaman Industri dan HPH harus puas dengan harga pasar domestik yang nilainya hanya 50% dari harga pasar dunia (harga di pasar kompetitif dunia). Hal yang sama untuk harga kayu bulat meranti (Shore asp) dari hutan alam per meterkubik di pasar domestik saat ini hanya sekitar 150 dolar Amerika sedangkan di pasar internasional harganya berkisar 300 dolar Amerika untuk setiap meter kubiknya. Di pasar domestikpun produk kayu bulat dari HPH dan HTI tidak dapat bersaing dengan produk kayu bulat non HPH/HTI akibat banyaknya ongkos produksi termasuk berbagai macam biaya pungutan baik visible maupun invisible yang menyebabkan harga tidak dapat menutup ongkos produksi.


Dalam perspektif pengusahaan akan sulit membangun visi bisnis kehutanan jangka panjang dan berkelanjutan (sustainable business) dalam subsektor kehutanan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) mengingat terlalu banyak faktor bersifat uncertain.


Hal yang aneh adalah bahwa murahnya harga kayu bulat seharusnya menyebabkan industri hilir (manufaktur) menikmati insentif harga tersebut dan meningkatkan produksinya untuk ekspor karena pasar dunia masih sangat luas terbuka masuknya produk produk ekspor berbasis kayu, namun ternyata tidak demikian kenyataannya. Proteksi terhadap industri pengolah kayu tidak menyebabkan meningkatnya ekspor dan pangsa pasar di pasar global secara signifikan.


Dalam tabel diatas, secara umum hanya peningkatan ekspor pulp dalam periode 1990-2011 yang signifikan dan relatif lebih tinggi jika dibanding dengan ekspor dunia pulpwood. Sedangkan rata rata ekspor lainnya berada dibawah rata rata ekspor dunia bahkan negatif untuk plywood, sawntimber dan particleboard.


Tiga prakondisi kunci yang gagal disiapkan sebagai kondisi pemungkin (enabling conditions) yang menyebabkan terjadinya inefisiensi produksi adalah (i) asimetrik kebijakan sektor termasuk konflik kebijakan pusat dan daerah yang menyebabkan high cost economy dan keragu raguan berinvestasi jangka panjang, (ii) infrastruktur termasuk akses jalan ke bahan baku, birokrasi, dan fasilitas pelayanan publik yang dapat menyebabkan in efisiensi, dan (iii) stabilitas makroekonomi terutama stabilitas nilai tukar dan suku bunga acuan.


Saat ini terdapat 496 ribu kilometer jalan Negara di seluruh Indonesia dan mendukung kegiatan produksi, namun hanya 38% dari panjang jalan tersebut yang memiliki kualitas baik sedangkan 62% panjang jalan tersebut dengan kualitas rusak sampai rusak berat. Sebuah penelitian mengindikasikan bahwa setiap peningkatan panjang jalan 1% akan meningkatkan produktifitas 0,07%, sehingga dalam melakukan kegiatan produksi manufaktur berbasis hasil hutan kayu akses terhadap bahan baku semakin tahun semakin jauh yang menuntut pertumbuhan panjang jalan yang progresif.


Disamping itu pula sejumlah laporan, terutama bisnis di luar pulau Jawa, menyebutkan bahwa panjang jalan berbanding lurus dengan jumlah pungutan liar (invisible costs) yang membebani biaya produksi disamping semakin jauh akses ke sumber bahan baku kayu. Oleh sebab itu tidak heran jika saat ini terdapat fenomena relokasi industri plywood dari luar Jawa ke Pulau Jawa untuk menekan biaya produksi dan mungkin resiko resiko lainnya. Pergeseran disebabkan oleh ketersediaan bahan baku kayu bulat yang berkembang cukup tinggi di Pulau Jawa, dari hutan rakyat, disamping infrastruktur yang jauh lebih baik dibandingkan di luar Jawa.


Walaupun isu yang sangat klasik namun fakta lapangan menunjukkan konflik kebijakan pusat dan daerah termasuk persoalan persoalan terkait dengan kebijakan tataruang masih merupakan pemandangan hari hari yang dihadapi investor swasta yang menyebabkan ketidakpastian investasi serta keragua raguan dalam berinvestasi jangka panjang. Demikian juga fasilitas pelayanan publik yang seringkali mengenakan tariff / pungutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Negara Negara kompetitor seperti biaya yang relatif lebih besar untuk terminal handling Charge , suku bunga, dan lain lain disamping biaya birokrasi.


Banyak sekali persoalan persoalan yang sangat mendasar untuk mendongkrak pertumbuhan kemampuan bersaing produk produk agribisnis kehutanan di Indonesia yang hampir tidak tampak progresnya dari tahun ke tahun - bahkan ketiga komponen tersebut diatas merupakan cerita lebih dari lima belas tahun lalu. Sehingga dalam jangka pendek sulit kita dapat mengharapkan pertumbuhan ekspor yang signifikan akibat peningkatan daya saing dalam situasi demikian kecuali dengan memperluas konsumsi dalam negeri sendiri.


Tidaklah mengherankan jika kontribusi subsektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus anjlok dari tahun ke tahun. Pada Tahun 1997 saja kontribusi subsektor ini sebesar 1,57%, sepuluh tahun kemudian pada Tahun 2006 kontribusi tersebut menjadi 0,90%, dan pada Tahun 2011 angka kontribusi terus drop mencapai 0,7% atau sebesar Rp 51.638,1 miliar dari total PDB Indonesia Rp 7.427.086,1 menurut harga berlaku. Bahkan Tahun 2012 kontribusi tersebut terus terjun bebas menjadi 0,67%.


Mengerikan sebenarnya jika kita bayangkan seberapa siap kita menghadapi Asean Economic Community (AEC) Tahun 2015, yang lebih powerful dari CEPT- AFTA (Common preferential Tariff-Asean Free Trade Agreement). Apabila AEC Tahun 2015 tercapai maka dalam hal arus barang dan jasa, blok perdagangan Negara Negara ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan produksi tunggal yang ditandai dengan tidak adanya hambatan baik tariff maupun non tariff untuk arus barang, jasa, investasi dan faktor produksi. Keseriusan dan kesepakatan Negara Negara ASEAN atas liberalisasi perdagangan ini diperkuat dengan dibentuknya Asean Trade in Goods Agreement (ATIGA) tahun 2009.


Dalam konteks Agribisnis, khususnya subsektor kehutanan kompleksnya persoalan daya saing ekspor produk berbasis kayu serta upaya untuk memperbaikinya menuntut perombakan system kebijakan secara struktural yang rumit dan berjangka panjang dan masih jauh tingkat kesiapan kita menuju AEC 2015. Sejak 1998 kita belum pernah memiliki cerita sukses dalam upaya perbaikan daya saing sehingga diperlukan langkah langkah kebijakan jangka pendek sebagai aksi kongkrit kebijakan, paling tidak, diperlukan untuk menghentikan inefisiensi atau pemborosan pemanfaatan sumberdaya hutan (kayu bulat). `Kebijakan re-spesialisasi produk ekspor sebagai produk produk unggulan baru mungkin menjadi sebuah alternatif aksi kebijakan yang berguna dalam agribisnis kehutanan menghadapi AEC 2015. Re-spesialisasi merupakan tindakan kebijakan jangka pendek untuk menghindari pemborosan penggunaan sumberdaya hutan yang terlalu cepat dengan memberi fokus pada produk produk unggulan yang memberikan harapan.[***]

Rukmantara

* Penulis adalah Dosen Agribisnis Surya University

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gas Sarin Dan Senjata Biologis


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler