Menyingkap Ancaman Disorientasi Seksual Bocah-Bocah Limus

Selasa, 14 April 2015 – 02:02 WIB
Ilustrasi

jpnn.com - UDARA dan lingkungan Bogor makin tak sehat. Khususnya di Kampung Limus, Kelurahan Mulyaharga, Bogor Selatan. Nyaris sulit menemukan lingkungan ideal untuk tumbuh kembang anak di kampung tersebut. Disorientasi seksual pada anak dan sejumlah penyakit kanker kini hanya tinggal menunggu waktu untuk menjangkiti warga Limus.

 

BACA JUGA: Korban Bully, Siswi SMP Anak Pembantu Ini Jadi Konselor Sekolah

Kampung Limus berada di 'ketiak' Kota Bogor. Tepatnya di sepanjang bantaran Sungai Cipinang Gading, di balik kawasan elite perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR). Untuk menjangkau kampung berpenghuni 285 kepala keluarga di Kelurahan Mulyaharja, Bogor Selatan itu, hanya ada dua akses tersedia. Keduanya berupa jalan sempit dengan lebar tak lebih dari satu meter.

Perbedaan Kampung Limus dengan kampung lainnya di Kota Hujan adalah keberadaan ratusan UMKM. Di kampung ini, terdapat 129 bengkel pembuatan sandal. Jumlah itu terdiri dari 5 bengkel pengrajin sandal spon, dan 124 pengrajin muka sandal. Namun UMKM warga tak pernah mendapat pelatihan atau penyuluhan bagaimana memperlakukan limbah dengan benar.

BACA JUGA: Tekad Penggawa Persib Sebelum Bertandang ke Laos

“Sebenarnya dulu ada 60 bengkel pengrajin di sini. Tapi bangkrut karena krisis moneter tahun 1998. Sekarang tersisa 5 bengkel,” papar ketua RW 09, Kampung Limus, Toibah, kepada Radar Bogor (Grup JPNN), Senin (13/4).

Selama ini, para pengrajin memperlakukan limbah lem dan spon dengan cara dibakar atau dibuang ke sungai. Kondisi itulah yang kemudian menimbulkan masalah lingkungan. Asap putih pekat dan berbau, menjadi santapan warga setiap harinya.

BACA JUGA: Harga Ratusan Juta Rupiah, Anggap seperti Anak Sendiri

“Ini tempat pembuangan limbah tukang sandal. Jadi tanahnya warna-warni bekas dibakar. Kalau tidak dibakar, nggak bakal cukup. Sehari lima truk limbah yang datang,” tutur Damiri (63), pengelola lokasi pembuangan limbah di Kampung Pabuaran, ditemui Radar Bogor beberapa waktu lalu.

Lokasi pembuangan limbah itu merupakan inisiatif Damiri. Sebelumnya, limbah spon dan lem berserakan hingga menutup jalan kampung. Bahkan tak sedikit limbah spon mengambang di aliran sungai Cipinang Gading, anak sungai Cisadane. 

“Tadinya sampah spon meluber ke jalan. Banyak juga yang dibuang ke sungai,” ujar pria berkumis tipis itu seraya merapikan gunungan spon.

Sungai selalu menjadi tempat pembuangan yang praktis. Minimnya pengawasan pemerintah membuat sejumlah pengrajin membuang bekas spon di aliran sungai.

Radar Bogor kemudian mencoba menelusuri aliran sungai Cipinang Gading. Mulai Kampung Limus hingga Pabuaran. Kondisinya, potongan spon nampak tersangkut di bebatuan dan semak belukar. Tak jauh dari lokasi limbah, tampak sejumlah warga memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan MCK, mencuci beras dan peralatan masak.

“Sudah biasa banyak bekas spon. Malah sering dipake buat gosok panci. Di Pabuaran, masih banyak mandi dan nyuci di sungai,” tutur Heni (24), warga RT 02/03, Kampung Pabuaran, saat memandikan anaknya di tepi sungai Cipinang Gading. 

Limbah yang dihasilkan para pengerajin sandal tidak hanya spon. Bahan perekat berjenis latex dan kenon yang tak habis juga dibuang. Ketiga bahan itu berbentuk cair dan bau menyengat. Mayoritas pengrajin membuangnya ke sungai dan tanah. Sedangkan kaleng serta jeriken limbah masih laku dijual.

“Kalau kaleng bekas lem Rp2.500 per kaleng,” tukas Herman (42) pengepul barang bekas di Kampung Pabuaran.

Bukan hanya warga sekitar yang terpaksa menerima dampak buruk limbah industri sandal tersebut. Ratusan pelajar SMPN 13 juga turut merasakannya. Prihatin melihat kondisi Sungai Gading di sekitar sekolah, belum lama ini, siswa SMPN 13 Bogor meneliti kondisi sungai.

“Kami memonitor kondisi sungai dengan pengetahuan biologi yang didapat dari sekolah,” kata penanggung jawab Adiwiyata SMPN 13, Teti Suherti.

Monitoring dilakukan dengan memantau kualitas sungai sejak 2013. Hasilnya, dalam kurun waktu dua tahun, sungai Cipinang Gading masuk dalam kualifikasi kotor.

“Hasil itu diperoleh melalui monitoring berdasarkan indikator biologi. Para siswa mengamati hewan apa saja yang tumbuh di sekitar sungai, dengan berbekal buku panduan biologi,” paparnya.

Teti berharap pemerintah bisa turun langsung untuk mengetahui penyebab rusaknya lingkungan Sungai Cipinang Gading.
Akibat lingkungan yang tak sehat, beberapa siswa pernah menderita penyakit kulit. Mereka diketahui tinggal di lingkungan yang sama, di sekitar bantaran Sungai Cipinang Gading. 

“Ada yang sampai tidak bisa menggerakan tangannya. Kaku karena banyak mengeluarkan nanah. Kita hanya bisa membawanya ke puskesmas untuk ditindaklanjuti,” pungkasnya.

Pembakaran limbah plastik atau spon bukan tanpa resiko. Reduksi pembakaran bisa menyebabkan pencemaran udara yang bersifat karsinogenik. Itu bisa memicu kanker dalam tubuh manusia. 

“Partikel yang jatuh di atas tanah akan mengakibatkan kontaminasi. Jika berlanjut beberapa tahun, dapat mengakibatkan hasil panen buah dan sayuran di lahan tersebut tidak aman untuk dikonsumsi,” ujar pengamat lingkungan Universitas Indonesia, Gabriel Andari Kristanto.

Karsinogenik adalah salah satu zat yang dikenal memiliki sifat pemicu penyakit kanker. "Ini tentu berbahaya, karena tidak hanya sekadar mencemari tanah dan air. Namun juga mencemari udara," jelas Andari. 

Menurut dia, ternak kambing, dan ayam yang memakan rumput dan sisa makanan yang terkontaminasi  dari sisa pembakaran plastik akan diteruskan kepada manusia ketika hewan ini dimakan. “Makanya, pisahkan plastik dengan sampah lain yang bisa dibakar dan dibuang dengan aman,” jelasnya. 

Selain itu, pembakaran limbah jenis ini juga hanya akan menambah jenis pencemaran yang ada. Jumlah satu ton sampah plastik yang dibakar, akan menghasilkan jumlah karbon dioksida yang sama dengan satu ton. 

“Pembakaran limbah jenis plastik akan menghasilkan gas buang dan residu yang justru menambah jenis pencemaran yang terjadi di lingkungan,” bebernya.

Gas-gas berbahaya yang ditimbulkan oleh pembakaran limbah plastik antara lain adalah gas karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), Dioxin dan Furan. 

Khusus untuk dioksin sangat berbahaya bagi manusia adalah karena efek sampingnya pada perubahan kode keturunan (marker) dari tingkat pertumbuhan awal dari hormon. Pada dosis yang lebih besar bisa mengakibatkan sakit kulit yang serius yang disebut `chloracne.’

Sementara itu, komponen racun yang dihirup bersamaan dengan asap dari pembakaran materi plastik dapat mengakibatkan masalah perlaku orientasi seksual pada bayi. “Akibatnya, anak akan memperlihatkan perilaku tidak wajar dan tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka, seperti anak laki-laki bertingkah seperti anak perempuan atau sebaliknya. Dioksin dan furan juga dapat mengakibatkan impotensi, asma, dan berbagai macam masalah alergi pada manusia,” jelasnya.

Laporan medis menunjukkan drastisnya jumlah sperma yang menurun antara pria generasi sekarang dengan generasi sebelumnya. Kanker testis juga meningkat sebesar 55 persen antara tahun 1970 hingga 1991, dan semakin sedikit bayi laki-laki yang lahir di area dimana banyak terjadi pembakaran limbah. Banyak anak perempuan yang mengalami pubertas lebih awal dari generasi sebelumnya. Semua hal ini awalnya dipicu karena menghirup dioksin dan furan.

“Bahaya yang ditimbulkan oleh perilaku pembakaran sampah jenis plastik dan spon adalah terurainya zat-zat seperti sulfur ke udara sehingga zat tersebut menjadi sulfur dioksida dimana hal ini akan meningkatkan kandungan zat berbahaya bagi lingkungan," ungkap Andari. (all/viv/ind/d)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yosandy Lip San, 10 Tahun Geluti Profesi Pembaca Tulisan Tangan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler