Menyulap Tulang dan Kulit Ikan Jadi Kerajinan Tangan

Jadi Cenderamata Khas Kepri, Dikoleksi Banyak Menteri

Senin, 01 Desember 2014 – 10:35 WIB

jpnn.com - Usai menyantap ikan, jangan keburu dibuang tulangnya. Siapa tahu bisa membawa Anda keliling Indonesia. Seperti yang dialami Erwandi, warga Kabupaten Bintan, yang menyulap tulang ikan jadi kerajinan tangan. 

FATIH MUFTIH, Bintan. 

BACA JUGA: Mengenal Yohanes Handoko, Guru Les Bahasa Inggris Joko Widodo

SUSAH bagi Erwandi bila harus mengingat kota-kota besar di Indonesia yang sudah dikunjunginya dalam kurun dua tahun terakhir. "Jakarta sudah lima kali, Bandung, Purwokerto, Medan, Surabaya, Bali," mulutnya masih menggumam. Sepasang bola matanya menerawang ke atas. Seolah-olah nama kota yang pernah dikunjungi itu tertempel di atap ruang kerjanya. "Pontianak," pekiknya girang. "Malaysia juga pernah sekali," sambungnya.

Tidak sepeser pun uang tercerabut dari dompet Erwandi selama berkeliling kota-kota besar itu. Yang ada, malah dompetnya kian menebal. Pasalnya, Erwandi pergi bukan untuk berbelanja. Tapi, justru berdagang. "Kalau ditotal, seingat saya sudah 13 kali saya ikut pameran, termasuk yang di Malaysia," ucap pria 39 tahun ini, ketika dijumpai Batam Pos di rumahnya, Rabu (26/11) lalu. 

BACA JUGA: Dua Programer Musik Bandung Mengeruk Untung lewat Software

Nyaris pada setiap pameran ekonomi kreatif, nama Erwandi selalu tercatut di dalam daftar rombongan. Entah itu Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Kepri maupun Kabupaten Bintan. Seolah maskot, Erwandi selalu dibawa ke tiap pameran industri kreatif berskala nasional dan internasional. 

Tapi, bukan Erwandi yang dipamerkan di sana. Melainkan, kerajinan tangan hasil sentuhan kreatifnya yang membawa badan pria kelahiran Belitung, 3 April 1975 ini bisa berkeliling Indonesia dan sekali singgah di negeri jiran. "Kalau saya yang dipamerin ya tak lakulah," kelakarnya. 

BACA JUGA: Profesor Multi-Ilmu Danawati Hari Prajitno

Kemudian, dari sepetak ruang kerja di samping rumahnya di Kampung Sei Datuk, Bintan Timur, Erwandi mengeluarkan satu per satu boks cokelat dari kardus besar yang masih terselotip. "Maaf, belum dibuka. Soalnya baru semalam saya sampai dari ikut pameran di Surabaya," ucapnya. 

Dari boks-boks cokelat kecil itu kemudian mencuat kotak kaca bening dengan miniatur kapal layar di dalamnya. Erwandi menukas, inilah yang membawanya bisa mengunjungi banyak kota di Indonesia. Sebuah miniatur kapal layar? Jangan salah. Sepintas tak ada yang spesial dari miniatur kreasi Erwandi. Namun, bila mengamati lebih jeli, bahan baku yang digunakan bukan bahan baku biasa. "Saya pakai tulang ikan jebong untuk membuatnya," jelas bapak dua anak ini. 

Ikan jebong merupakan jenis ikan yang mudah di dapat di perairan Bintan. Umumnya, karakteristik tulang ikan bernama latin abalistes stellaris ini keras. Begitu juga kulitnya yang tebal. Tak heran bila kemudian ikan jebong menjadi ikan favorit kedua setelah ikan lebam untuk dibakar. Namun, usai menyantap ikan, sudah tak terpikirkan lagi untuk memanfaatkan tulangnya. Tapi, tidak bagi Erwandi. "Setiap ada orang habis bakar ikan jebong, selalu saya tanya, tulangnya dibuang kemana. Karena saya berpikir ada satu karya yang bisa saya hasilkan dari tulang ikan jebong," tutur Erwandi. 

Setelah terkumpul sejumlah tulang ikan jebong, oleh Erwandi, direbusnya tulang itu selama dua sesi. Butuh waktu yang tak sebentar untuk membuang bau amisnya. "Paling tidak setengah hari," ungkapnya. Setelah amis lenyap, baru jemari Erwandi menerjemahkan visi sebuah cenderamata yang sudah lama berkelebat di kepalanya. 

Visi itu berupa membuat miniatur kapal layar. Tulang-tulang ikan, pikir Erwandi, bisa dijadikan sebagai tiang maupun rusuk-rusuk kapal. Tapi, untuk lambung kapal, diperlukan aksesori lain. Pilihan Erwandi kemudian jatuh kepada tulang ikan sotong yang berbentuk pipih. "Saya baru ingat saat itu, kalau pernah lihat banyak tulang sotong mengapung di pelabuhan Kijang. Daripada mengotori laut, bagus saya kumpulkan," kenang Erwandi, yang jarak rumahnya dengan pelabuhan bongkar-muat terbesar di Bintan itu hanya sepelemparan batu saja. 

Tapi rupanya, tulang ikan jebong dan sotong belum cukup. Dibutuhkan aksesori pelengkap untuk dibuat menjadi layar kapal. Tentu harus berbentuk lempeng dan datar. Tentu akan lebih mudah bila menggunakan lempeng seng, triplek, atau kain kasar. Tapi, Erwandi punya pendapat lain. "Saya sudah komitmen ingin bikin sesuatu yang murni bahan bakunya dari laut. Dari sesuatu yang tak terpakai," ungkapnya. 

Memenuhi keinginan itu, cangkang kerang cokelat seukuran telapak tangan orang dewasa yang pernah Erwandi lihat di tepi pantai, ia jemput untuk bergabung dengan dua jenis tulang hewan laut yang sudah siap di meja kerjanya. Potong. Lekat. Perhalus. Ketiga aktifitas ini berulang-ulang dilakukan. Dalam waktu kurang dari tiga jam, visi dalam kepala itu sudah mewujud nyata. "Itulah kapal layar tulang ikan pertama saya. Panjangnya itu, kalau tak salah, sekitar 30 sentimeter," kata Erwandi, merunut pengalaman yang sudah dua tahun berlalu. 

Pada mulanya, Erwandi mengaku kurang percaya diri dengan miniatur kapal layar tulang ikan buatannya. Hingga suatu hari, ia memperlihatkan hasil kerja tangannya itu ke seorang teman. "Dia bilang barang saya ini bisa laku dijual. Karena belum ada yang buat," tutur Erwandi. Setelah berulang kali diyakinkan oleh temannya itu, Erwandi pun luluh dan menuruti saran temannya agar memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak. 

Lalu bak cendawan di musim hujan. Kerajinan tangan tulang ikan buatan Erwandi kemudian dilirik banyak kalangan. Pernah seorang warga negara Singapura berani membeli miniatur kapal layar karyanya dengan panjang 90 sentimeter seharga Rp 1,5 juta. "Itu penjualan termahal saya untuk satu unit," ungkap Erwandi.

Mantan buruh bangunan ini tak mematok harga mahal untuk setiap kreasinya. Untuk miniatur kapal layar ukuran panjang 30-60 sentimeter, dibanderolnya dari Rp 100-500 ribu. "Tergantung ukuran dan tingkat kesulitannya," ujar Erwandi. Artinya, semakin rumit garapan semakin mahal pula harga yang dipasang. Tapi, itu bukan patokan mati. "Saya kadang-kadang lihat juga siapa yang beli. Kalau sama teman sendiri asal lepas uang rokok jadilah," ucapnya lalu tertawa. Dalam sehari, Erwandi mengaku bisa membuat tiga unit miniatur kapal layar. Namun, ada kalanya bahkan lebih dari itu. Apalagi ketika permintaan sedang tinggi. 

Seolah tak mau kecolongan, Disperindag Provinsi Kepri dan Kabupaten Bintan pun menggandeng Erwandi. Suami Naziah ini lantas diminta agar memproduksi pelbagai bentuk kerajinan tangan dari tulang ikan. Ada miniatur kapal layar, sepeda motor, mobil, hingga patung orang berkuda. Kesemua kreasi itu lahir bulat-bulat dari visi dalam kepala Erwandi. "Karena saya tak pandai main komputer. Jadi apa yang terlintas di kepala saya, ya itu yang saya buat," ujarnya. 

Di tiap-tiap pameran yang Erwandi ikuti di pelbagai kota besar di Indonesia hingga di Malaysia, kerajinan tulang ikan karya Erwandi paling digemari. Ketika stan pameran Kepri disebutkan, tuturnya, orang-orang selalu berdecak mencari kerajinan tulang ikan yang kesohor itu. Hingga di sebuah kesempatan pameran, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Kabinet Indonesia Bersatu, Marie Elka Pangestu pernah memuji secara langsung miniatur kapal layar buatannya. "Kata ibu menteri itu, baru kali ini ia melihat sebuah kerajinan yang dibuat dari tulang ikan," tutur Erwandi. 

Bukan hanya Marie Elka Pangestu saja menteri yang kepincut dengan kreasi tangan Erwandi. Beberapa pejabat kenegaraan juga sudah banyak yang menjadikan olahan kreatif warga Bintan Timur ini sebagai koleksi. Sebut saja, Menteri Koordinator Kesra era SBY-Boediono, Agung Leksono dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Selain melalui pameran industri kreatif, kerajinan tulang ikan ini bisa sampai ke tangan menteri lantaran menjadi cendera mata yang selalu disertakan dalam setiap kunjungan dinas dari dan ke Kepri. "Ibu Dewi (istri Bupati Bintan) dan Bu Sani (istri Gubernur Kepri), kata teman-teman saya, selalu membawa tulang ikan ini kalau pergi ke mana-mana sebagai cendera mata," ungkap Erwandi. 

Erwandi tak memungkiri, saat ini sudah banyak permintaan produksi yang datang padanya. Dalam setiap bulan, ia mengaku tak pernah sepi permintaan. Selalu saja ada. Entah itu dari instansi pemerintah maupun swasta. Ketika sudah sedemikian membanjirnya orderan, apa Erwandi tak memusingkan ketersediaan bahan baku tulang ikan? Ia menggeleng. "Inilah untungnya memproduksi sesuatu yang berbasis alam," katanya. 

Erwandi mengakui memang sengaja memilih semua bahan baku kerajinan tangannya dari laut. Lantaran sesuai dengan karakteristik Bintan dan Kepri sebagai daerah maritim. Sehingga, selain mencerminkan kekhasan daerah, pemilihan bahan baku berupa tulang ikan ini membuatnya tak perlu memusingkan kelangkaan. "Di sini kan ikan jebong dan sotong banyak. Jadi saya tinggal datang ke pedagang di pasar, daripada tulang-tulang itu dibuang ke tempat sampah," ungkapnya. 

Ketika dihadapkan pertanyaan, sampai kapan Erwandi akan terus bergelut dengan sampah-sampah fosil hewan laut ini? Bapak Hutri dan Aizah ini tergelak. "Selama masih ada permintaan, saya terus membuat. Toh, setahun terakhir, tulang-tulang ikan ini yang mengepulkan dapur kami," ucap pria lulusan SMA ini. ***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Melihat Mumi Alami di Kampung Wolondopo, Kabupaten Ende, NTT


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler