jpnn.com - Untuk Prof Ir Dra Danawati Hari Prajitno SE Phd, belajar adalah hobi. Tak heran, gelar demi gelar akademis berhasil diraihnya. Menjadi pembelajar seumur hidup adalah niatannya.
Laporan Dinda Lisna Amilia, Surabaya
BACA JUGA: Melihat Mumi Alami di Kampung Wolondopo, Kabupaten Ende, NTT
SEORANG dosen yang sudah menyandang gelar guru besar biasanya punya rutinitas yang padat. Itu dialami DanawatiHari Prajitno, dosen Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Di hari kerja, mulai pagi hingga sore, Dana disibukkan dengan jam mengajar. Setelah itu, dia tidak bisa pulang. Dana mesti berangkat ke tempat kursus persiapan TOEFL miliknya yang berada tidak jauh dari kampus ITS, tepatnya di daerah Semolowaru.
BACA JUGA: Dari Belajar Mengenal Kayu, Listyo Bramantyo Jadi Pembuat Bumerang
Di tempat kursusnya tersebut, Dana tidak punya asisten tutor. Dia mengajar sendiri. Dimulai pukul 18.30 dan diakhiri pukul 22.00. Ditemui pada Selasa malam (25/11) di tengah kesibukannya, Dana tetap terlihat energik. Tidak tampak gurat lelah. Malah, dengan potongan rambut bob, blus batik, dan celana bahan berwarna putih yang matching, Dana tampak fresh dan terlihat lebih muda dari usianya.
"Mengajar TOEFL ini hobi. Saya suka belajar bahasa Inggris," ucap istri Prof Kusno Budhikarjono yang juga sama-sama guru besar Teknik Kimia ITS tersebut.
BACA JUGA: Reynaldi Saela Hakim, Penjaga Gawang Terbaik Danone Nations Cup 2014
Dana cukup berpengalaman di bidang studi bahasa Inggris. Setelah lulus S-1 dari Teknik Kimia ITS pada 1983, Dana yang masih bekerja di sebuah pabrik juga menyambi sekolah S-1 jurusan pendidikan bahasa Inggris di Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) Surabaya. Saat itu dia sekolah bersama sang suami.
"Suami yang mengajak karena tahu saya suka bahasa Inggris," ucap penggemar Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti tersebut.
Padahal, saat itu Dana masih tercatat sebagai mahasiswa S-1 Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Terbuka. Tapi, namanya suka belajar, Dana pun mengiyakan ajakan suami. Maka, setelah pulang bekerja, berdua dengan suami, Dana berangkat ke kampus Unipa yang terletak di Ngagel untuk kuliah.
"Di UT, tidak setiap hari ada kelas. Jadi, masih bisa disambi meski lulusnya molor," ujarnya lantas tertawa kecil.
Pada Maret 1986, Dana mulai menjadi staf pengajar di ITS. Dia telah menyelesaikan semua sekolah yang sering dianggapnya sebagai me time itu. Menjadi dosen, Dana berburu beasiswa untuk melanjutkan ke magister.
Pada 1995, melalui beasiswa Asian Development Bank (ADB Loan), Dana diterima di Chemical Engineering Birmingham University, UK, untuk level philosophiae doctor (PhD). Itu adalah program S-3. Padahal, Dana belum mendapat gelar S-2. Dia diterima melalui jalur under special regulation.
Dengan ketentuan pengawasan ketat dari pembimbing, Dana harus terus melaporkan perkembangan disertasinya. Di tahun kedua sekolah, Dana menjalani ujian untuk membuktikan apakah dirinya layak untuk lanjut sebagai mahasiswa doktor atau tidak. Dana lolos. Sekolahnya pun rampung pada 1999.
Dana kembali ke ITS dan melanjutkan rutinitas dosen seperti biasa. Namun, kesibukannya dalam pengajaran dan penelitian dirasa masih kurang. Dia mulai ingin sekolah lagi.
"Kalau lihat ada tempat sekolah yang menawarkan diskon, itu saya rasanya ingin mendaftar saja,’’ terang ibu Lusiana Listianingsih, Silvia rostianingsih, dan Lidia Yustianingsih tersebut.
Jadilah, pada 2000 Dana mengambil kuliah D-1 Ilmu Komputer PIKTI ITS. Pada 2003, Dana kembali melanjutkan kuliah pendidikan bahasa Inggris di Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM).
Saat itu juga, dia diangkat menjadi ketua program studi (Kaparodi) D-3 Teknik Kimia ITS. Pada 2005, ITS mulai memberlakukan persyaratan tes semacam TOEFL untuk lulus. Bila skor kurang dari 450, mahasiswa bisa terhalang ikut wisuda. Saat masih ’’panas belajar’’ soal bahasa Inggris, Dana melihat fenomena mahasiswanya yang tidak bisa ikut wisuda karena tidak lolos syarat TOEFL.
Sebagai Kaprodi, Dana tidak mau diam. Dia mengajak mahasiswanya belajar bersama. Berbekal pengalaman belajar bahasa Inggris dan tinggal di Birmingham selama empat tahun, Dana pun memberikan kursus gratis untuk sebelas mahasiswa yang kelulusannya terhambat itu.
Dari usaha tersebut, skor TOEFL kesebelas siswanya meningkat. Mereka pun berhak menyandang gelar sarjana dari ITS.
Keberhasilan Dana mengajar TOEFL didengar mahasiswa dari jurusan lain. Dari mulut ke mulut, para mahasiswa ITS minta diajari TOEFL olehnya. Hingga pada Mei 2008, Dana membuka kursus secara formal. Dia ingat, ada 58 mahasiswa yang menjadi pendaftar untuk kelas pertama.
Sejak itu pula sampai sekarang, penghobi joging tersebut punya kesibukan dengan kelas persiapan TOEFL hampir setiap hari. Muridnya juga bukan mahasiswa ITS saja. Dalam satu kelas persiapan TOEFL, Dana mematok waktu tiga minggu Senin sampai Jumat. Sekali pertemuan waktunya 3,5 jam. Padahal, satu paket persiapan TOEFL ditawarkan dengan harga Rp 650 ribu saja. Tidakkah dia rugi waktu?
"Saya mengajar TOEFL ini senang, bisa menyalurkan hobi,’’ terangnya.
Dana paling bahagia ketika mendengar kabar skor TOEFL muridnya meroket. Rasanya dia ikut dalam perjuangan meraih skor tersebut. Selain sibuk dengan hobi mengajar TOEFL, Dana tetap penasaran dengan ilmu lain. Dia pernah ikut kursus analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), akupunktur, traditional Chinese medicine (TCM), dan refleksiologi.
Apakah berniat membuka praktik akupunktur? Dana menggeleng. Dia memilih tetap setia menjadi pembelajar seumur hidup untuk ilmu apa pun. Saat ini dia sudah mengantongi izin dari suami untuk mengambil S-3 pendidikan bahasa Inggris.
"Tapi, saya menunggu dua anak saya menikah dulu, baru fokus sekolah lagi," ucapnya tersenyum. (*/c17/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenangan Capt Sumarwoto Menjadi Test Pilot dalam First Flight N250
Redaktur : Tim Redaksi