Kampung China Benteng tampak seperti museum hidup di Kota TangerangKampung itu ada sejak ratusan tahun lalu
BACA JUGA: Rebut Simpati, Galang Sumbangan
Masyarakatnya menghuni kawasan di sepanjang bantaran Sungai CisadaneBACA JUGA: Jelang Wafat, Berwasiat dengan Tulisan Akar Rumput
THOMAS KUKUH-IGNA, Jakarta
SEKILAS tak ada yang istimewa dari perkampungan di bantaran Sungai Cisadane, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Tangerang, tersebut
BACA JUGA: Menelusuri Aset Jaksa Cirus Sinaga
Memprihatinkan dan berdesakanSelain itu, sempit, kumuh, dan sumpekSebagian besar rumah di kawasan tersebut dibuat dari gedekBanyak yang reotKalaupun ada yang sudah ditembok dengan bata, bangunannya tidak mulus lagiCatnya memudarBahkan, banyak rumah yang tidak dicatSelain itu, mayoritas rumah di sana hanya berlantai tanah
Kendati begitu, ada yang sedikit berbeda dan unik di kampung tersebutDi teras hampir semua rumah dipasang dupaLalu, di atas pintu ditempel kertas berwarna kuningKertas kecil berukuran sekitar 20 x 6 sentimeter itu bertulisan huruf Tiongkok berwarna merah
"Kata leluhur kami, itu mantra untuk menolak balaTapi, saya nggak tahu namanya apaCuma nurut kata orang tua," kata Loa Sun Yam, 39, warga yang tinggal di RT 04/RW 04, saat ditemui Jawa Pos kemarin siang (18/4)
Ya, hampir semua penghuni kampung di bantaran sungai tersebut adalah warga keturunan TionghoaKampung tua yang diperkirakan ada sejak 1830 itu lebih dikenal dengan sebutan Kampung China Benteng atau disingkat ChinbenLuasnya sekitar 10 hektare"Meskipun kami keturunan (Tionghoa, Red), nggak ada yang kayaSemuanya hidup susah," keluh wanita yang memiliki nama lain Meliana itu
Dia menceritakan, sebagian besar warga kampung tersebut berprofesi sebagai pedagang kecil, seperti pembuat roti keliling dan pedagang yang meracangBanyak pula yang menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kasar di kampung sekitar"Sisanya adalah tukang rongsokan dan penganggur," tutur wanita berkulit gelap itu
Nah, beberapa hari terakhir, kesusahan warga kampung tersebut menjadi-jadiKini mereka terus dibayangi perasaan waswas karena permukiman di bantaran sungai itu menjadi target penggusuran Pemkot Tangerang.
Puncaknya, Selasa lalu (13/4), ratusan aparat Satpol PP Tangerang membongkar dan merobohkan beberapa pabrik serta peternakan babi di sanaKarena para warga terus melawan, rumah mereka selamatKarena ricuh, Pemkot Tangerang menarik satpol PP dan menunda pembongkaran itu."
Pasca pembongkaran, warga meningkatkan keamanan"Kini kami rutin ronda, apalagi malam," tutur Ketua RT 04/RW 04 Edi Liem saat ditemui di Wihara Maha Bodhi yang berlokasi di sekitar bantaran Sungai Cisadane
Pria itu ditunjuk sebagai koordinator warga untuk masalah penggusuran tersebutDia mengatakan, pembongkaran Selasa lalu dilakukan secara mendadakTidak ada pemberitahuan lebih dulu"Maka, kami sekarang siaga terus," ucap pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang ayam keliling tersebut
Mewakili warga, Edi berharap Pemkot Tangerang tidak lagi menggusur kampung tersebut dengan alasan apa punDia beralasan, Chinben adalah kampung tua yang punya nilai sejarahSeharusnya, papar dia, pemerintah bisa mengelola kampung itu sebagai salah satu tujuan wisata, bukan menghilangkan dengan alasan menjadikannya lahan hijau dan melebarkan Sungai Cisadane
Edi mengakui, warga umumnya tak memiliki surat untuk tanah dan rumah yang ditempatiTapi, menurut dia, dulu warga keturunan Tionghoa di kampung tersebut menjadi korban diskriminasiKarena itu, mereka takut untuk mengajukan perizinan tanah dan bangunan"Dulu kami terasingMaka, tidak ada yang berani," ucap dia
Dalam wihara megah yang dipenuhi lampion tersebut, Edi berkisah singkat soal sejarah kampung itu"Dulu, di dekat sungai (Cisadane, Red) ada benteng Belanda," katanya
Kisah Chinben dimulai sejak ratusan tahun laluMenurut Edi, sejak awal abad ke-19 atau 1800-an, sudah ada warga keturunan Tionghoa yang menetap di bantaran sungai ituKeterangan tersebut diperkuat dengan Wihara Maha Bodhi (Tjong Tek Bio) yang dibangun pada 1830
Tahun pembuatan tempat ibadah tersebut tercetak jelas di atas rangka bangunanMenurut dokumen, wihara itu dibangun tuan tanah bernama Sauw Sian Tee"Wihara ini tempat sembahyang banyak orangTahun itu, tentu sudah banyak umat yang tinggal di sekitar wihara," papar Edi."?"
Karena erosi, bantaran Sungai Cisadane yang dulu lebar terkikisWihara itu pun terancamDemi alasan keselamatan, wihara dipindahkan ke area yang lebih menjorokPemindahan tersebut dilakukan pada 1966Wihara tersebut bertahan hingga kini
"Makin lama, penduduk sekitar wihara makin banyakMalah sekarang berkembang menjadi tiga kampung dengan total 350 KK," jelas EdiTiga kampung itu adalah Sewan Lebak Wangi, Sewan Tangga Asam, dan KokunSemuanya berada di bawah Kelurahan Mekarsari.
Soal asal muasal nama Chinben, Edi bertutur, daerah yang mereka tempati saat ini merupakan bekas benteng BelandaDari situlah nama Chinben disematkanSejumlah informasi menyebutkan, warga Chinben terbagi menjadi dua golonganItu didasarkan pada kedatangan mereka dari TiongkokGolongan pertama datang pada abad ke-15 untuk menjadi pekerja dan pedagangMereka mencapai Tangerang dengan perahu sederhana
Sedangkan golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18Mereka mendapatkan restu dan perbekalan dari kaisar TiongkokSaat migrasi itu, mereka berjanji tetap loyal kepada Tiongkok dan kaisar Dinasti QingMereka datang dengan kapal dagang Belanda
Kebanyakan warga Chinben saat ini adalah keturunan golongan pertamaMereka sudah berasimilasi dengan budaya pribumi, yakni Sunda dan Betawi
Warga Chinben, umumnya merupakan keturunan dari pernikahan campuranHasilnya, penduduk Chinben sekarang nyaris tidak tampak seperti warga Tionghoa pada umumnyaKulit mereka sedikit lebih gelapMereka juga bermata lebarMeski banyak yang memasang atribut khas Tionghoa, mereka terkadang tidak tahu dengan pasti fungsinyaDari segi bahasa pun, tidak ada yang bisa menggunakan bahasa nenek moyang merekaBahkan, Edi menyatakan sama sekali tidak bisa berbahasa Mandarin"Ngomongnya gimana, saya tidak tahu," ucapnya lantas tertawa
Bertahun-tahun berakulturasi dengan lingkungan setempat, warga Chinben justru lebih akrab dengan bahasa IndonesiaBahkan, logat mereka sangat kental akan dialek SundaEdi menjelaskan, Chinben saat ini dihuni warga dengan berbagai latar belakangSelain keturunan Tionghoa, ada warga asal Jawa, Batak, dan SundaBahkan, semua penganut agama ada di kampung tersebut"Tapi, semua hidup rukunKini kami sama-sama berjuang untuk kasus itu," ujarnya
Jawa Pos berusaha menyusuri rumah-rumah di bantaran sungai ituSekitar 20 meter dari bibir sungai, dua wanita bercengkerama dalam rumah lama yang gelap
Mereka adalah Wie Gwiok Wa, 78, dan Ong Yo Nio, 81"Ayo masuk," ucap Ong memanggil Jawa Pos sambil tersenyum hingga terlihat giginya yang mulai ompongDengan bersusah payah, dia beranjak dari tempat duduknyaDibantu tongkat, Ong berjalan ke luar dengan langkah pelan.
Ditanya sejak kapan mereka menempati rumah itu, Ong menyatakan lupaDia hanya menyebut sekitar 1960-anYang jelas, dia dan Wie menempati rumah tersebut sejak kecil"Saya dari Ketapang, Tangerang," ucap wanita yang kemarin mengenakan daster kuning tersebut
Ong menceritakan, dirinya datang bersama orang tua dan beberapa kerabat karena mengungsi"Kan pada zaman itu banyak orang Tionghoa yang dibantaiKarena di sini banyak orang Tionghoa, jadi aman," ucap Ong
Meski termasuk keturunan Tionghoa yang sudah lanjut, dia menuturkan tidak bisa berbahasa MandarinSelain itu, dia sudah jarang melaksanakan tradisi warga TionghoaDia secara rutin hanya menjalankan ibadah sesuai dengan agama Konghucu
Ong dan Wie ternyata tidak mengetahui bahwa rumah mereka menjadi target penggusuranMereka hanya mendengar kabar soal rencana pengusuran itu, tetapi mengganggap rumah mereka aman"Kan yang digusur kampung sebelahKasihan ya mereka," ujar Wie sambil menatap ke luar jendela
Lain halnya dengan Lim Tjin SiuPria 83 tahun yang rumahnya berjarak sekitar 500 meter dari rumah Ong tersebut menyadari bahwa rumahnya menjadi target penggusuranMeski sudah uzur, pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pengumpul kardus bekas itu pasang kuda-kuda untuk mempertahankan rumahnya
"Kalau mau digusur, saya minta ganti rugiKalau tidak, lebih baik saya ditembak mati daripada disuruh pindah," ucap pria yang tinggal di bantaran sungai sejak 1959 tersebut berapi-api"Meski saya sudah tua, jangan remehkan," lanjutnya.
Selain wihara, di Chinben berdiri sebuah gereja mungil, GBI Bethlehem Sewan GiliKemarin siang gereja seluas sekitar 100 meter persegi itu digembok rapat"Sudah tiga minggu ini Pendeta Joni pergiKatanya, dia sudah nggak tenang karena ada gusuran," ucap Murni, jemaat yang tinggal tidak jauh dari gereja tersebut
Kondisi gereja itu sangat sederhanaDi dalamnya ada kursi plastik hijau yang ditumpuk di sudutKayu salib di atas altar lusuhLalu, mimbarnya berdebu"Sekarang tidak ada kegiatan lagi," ujar dia
Tak jauh dari gereja itu, ada tempat untuk menampung orang-orang yang mengalami gangguan jiwaTempat tersebut bernama Yayasan Bina MandiriArea yayasan itu cukup luas"Ini dulu bekas sarang waletSejak lima tahun lalu, didirikan yayasan ini," tutur Sugiarti, 43, pengelola yayasan tersebut
Dia menyebut, saat ini ada 13 penderita gangguan jiwa yang dirawat di yayasan ituSemuanya adalah warga TangerangKarena keterbatasan, tidak ada seorang pun ahli kejiwaan yang didatangkanHanya pendekatan secara Kristen yang digunakan untuk membimbing pasien"Kami rutin membaca Alkitab, melakukan kebaktian, dan lainnya," papar Sugiarti
Para penghuni yayasan kurus-kurusDi gedung seluas 200 meter persegi itu, pasien duduk berjejerMereka bersandar pada tembok dengan pandangan menerawangNamun, penampilan mereka bersih dan terawatSaat disapa Jawa Pos, mereka tersenyum, lalu bersalaman tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Soal rencana penggusuran tersebut, Sugiarti pasrahDia hanya bisa berdoa agar pemkot mengurungkan niat itu"Kami kan tidak bisa apa-apaSerahkan saja semua kepada Tuhan," ucap dia. (c11/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tugas Paramedis di UGD Buruh Migran
Redaktur : Antoni