MERDEKA ATAU MATI...Arek Suroboyo Berlawan (1)

Minggu, 08 November 2015 – 07:00 WIB
Suasana pertempuran Surabaya. Foto: Istimewa.

jpnn.com - BAGI rakyat Surabaya, lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup terjajah.

=======

BACA JUGA: Dari Mana Senjata Rakyat Surabaya?

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

=======

BACA JUGA: Perempuan Surabaya Tak Kalah Garang

8 November 1945 

Soerjo, Gubernur Jawa Timur mematut-matut sepucuk surat yang baru saja diterimanya dari E.C. Mansergh, Panglima Sekutu di Jawa Timur.  

BACA JUGA: Menjelang Balas Dendam Sekutu pada Arek Suroboyo

Dalam suratnya, Mansergh menyatakan  kota Surabaya telah dikuasai para perampok dan menuding pihak Indonesia telah melanggar semua persetujuan, antara lain menghalang-halangi evakuasi tawanan dan perlucutan senjata Jepang. 

Dia mengancam akan menduduki Surabaya, "untuk melucuti gerombolan yang tidak mengenal tertib hukum," tulis buku Pertempuran Surabaya.  

Gerombolan dan rampok yang dimaksud, tak lain badan-badan perjuangan rakyat Surabaya.

Di bagian akhir suratnya, Manserg meminta Gubernur Soerjo datang menghadap ke markas Sekutu, pada 9 November, pukul 11.00.

Sehari sebelumnya, Mansergh juga menyurati Gubernur Soerjo. 

Isinya menuding pihak Indonesia menunda evakuasi akibat pertempuran 28 hingga 30 Oktober. 

(baca juga: Arek Suroboyo Memukul Juara Dunia Hingga Terpojok Di Sudut Ring)

9 November 1945

Dua surat Pak Bos Sekutu itu dibalas Gebernur Soerjo dalam satu surat. 

Melalui surat bernomor 1-KBK, tertanggal 9 November 1945, Soerjo menyangkal semua tuduhan tersebut.

Soerjo tak memenuhi panggilan Mansergh. Surat diantar Residen Soedirman, Roeslan Abdulgani dan T.D. Kundan ke markas Mansergh di Batavia-weg (sekarang Jl. Jakarta), pada pukul 11.00. 

Pulang dari markas Mansergh, utusan itu membawa dua pucuk surat. Satu untuk Soerjo tanpa mencantumkan jabatannya. Satunya lagi untuk rakyat Surabaya. Isinya ultimatum; agar menyerah pada Sekutu. 

Sekutu tak main-main dengan ancamannya. Lebih kurang pukul 14.00, pesawat terbang Inggris mengudara di langit Surabaya sembari menyebar pamflet. 

Pamflet itu menyeru rakyat Surabaya untuk datang berbaris satu-satu ke markas Sekutu membawa senjata. Mulai dari senjata api hingga senjata tajam.

Sejata itu dikumpulkan, dalam jarak 2 yard, berjalan dengan tangan di atas kepala, untuk meneken dokumen penyerahan tanpa syarat. 

Beragam cara ditempuh pihak Republik agar Sekutu mencabut ultimatumnya. Namun, hasilnya nihil. 

Doel Arnowo, dari Komite Nasional Indonesia (KNI) mengontak Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo melalui sambungan telpon, terkait ancaman Sekutu itu.

Soebardjo telah pula berkomunikasi dengan Bos Besar Sekutu, Sir Philips Christison. Tak ada hasil. 

Tentang langkah apa yang perlu diambil, rakyat Surabaya menanti arahan dari pemerintah pusat, dalam hal ini Ahmad Soebardjo. 

"Ini yang jarang diketahui orang," kata Rohadi, anak Ahmad Soebardjo, dalam sebuah perbincangan dengan JPNN.com, "menjelang peristiwa 10 November itu, rakyat Surabaya menunggu pendapat ayah saya," sambungnya tanpa bermaksud menyombongkan diri. 

Dan Soebardjo, selaku pemerintah pusat mempercayakan Surabaya kepada rakyat Surabaya.  

Sore itu juga, sebagaimana dicuplik dari buku Pertempuran Surabaya, badan-badan perjuangan rakyat Surabaya, seperti BKR, TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, TKR Laut, BBI berunding di Pregolan 4. 

Keputusannya, Surabaya harus dipertahankan.

Arek Suroboyo memutuskan berlawan! Mengusung semboyan MERDEKA ATAU MATI, mereka memilih lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup terjajah.--bersambung (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... RAHASIA!!! Ini Jurus Arek Suroboyo Mengalahkan Juara Dunia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler