Mereka Berjuang, demi Mencerdaskan Anak Bangsa

Senin, 21 Juni 2010 – 09:37 WIB

SEKOLAH GratisSemenjak pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun, sekolah gratis memang tidak lagi sebagai wacana

BACA JUGA: Anggaran Kurang, Kemendiknas Hutang LN

Setidaknya hingga bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), sudah tidak lagi dipungut uang SPP.  Konsekuensi dari wajib belajar itu sendiri sudah identik dengan sekolah gratis
Namun, sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah bukan berarti semua anak pada usia itu bisa sekolah.

Fakta di lapangan, sekalipun gratis masih banyak juga anak-anak miskin yang tak mampu mengakses sekolah

BACA JUGA: Tetapkan 4 Parameter Evaluasi RSBI

Karena faktanya, sekolah gratis tidak lantas semua gratis
Masih banyak komponen sekolah yang masih harus dipenuhi orang tua

BACA JUGA: Tambah Kuota SNMPTN 30 Persen

Dari seragam, ada beberapa pasang pakaian,sepatu beserta asesorisnya, masih mencapai ratusan ribu rupiah

Belum lagi soal buku, yang konon juga gratisFakta di lapangan, tidak sedikit pula buku gratis yang terbengkelai, karena pihak pengelola sekolah pada umumnya lebih memilih menggunakan buku-buku komersial dengan mengesampingkan buku-buku gratis maupun buku-buku murah lainnyaAlhasil, siswa diwajibkan membeli buku-bukup pelajaran, yang jika ditotal nilainya juga mencapai ratusan ribu rupiah.

Bagi warga Miskin, uang Rp 300 ribu - Rp 400 ribu merupakan uang yang tidak sedikitKarena itu, banyak warga miskin yang lebih memilih mempekerjakan anak-anaknya untuk mendapatkan uang, daripada menyekolahkan anaknya, yang katanya gratis, masih saja ada yang harus dibayar

Ditengah kegamangan seperti ini, muncullah para relawan-relawan peduliMereka tidak saja berjuang untuk memberikan pendidikan gratis, tetapi juga berjuang bagaimana anak didiknya tetap bisa bertahan untuk melanjutkan sekolahAnehnya, para relawan yang berbudi luhur ini tidak saja harus berhadapan dengan situasi sulit tetapi juga tidak jarang harus berurusan dengan birokfrat-birokrat pendidikan.

Novin Widyawati, satu di antara sekian banyak orang yang peduli dengan dunia pendidikan tanah airDia concern dengan pendidikan anak-anak miskin di sekitar tempat tinggalnya di kawasan Johar Baru, Jakarta PusatDia adalah pengelola Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) atau SMP Terbuka Johar Baru yang menginduk kepada SMPN 28 JakartaSebagai pengelola, Novin sudah kenyang dengan berbagai pengalaman menghadapi permasalahan para murid miskin dan dana yang minim
 
Setiap tahun, lanjut Novin, ada permasalahan baru yang dihadapiMulai murid yang memilih putus sekolah hingga persoalan aliran dana pendidikan yang tidak transparanWanita berjilbab itu menuturkan, tidak mudah mempertahankan para murid miskin untuk bersekolah hingga lulus

Selain Novin, masih ada Ade PujiatiAde pun tidak sembarangan menerima murid dari kalangan miskinSebelum murid diterima di sekolahnya, ada semacam wawancara kepada orang tua dan calon muridMereka diwawancarai langsung oleh AdeMisalnya, tentang cara mendidik anak, sumber penghasilan orang tua, dan kebiasaan merokok orang tua
 
Wanita asli Jakarta tersebut juga melihat motivasi calon murid"Kalau kelihatannya anaknya males, nggak ada motivasi, nggak kami terimaItu ketahuan dari cara bicaranyaKami juga tes tambah kali (tes berhitung, Red)Kalau nggak bisa, nggak diterimaYang terpenting, kami cari anak yang paling miskin dan NEM-nya (nilai Ebtanas murni, Red) rendah sehingga tidak diterima di sekolah negeri," paparnya
 
Meski telah menyaring sebegitu ketat, Ade tidak memungkiri bahwa seleksi alam terjadi di sekolah binaannyaTidak sedikit murid yang keluar karena malas dan memilih bekerja"Banyak orang tua yang tak mendukung anaknya sekolahMereka lebih suka anaknya kerja bantu mereka," keluhnyaSaat ini murid binaan Ade di kelas VII dan VIII berjumlah 34 siswa, sedangkan siswa kelas IX sudah habis.

:TERKAIT Jika Ade ketat, Dedi Rosadi lebih lunak dalam mengelola pendidikan amalnyaSelama sepuluh tahun, Dedi merintis yayasan yang dia beri nama Yayasan Nurani InsaniLima tahun pertama dia mengumpulkan anak-anak miskin, telantar, dan pemulung di sekitar Pasar Kembang, JogjakartaLebih dari satu tahun dia mengabdiMereka diajak belajar di stasiun kereta api sampai di bawah jembatan.
 
Pria kelahiran Jakarta itu kemudian memilih kembali ke tempat kelahirannya di Jalan Petamburan, Jakarta BaratDi tempat tersebut, dia mengembangkan yayasan melalui pemberian kesempatan kepada anak-anak miskin, telantar, dan pemulung untuk mengenyam pendidikan.
 
Bagi Dedi, identitas bukan segalanyaJika setiap sekolah mewajibkan anak didiknya untuk melampirkan akta kelahiran dan alamat rumah, Dedi tidak memberlakukan itu di sekolahnya"Mau daftar pakai apa saja bolehTidak mencantumkan nama orang tua juga tidak masalahSebab, intinya bukan itu,"ujarnya"Tiga tahun lebih saya mengajak mereka belajar di kolong jembatan," tambahnya
 
Meski demikian, dia merasa belum puas dengan keadaannyaPria 50 tahun itu lantas mengajak beberapa sahabatnya untuk mengurus legalitas yayasan"Setelah kami dapat, langsung kami sewa rumah dan bangun apa adanya untuk sekolah," terangnya
 
Namun, Ade tidak menyerahDia terus berupaya memotivasi siswa yang tersisa agar terus bersekolah hingga perguruan tinggiAde mengimbau murid-muridnya meneruskan pendidikan di SMK (sekolah menengah kejuruan)"Di situ, mereka dapat keahlianJadi, mereka bisa langsung kerja sambil melanjutkan ke perguruan tinggi," tuturnya
 
Soal fasilitas sekolah, Ade boleh berbangga hatiBerkat perjuangannya untuk menuntut BOS (bantuan operasional sekolah) dan BOP (bantuan operasional pendidikan) secara mati-matian, fasilitas pendidikan di sekolah tersebut tergolong lengkap.  Ada alat tulis kantor (ATK)Para siswa mendapat, antara lain, tiga jenis buku teks, LKS (lembar kerja siswa)Juga, seragam olahraga, seragam batik, sepatu yang diberikan sekali setahun, dan alat mandi sekali sebulanSelain itu, tersedia jaminan kesehatan dan terapi psikologis gratis bagi siswa yang butuh(aj/jpnn)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Peserta Dirazia, 10 Ponsel Disita


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler