Mereka Bersembunyi di Hutan Karena Takut Banget Virus Corona

Minggu, 05 April 2020 – 09:25 WIB
Tentara berjaga di jalanan Kuala Lumpur saat wabah COVID-19 merebak di Malaysia. Foto: Antara/Reuters

jpnn.com, KUALA LUMPUR - Setengah dari penduduk Jemeri melarikan diri ke hutan lantaran ketakutan saat wabah virus Corona menyebar di Malaysia.

Jemeri merupakan salah satu suku adat 'Orang Asli' di Malaysia yang termasuk kelompok termiskin dan paling rentan memiliki jumlah infeksi tertinggi yang dilaporkan di Asia Tenggara.

BACA JUGA: Begini Cara Pemerintah Malaysia Membersihkan Kota saat Lockdown

"Kami akan kembali ke hutan, untuk mengisolasi diri kami sendiri dan mencari makanan untuk diri kami sendiri," kata penduduk desa dan aktivis Bedul Chemai.

"Kami tahu cara mendapatkan makanan dari hutan dan ada beberapa hal yang bisa kami tanam di sana," ujarnya.

BACA JUGA: Tiga Minggu Lockdown di Malaysia, Polisi Tangkap 4 Ribu Pelanggar

Sebelumnya seorang bocah lelaki berusia tiga tahun dari sebuah desa di luar Cameron Highlands, sebuah tempat wisata populer, dinyatakan positif terkena virus Corona.

"Desa itu telah dikunci, bersama dengan wilayah lain di mana diduga terjadi infeksi. Tidak jelas bagaimana bocah itu terinfeksi," kata Direktur Jenderal Departemen Pengembangan Orang Asli, Juli Edo.

Ketika Malaysia memberlakukan pembatasan ketat pergerakan bulan ini untuk mencoba menghentikan penyebaran virus, yang telah menulari lebih dari 3.000 orang di daerah itu dan menewaskan 50 orang, Orang Asli mengatakan mereka sangat terdampak.

Banyak yang kesulitan mencari makanan setelah penghasilan kecil mereka, dari penjualan sayur, buah-buahan dan karet setiap hari, terputus.

Sementara itu, beberapa warga suku tersebut takut pergi ke kota untuk membeli makanan karena khawatir tertular virus.

Orang Asli rentan terhadap penyakit karena faktor-faktor yang meliputi kemiskinan dan kekurangan gizi. Tingkat kemiskinan mereka dilaporkan lebih dari 30 persen dibandingkan dengan rata-rata Malaysia, yang tercatat sebesar 0,4 persen.

Tahun lalu, satu desa adat di timur laut Semenanjung Malaysia melaporkan 15 kematian dan puluhan jatuh sakit akibat campak.

Shaq Koyok, seorang aktivis dari suku Temuan, mengatakan orang-orang dari desanya, sekitar 60 km (40 mil) dari Ibu Kota Kuala Lumpur, telah menutup desa.

"Bahkan saya tidak bisa pergi ke desa," kata Shaq, yang tinggal di ibu kota Malaysia itu.

Kelompok-kelompok penduduk asli di seluruh dunia, di Australia, Kanada dan Brazil, telah menutup perbatasan untuk melindungi komunitas mereka dari virus corona. Virus tersebut sudah berjangkit pada lebih dari satu juta orang dan membunuh sekitar 52.000 orang secara global dan terus menyebar.

Selama beberapa dekade, Orang Asli mengatakan mereka telah melihat perambahan tanah adat mereka. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan kayu menjarah tanah hutan.

"Di beberapa desa ini, mereka bahkan tidak bisa lagi pergi ke hutan untuk mencari makan," kata Ili Nadiah Dzulfakar dari Klima Action Malaysia, bagian dari kelompok kolektif yang mengumpulkan uang untuk masyarakat Orang Asli.

Satu kelompok yang telah berusaha mengumpulkan dana untuk Orang Asli mengatakan bahwa mereka menerima begitu banyak permintaan bantuan sehingga mereka menggandakan target penggalangan dananya.

Tetapi, upaya pemerintah untuk memberikan makanan kepada sekitar 50.000 keluarga Orang Asli telah terbentur upaya kelompok itu sendiri untuk menutup diri.

"Seorang tetua desa mengatakan kepada saya bahwa mereka akan mati karena virus atau mati karena kelaparan," kata Ili Nadiah. (antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler