Sangat sulit bagi Mohamed Ibrahim untuk menceritakan kembali perjumpaannya dengan anggota kelompok yang menamakan diri 'Islamic State' (IS).
Dengan berurai air mata, ayah dari tiga orang anak berupaya mengingat kembali saat delapan anggota IS menghentikan bus yang ditumpanginya di Suriah tahun 2017.
BACA JUGA: Pola Kerja Fleksibel Antara Rumah dan Kantor Akan Menjadi Hal yang Biasa di Australia
Mereka kemudian menempelkan senapan di pipinya.
"Saya mulai berkeringat. Jantung berdebar-debar," kata Mohamed.
BACA JUGA: Orang Tua Masih Menanti Penjelasan soal Penyebab Gangguan Ginjal Akut
"Para pria tersebut kelihatan sangat muda, sekitar 16 tahun umurnya. Bukan orang dewasa. Jadi saya pikir kalau mereka disuruh menembak, mereka akan menembak."
Kepulangan perempuan berkewarganegaraan Australia, yang memiliki kaitan dengan IS ke Australia, termasuk 44 anak, membuat khawatir Mohamed.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Selesaikan Pembelian Twitter, Elon Musk Langsung Pecat Beberapa Petingginya
Grup pertama, terdiri dari empat perempuan dan 13 anak warga negara Australia sudah dikeluarkan dari kamp tempat mereka tinggal untuk pulang ke Australia.
Maisaa Mhanna, istrinya, mengatakan kebrutalan IS sempat menahan langkah mereka untuk kabur.
"Seorang perempuan menolak memakai cadar dan mereka mencukur semua rambutnya di depan kami. Katanya kalau terjadi lagi, ia akan dibunuh," katanya.
Mohamed, Maisaa dan ketiga anak mereka melarikan diri dari Suriah pada tahun 2019 dan berhasil datang ke Sydney.
Keputusan Pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Anthony Albanese untuk menyetujui penjemputan para perempuan dan anak berkewarganegaraan Australia mengembalikan ingatan Mohamed, yang sebenarnya ia ingin lupakan.
"Rumah kami dirusak, dalam perang tidak ada yang namanya kehidupan. Tidak ada kedamaian. Hanya ada ketakutan. Dan jiwa kami lelah," katanya.
Menurut Pasukan Demokratik Suriah, kamp Roj, yang berbatasan dengan Irak, menampung 60.000 warga.
Pasukan Demokratik Suriah sebagian besar terdiri dari pasukan militer yang didukung Amerika Serikat dan dibentuk saat perang Suriah, yang bertempur melawan kelompok IS dan pasukan Suriah di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad.
Kamp tersebut dipandang sebagai batu loncatan bagi mereka yang berharap bisa dipulangkan ke negara asal setelah bergabung dengan IS.
Kebanyakan perempuan Australia di kamp tersebut sudah berada di Suriah sejak 2014 dan berpindah-pindah di sekitar area pengungsian sejak kejatuhan Khalifah di tahun 2019.
Ini adalah periode panjang yang menurut Mohamed meninggalkan bekas luka.
"Mereka perlu melupakan pikiran soal kematian. Mengajarkan anak mereka tentang apa yang benar. Menyekolahkan mereka sehingga bisa belajar, bukan hanya pelajaran sekolah namun tapi soal kebaikan bukan membunuh," kata Mohamed.
Saudara perempuan Mohamed, Mira, telah membantu keluarganya sejak tiba di Australia, selain menolong mereka yang mengalami gangguan psikis akibat konflik Suriah.
Ia mengatakan kembalinya perempuan-perempuan yang pernah punya hubungan dengan IS cukup kompleks bagi komunitasnya.
"Sejujurnya, ini situasi yang rumit. Saya tidak bisa menjawab setuju atau tidak," katanya.
"Saya prihatin melihat kondisi mereka, para perempuan ini ... tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi, saya mengerti kalau kita harus memberi mereka kesempatan. Tapi di waktu yang sama, tidak ada jaminan kami aman."
Mark Nolan dari Pusat Hukum dan Keadilan mengatakan perintah untuk Polisi Federal Australia mengawasi mereka yang pulang "seperti sebuah persyaratan".
"Para perempuan ini telah menyetujui perintah untuk dikontrol," katanya.
"Ini bisa berarti mereka dipasang alat pelacak, dan diawasi rutin seperti halnya hukuman bebas bersyarat, dan pengawasan penggunaan media sosial mereka."
Ia mengatakan jika mereka melanggar dari pengawasan ini, maka bisa diancam lima tahun penjara.Perempuan sebagai korban dan pelaku
Organisasi Save the Children Australia mengatakan situasi di kamp Roj membuat anak-anak berisiko mengalami luka parah atau bahkan meninggal.
"Warga Australia pasti terkejut mendengar kondisi anak-anak Australia yang menderiita selama tiga tahun terakhir," kata Mat Tinkler, CEO Save the Children Australia.
"Mereka tinggal di tenda yang tidak ada penghangat, terkena dinginnya musim dingin dan teriknya musim panas, dengan terbatasnya makanan bergizi, dan penderitaan akibat luka yang tidak diobati dan kesehatan mental yang terganggu."
Peneliti dari Charles Sturt University di Canberra, Kiriloi Ingram mengatakan sikap para perempuan yang menjadi korban juga bisa membahayakan.
Dr Kiriloi, yang juga mempelajari radikalisasi perempuan barat oleh IS, mengatakan dengan menjadi ibu, para perempuan punya peran penting saat IS menjalankan misinya.
"Bahkan jika perempuan ini tidak ikut berperang, tidak ikut bertarung secara fisik, ada peran untuk mendukung, seperti yang diharapkan [kelompok IS]," ujarnya.
"Mereka mendukung kelompok kejahatan. Dan kebanyakan dari peran ini juga berkontribusi terhadap genosida populasi Yazidi."Sikap pemerintah
Dalam sebuah pernyataan, Menteri Luar Negeri Claire O'Neil mengatakan: "Prioritas utama pemerintahan Albanese adalah memberikan perlindungan bagi kepentingan nasional Australia, sesuai nasihat ahli keamanan nasional."
Di tahun 2019, pemerintah Australia di bawah PM Scott Morrison memulangkan delapan anak dan cucu militan ISIS yang tewas.
Sementara Jerman sudah memulangkan lebih dari 90 warganya, termasuk menjatuhkan hukuman bagi seorang perempuan yang berperan dalam perbudakan dan pelecehan seorang perempuan Yazidi.
Prancis sudah menjemput 86 warganya, sementara Amerika Serikat memulangkan 27 warga dan mendakwa 10 di antaranya dengan pelanggaran terkait terorisme.
Kazakhstan sudah mengembalikan lebih dari 600 warga negaranya, menurut PBB.
Keluarga para perempuan Australia yang akan dipulangkan tidak memberikan komentar, tapi mengatakan mereka terbuka untuk bekerja sama dengan pemerintah.
"Keluarga ini sangat senang dengan masa depan putri dan cucu mereka kembali ke rumah dan terbuka untuk bekerja dengan pemerintah ... untuk membantu memfasilitasi kepulangan," kata juru bicara keluarga.
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Curhat: Kata dalam Bahasa Indonesia yang Jadi Favorit Orang Australia