Merespons Putusan PHPU untuk DPD Sumbar, Dhifla Wiyani: MK Tidak Konsisten

Senin, 01 Juli 2024 – 23:35 WIB
Praktisi hukum Dhifla Wiyani. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Praktisi hukum Dhifla Wiyani merespons Putusan PHPU Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 yang dibacakan oleh hakim Mahkamah Konstitusi RI.

Putusan MK tersebut benar-benar mengejutkan khususnya bagi masyarakat Sumatera Barat (Sumbar),” ujar Dhifla Wiyani dalam keterangan tertulisnya pada Senin (1/7/2024).

BACA JUGA: Pimpinan MPR Nilai Putusan MKD untuk Bamsoet Cacat Prosedural

Dia mengatakan MK dalam putusannya memutuskan untuk membatalkan putusan KPU RI No. 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024, bertanggal 20 Maret 2024 sepanjang berkaitan dengan perolehan suara calon anggota DPD Provinsi Sumatera Barat.

MK juga memerintahkan KPU untuk melakukan Pemilihan Suara Ulang untuk calon anggota DPD RI dengan memasukkan nama Irman Gusman.

BACA JUGA: Serikat Tani Soroti Penetapan Harga Gabah, Ketua DPD RI Minta Bapanas Libatkan Stakeholder

Dia mengatakan nama Irman Gusman ini dahulunya sempat masuk ke dalam Daftar Calon Sementara (DCS) untuk calon anggota DPD RI dari Dapil Sumbar, tetapi kemudian menghilang ketika Daftar Calon Tetap dikeluarkan KPU RI dengan alasan bahwa Irman Gusman belum melewati masa jeda 5 tahun menjalani hukuman pidananya.

Hal itu seperti diatur oleh Pasal 182 (g) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mensyaratkan tidak pernah dipidana penjara dengan ancaman pidana 5 tahun atau lebih.

BACA JUGA: FGD Lingkungan di Unair, Ketua DPD RI Dukung Penguatan Hukum yang Menekankan Antroposen

Dengan adanya putusan KPU yang menghilangkan namanya, Irman Gusman kemudian melakukan upaya hukum keberatan mulai dari Bawaslu hingga ke PTUN Jakarta.

PTUN Jakarta kemudian mengabulkan permohonan Irman Gusman dan memerintahkan KPU RI untuk memasukkan kembali namanya ke daftar DCT, namun tidak digubris oleh KPU RI.

“Hal yang menjadi keanehan dalam putusan ini, mengapa MK RI bisa mengabulkan permohonan tersebut?,” ujar Dhifla Wiyani.

Padahal secara legal standing, kata dia, Irman Gusman bukanlah peserta Pemilu yang lalu.

Dia menyebutkan dalam Pasal 474 Ayat (1) UU Pemilu junto Pasal 3 Ayat (1) Peraturan MK No.3 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam PHPU Anggota DPD mengatakan bahwa Permohonan PHPU hanya boleh diajukan oleh Pihak yang menjadi peserta pemilu.

Selain itu, diatur bahwa permohonan ke MKRI itu seharusnya hanyalah terkait dengan sengketa hasil suara Pemilu dan bukan mengenai sengketa proses pencalonan calon anggota DPD RI (Pasal 474 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 junto Pasal 5 PMKRI Nomor 3 Tahun 2023.

Menurut Dhifla Wiyani, Irman Gusman dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI pada tanggal 24 September 2019 dan sementara dia mulai ditahan sejak tanggal 16 September 2016.

“Berarti dia akan dinyatakan bebas demi hukum pada tanggal 24 September 2019,” ujar Dhifla Wiyani.

Jika Irman Gusman ingin kembali ke dunia politik maka dia harus melewati masa jeda 5 tahun dahulu. Berarti baru bisa mendaftar kembali dalam ajang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah setelah tanggal 24 September 2024.

MKRI dalam putusannya menyatakan KPU RI salah karena tidak memasukkan nama Irman Gusman ke dalam DCT karena ada Putusan PTUN No. 600/G/SPPU/2023/PTUN.Jkt yang mengabulkan keberatan dari Irman Gusman.

Oleh karena itu, seharusnya KPU RI melaksanakan putusan tersebut. MK RI menyetujui isi pertimbangan dari PTUN Jakarta yang menyatakan bahwa masa jeda 5 tahun tidak dapat diberlakukan kepada Irman Gusman.

Sebab, sudah ada hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik kepadanya selama 3 tahun di dalam putusan Majelis Hakim Peninjauan Kembali MARI.

Padahal, menurut Dhifla Wiyani, ada putusan MK RI Nomor 12/PUU-XXI/2023. Isinya adalah Majelis Hakim MK mengabulkan permohonan untuk mengubah bunyi Pasal 182 huruf (g) yang mana sebelumnya mensyaratkan tidak pernah dipidana penjara dan seterusnya yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi dikecualikan jika calon telah mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, berubah menjadi :

“Tidak pernah sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;

- telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun dan telah mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

- bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.”

Dhifla Wiyani menilai hakim MK dalam memutuskan perkara PHPU Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024, tidak konsisten dalam pertimbangannya karena bertentangan dengan pertimbangan dalam putusannya sendiri yaitu putusan MKRI Nomor 12/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa jeda 5 (lima) tahun tetap wajib diberlakukan pada mantan terpidana.

“Hal ini tentu saja memprihatinkan karena sebagai lembaga pemutus tertinggi dan terakhir dalam proses pemilu di negeri ini tidak konsisten dalam memberikan pertimbangan dan putusannya,” ujar Dhifla Wiyani.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
PHPU   MK   Putusan MK   DPD Sumbar  

Terpopuler