Meretas Jalan Inklusi: Memperjuangkan Kesempatan Penyandang Disabilitas dalam Pekerjaan

Oleh: Nadya Puspita Adriana, S.Psi, M.Psi

Rabu, 13 Maret 2024 – 21:49 WIB
Nadya Puspita Adriana, S.Psi, M.Psi. Foto: Dokumentasi UPJ

jpnn.com - Perkembangan dan pembangunan di Jakarta semakin pesat, dapat dilihat dari banyaknya lowongan pekerjaan yang disediakan pemerintah dan pihak swasta.

Banyak lowongan kerja akan menambah persaingan untuk mendapat pekerjaan semakin tinggi.

BACA JUGA: Mantap! UKM Taekwondo UPJ Torehkan Prestasi Gemilang di 2 Kejuaraan Tingkat Nasional Ini

Kita bisa lihat dari berbagai macam pemberitaan di media sosial tentang para pencari kerja yang rela untuk mengantre dan berdesak-desakan demi mendapatkan kesempatan hingga adanya tindakan kekerasan ketika dalam pekerjaan.

Persaingan yang tinggi baik dalam mencari pekerjaan dan di dalam pekerjaan menjadikan manusia memiliki nilai egosentris sendiri demi memuaskan hawa nafsu dalam kesuksesan.

BACA JUGA: Di Balik Bisikan Gaib: Mengurai Kompleksitas Psikologis Ibu dalam Tragedi Bekasi

Hal ini dapat terjadi pada siapapun dalam konteks pekerjaan, salah satunya adalah penyandang disabilitas.

Tindakan persaingan ini akan menimbulkan gesekan-gesekan internal dan stereotip dari masyarakat yang memilki pandangan negatif terhadap penyandang disabilitas hingga melakukan tindakan diskriminatif dan kekerasan.

BACA JUGA: Sistem Pemeringkatan Universitas: Sebuah Alat atau Tujuan?

Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), terdapat 987 kasus kekerasan yang dialami oleh penyandang disbilitas, 84 terjadi pada laki-laki dan 786 terjadi pada perempuan.

Di dalam dunia pekerjaan, penyaluran pekerjaan pada penyandang disabilitas juga masih minim.

Sebagai contoh, sekitar 71,4 persen penyandang disabilitas adalah pekerja informal dan salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesempatan, kesetaraan, dan perolehan hak dalam pekerjaan.

Pada hakikatnya, setiap manusia harus saling melindungi baik secara sosial maupun secara fisik.

Hal ini telah tertuang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatakan bahwa negara memberikan regulasi atau dukungan terhadap penyandang disabilitas.

Namun, pada faktanya kasus kekerasan baik sosial dalam hal ini diskriminasi maupun fisik bagi penyandang disabilitas masih sangat tinggi hingga memiliki dampak negatif salah satunya psikologis, seperti depresi, trauma, guncangan, dan marah dengan keadaan yang dimiliki.

Berdasarkan berbagai masalah dan dampak yang dialami oleh penyandang disabilitas, terdapat tiga hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat untuk mengatasi diskriminasi dan kekerasan.

Tiga hal tersebut adalah pemberdayaan, dukungan sosial, dan advokasi sosial.

Hal pertama yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah membuat pusat pemberdayaan disabilitas yang berfungsi untuk melakukan pendekatan penyadaran pengkapasitasan dan pendayaan terhadap hak-hak penyandang disabilitas.

Hal ini dilakukan agar penyandang disabilitas memiliki kemauan dan kemampuan dengan keterampilan mereka atau melakukan screening untuk melihat kemampuan penyandang disabilitas yang sama dengan orang normal lainnya.

Hal kedua adalah dukungan sosial melalui kesempatan kerja di setiap perusahaan agar mendukung adanya pekerja penyadang disabilitas untuk bisa berkontribusi di perusahaan.

Selain itu, dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap hak-hak penyandang disabilitas juga sangat diperlukan.

Hal ketiga adalah peran dari advokasi pemerintah dan perusahaan dalam mendukung dan melindungi penyandang disabilitas, baik perlindungan dari diskriminasi maupun dari tindakan kekerasan.

Diharapkan dengan adanya ketiga langkah tersebut, kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap penyandang disabilitas akan menurun dan mereka mendapatkan hak-hak dalam bermasyarakat dan bekerja. (*)

Oleh: Nadya Puspita Adriana, S.Psi, M.Psi

Dosen Prodi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler