Mestinya, Pemblokiran Telegram Didahului Sosialisasi

Rabu, 19 Juli 2017 – 20:43 WIB
Aplikasi pesan Telegram. Foto: Telegram

jpnn.com, JAKARTA - Pemblokiran Telegram oleh pemerintah lewat Kominfo menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Pemerintah beralasan telegram banyak digunakan untuk propaganda terorisme dan radikalisme.

Menurut pakar keamanan siber Pratama Persadha, sebaiknya sebelum pemblokiran dilakukan ada sosialisasi jauh-jauh hari, sehingga tidak membingungkan masyarakat.

BACA JUGA: Kabar Baik dari Pemerintah soal Telegram

Selain itu dengan momentum ini pemerintah menjadi lebih menyadari pentingnya membangun aplikasi lokal lebih serius.

“Pemblokiran demi keamanan negara jangan sampai melupakan kepentingan masyarakat, karena itu perlu ada jeda waktu dengan sosialisasi. Pengguna telegram ini jutaan, cukup banyak meski belum sebanyak Whatsapp, BBM dan Line, namun saya kira efeknya tetap ada, terutama kepada mereka yang menggunakannya untuk bisnis,” jelas mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (19/7).

BACA JUGA: Dulu Jual Mahal, Sekarang Telegram Minta Nego Dengan Pemerintah

Dia menambahkan, telegram memang seperti aplikasi lainnya bisa untuk hal positif maupun negatif. Namun seharusnya memang telegram tetap mengikuti aturan yang ada di tanah air, apalagi bila menyangkut keamanan negara.

Pemblokiran terhadap DNS (Domain Name System) sendri efektif dilakukan sejak Senin (17/7), meski sejak diumumkan Jumat (14/7) lalu beberapa provider langsung melakukan blokir.

BACA JUGA: Istana Tegaskan Pemblokiran Telegram demi Keamanan Negara

Pemblokiran ini sementara menyasar pada telegram berbasis web, sementara aplikasi masih bisa digunakan.

“Di telegram kita bisa memakai fitur secret chat yang itu diduga banyak dipakai para pelaku teror untuk berkomunikasi. Percakapan pada fitur secret chat memang tidak bisa diakses, bahkan oleh pihak telegram sekalipun,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.

Pratama menduga fitur lain di telegram yaitu channel banyak digunakan propaganda terorisme, terutama gerakan ISIS.

Telegram sendiri sebenarnya sudah banyak menerima laporan dan mereka telah memblokir lebih dari 3.500 channel yang berkaitan dengan ISIS dan masih akan terus bertambah.

Karena itu dialog antara pemerintah dan telegram sangat diperlukan untuk menyamakan visi memberantas teror di tanah air.

“Dengan kasus pemblokiran telegram ini seharusnya pemerintah bisa mulai membangun aplikasi instant messaging lokal yang mudah digunakan dan akrab dengan kebiasaan orang Indonesia. Jangan sampai 10-20 tahun mendatang orang Indonesia malah tambah ketergantungannya pada aplikasi luar,” terang pria asal Cepu Jawa Tengah ini. (esy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polri Sebenarnya Tak Inginkan Pemblokiran Telegram, Tapi...


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler