Migrants Day 2024, Menakar Urgensi Pendidikan Tinggi bagi Pekerja Migran Indonesia

Oleh Dr. Pardamean Daulay, S.Sos.,M.Si*

Rabu, 18 Desember 2024 – 09:43 WIB
Ilustrasi potret wajah penulis. Ilustrator: Sultan Amanda

jpnn.com, JAKARTA - RABU ini, 18 Desember 2024, merupakan momen peringatan Hari Buruh Migran Internasional atau yang lebih dikenal Migrants Day. Momen ini memberi kita kesempatan khusus untuk mengangkat kontribusi tak ternilai dari jutaan buruh migran di seluruh dunia, tak terkecuali pekerja migran Indonesia (PMI) di berbagai negara.

Dalam denyut globalisasi yang tunggang-langgang, migrasi internasional telah merebak dalam kehidupan masyarakat dunia, tak terkecuali di Indonesia. Data The International Organization for Migration (IOM) menyatakan pada 2020 populasi orang yang bermigrasi dari negara asal ke negara lain mencapai 272 juta orang, termasuk 75 juta di antaranya menetap di Asia.

BACA JUGA: Perdana, Universitas Terbuka Gelar Wisuda Langsung dari Jepang

Indonesia termasuk salah satu negara terbesar dalam hal pengekspor buruh migran di dunia. Hasil survei World Bank dan Badan Pusat Statistik memperkirakan PMI di mancanegara mencapai 9 juta orang, angka yang cukup signifikan untuk  memberikan banyak kontribusi bagi pendapatan negara.

Adapun data Bank Indonesia (BI) —paralel dengan catatan rilisan Migrant Care— menunjukkan kiriman remitansi dari PMI di berbagai negara ke Indonesia pada 2019 mencapai Rp 169 triliun. Jumlah itu setara dengan 10 persen dari target pendapatan negara sebesar Rp 1.699,9 triliun dalam APBN 2020.

BACA JUGA: Kemendikbudristek Luncurkan ONE APP untuk Bantu Dosen dan Tenaga Pendidik Kuliah ke Luar Negeri

Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengeklaim pendapatan dari remitansi PMI merupakan penyumbang terbesar kedua bagi APBN setelah sektor migas. Namun, kontribusi yang signifikan itu belum dibarengi upaya perlindungan dan pengembangan kapabilitas PMI.

Nyatanya, PMI masih dipandang sebagai objek, bukan subjek yang menjadi mitra pemerintah dalam mendulang devisa negara.
 
Aktualisasi PMI
Pengembangan kualitas dan kapabilitas PMI merupakan hal penting dan genting karena kualifikasi pendidikan para buruh migran yang masih rendah. Menurut data BP2MI pada bulan November 2019, sebanyak 68 persen PMI adalah lulusan SD dan SMP.

BACA JUGA: ISST 2024, Perguruan Tinggi Jadi Garda Terdepan Agar Negara Bisa Maju

Tak ayal, mayoritas PMI ditempatkan pada sektor pekerjaan 3D (dirty, demeaning, and dangerous). Gaji yang mereka terima pun jauh lebih rendah dari pekerja lokal di masing-masing negara penempatan.

Selama ini, wacana pengembangan kualitas PMI acap kali diasosiasikan dengan usaha menyiapkan ‘tenaga kerja siap pakai’ bagi pasar ketenagakerjaan. Secara filosofis, pola pengembangan semacam ini sesungguhnya merupakan penyempitan dari konsepsi luhur pembangunan sumber daya manusia.
 
Amartya Sen, ekonomi peraih Nobel Ekonomi pada 1998, menyatakan bahwa fundamen pembangunan kualitas manusia ialah peningkatan kualitas hidup yang pilar utamanya adalah pengembangan kapabilitas. Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai ‘kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan bernilai atau meraih kondisi keadaan yang bernilai’.

Tiga dekade lalu, laporan United Nations Development Programme (UNDP) sejatinya telah mewanti-wanti urgensi pengembangan kapabilitas sebagai pilar untuk mengembangkan kehidupan yang sehat serta bernilai, berpengetahuan luas, dan memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan bagi standar hidup layak.

Dengan demikian, perlu disadari bahwa pengembangan dan pembangunan kapabilitas tenaga kerja tidak sebatas pada penyiapan tenaga kerja dengan keterampilan praktis sesuai permintaan industri saja. Kita bisa belajar dari langkah moderat Amerika Serikat (AS) ketika diterpa resesi ekonomi pada tahun 1970-an.

Di satu sisi, AS memerlukan kebijakan pragmatis dengan menggencarkan pelatihan-pelatihan keterampilan teknis dalam bingkai ‘link and match’. Namun, di lain sisi, AS tidak mau menanggalkan esensi dari peningkatan kapabilitas manusia.

Pada akhirnya, kendati ditekan oleh para pendukung vokasionalisme, hal krusial yang justru ditangani AS adalah perluasan pengajaran budaya menulis dan mengarang.

Penggiatan literasi berorientasi vokasional terus digalakkan, tetapi filosofi luhur yang mereka usung ialah “krisis budaya literasi adalah bom waktu yang akan memperlemah daya Amerika” (Godzich, 1994). Amerika Serikat ternyata sudah memahami basis utama kualitas sumber daya manusia tidak terletak pada keterampilan teknis semata, tetapi pada upaya revitalisasi mentalitas.

Pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia pada umumnya dan peningkatan kapabilitas PMI pada khususnya tidak bisa terus berbasis pada pelatihan keterampilan praksis. Kita semua mesti menginsyafi paradigma anyar bahwa dalam lesat-pesat laju zaman, keterampilan praksis yang dipelajari hari ini sangat mungkin sudah tidak akan relevan dalam beberapa tahun lagi.
 
Sebuah riset yang dilakukan oleh McKinsey Digital mengungkapkan bahwa 60 persen dari seluruh pekerjaan yang potensial saat ini, sepertiganya bisa didigitalisasi dan diotomatiskan dengan mesin.

Selaras dengan riset tersebut, laporan The World Economic Forum memprediksi bawah per 2020, lebih dari sepertiga keterampilan inti yang diperlukan belum dianggap penting dalam dunia kerja pada masa sebelumnya.

Benang merahnya, sekali lagi, daya sintas peningkatan kualitas manusia seyogianya tidak hanya bertumpu pada pendekatan berbasis tantangan dan ancaman semata, melainkan berbasis pada penguatan kapabilitas dan mentalitas.
 
Layanan Pendidikan Tinggi bagi PMI
Peningkatan kapabilitas –melalui jalur pendidikan formal—adalah hal yang strategis. Namun, perhatian kita terhadap upaya aktualisasi PMI masih nihil.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya menyebutkan salah satu hak pekerja migran adalah hak untuk berekspresi (mengembangkan diri) dan akses terhadap pendidikan.

Diakui atau tidak, kenaikan taraf pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, menjadi salah satu upaya pemberdayaan bagi PMI karena mereka dapat lebih memiliki kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang berkembang dinamis sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
 
Upaya itu terbuka lebar melalui layanan pendidikan tinggi jarak jauh sebagaimana dikonsepkan oleh Universitas Terbuka (UT). Sebagai perguruan tinggi negeri (PTN), UT telah berupaya membuka kesempatan untuk kuliah bagi siapa saja dengan mengedepankan inklusivitas yang bisa diakses siapa pun tanpa memandang derajat, status sosial, usia, dan jenis kelamin.

Iknlusivitas itu sesuai dengan konsep dan makna kata ‘terbuka’ pada nama Universitas Terbuka. UT dihadirkan untuk menawarkan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang inklusif.

Ketika perguruan tinggi lain berlomba untuk menyeleksi calon mahasiswa dengan persyaratan akademik dan nonakademik yang rumit dan berbelit-belit, UT hadir dengan mengusung slogan ‘Making Higher Education Open to All’. Ketika anak-anak lulusan SMA/SMK sederajat menghadapi kegamangan atas pilihan antara bekerja atau berkuliah, UT menyajikan solusi moderat dengan menawarkan opsi bekerja sambil kuliah maupun sebaliknya.
 
Sebagai pionir perkuliahan jarak jauh dengan mode dalam jaringan (daring), UT kini menjadi kiblat penyelenggaraan kuliah online di Indonesia. UT telah mendiseminasikan kerangka berpikir ilmiah kepada mahasiswanya, bahwa dengan teknologi -demikian Bill Gates menyebutkan- “satu jari dapat membuat mahasiswa belajar di mana saja dan kapan saja” baik di dalam maupun di luar negeri.
 
Daya jangkau UT yang luas bisa dicapai berkat adanya 39 kantor UT Daerah sehingga mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, bahkan sampai di daerah terluar. UT juga telah melebarkan sayap penyediaan layanan pendidikan jarak jauh ke berbagai negara di dunia, khususnya negara tujuan penempatan PMI, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan (Korsel), Saudi Arabia, dan Jepang.

Layanan UT di luar negeri makin masif sejak diresmikannya keberadaan Universitas Terbuka Layanan Luar Negeri (UT LLN). Saat ini, UT LLN telah menyediakan layanan pendidikan di 56 Negara dan 90 kota.

Jumlah mahasiswa UT yang berada di luar negeri mencapai 6.527 orang. Dari jumlah itu, 99 persen di antara mereka mereka mengikuti kuliah sambil bekerja.
 
Melakoni aktivitas bekerja sambil kuliah memang bukanlah perkara mudah karena butuh daya juang tinggi dan kemandirian membagi waktu maupun tenaga. Ketika di awal masuk kuliah di UT, mahasiswa mungkin sempat berpikir apakah seorang PMI dengan segala keterbatasan waktu, suka dan duka tinggal di negara orang dapat menyelesaikan kuliah sambil bekerja.

Namun juga bukan hal yang mustahil seorang PMI dapat menyelesaikan kuliah hingga meraih gelar sarjana. Setidaknya 41 orang PMI di Jepang telah mnorehkan prestasi dengan berhasil lulus dan meraih gelar sarjana hingga mengikuti acara wisuda secara tatap muka di Balai Indonesia KBRI Tokyo pada 8 Desember 2024 lalu.
 
Jika bukan karena UT, belum tentu Pak Suma yang dulu seorang PMI di Taiwan dan tercatat sebagai alumni Program Studi S-1 Manajemen UT, mendapat kesempatan meraih gelar sarjana manajemen. Beruntungnya lagi, setelah lulus dari UT, Pak Suma memutuskan kembali ke kampung halamannya.

Berkat ilmu dan gelar sarjana yang diperolehnya, Pak Suma terpilih menjadi kepala Desa Sende di Kecamatan Arjowinangun, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. 

Contoh lain ialah Hendri Setyawan yang pernah terdaftar sebagai PMI di Korsel. Dia merupakan mahasiswa UT Program Studi Ilmu Komunikasi.

Dengan gelar itu,, Hendri akhirnya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.

Demikian pula dengan Saiful Anshori sebagai alumnus Program Studi Manajemen UT Korsel. Dia memperoleh Visa E7 atau dikategorikan sebagai Profesional Worker di Korsel sehingga membuatnya bebas bekerja berapa lama pun di Negeri Gingsen itu dan memperoleh gaji yang setara dengan pekerja maupun warga negara setempat.

Begitu juga dengan Adi Latif Mashudi, seorang pekerja migran yang menjadi alumnus UT Korsel yang lulus pada 2022. Berkat gelar sarjana manajemen dari UT, Adi sukses menjadi petani melon dan berhasil membuka agrowisata di kampungnya. Sebagai lulusan UT, Adi telah membuktikan ilmunya memberi banyak manfaat bagi desanya.
 
Lain lagi ceritanya dengan Heri Heriyadi yang setelah lulus SMA memberanikan diri menjadi pekerja migran yang bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran di Qatar. Sambil bekerja, Herry  masuk menjadi mahasiswa Program Studi Komunikasi UT pada 2015.

Lima tahun kemudian atau 2020, Heiyadi lulus dan meraih gelar sarjana. Setelah lulus, dia diangkat menjadi CS Duty Supervisor Qatar Airways.
 
Sama halnya dengan yang diraih Faried Hidayat, pkerja migran yang awal berangkat ke Jepang untuk magang. Sambil bekerja, dia mencoba mengikuti kuliah di UT dengan memilih program studi akuntansi.

Pada awal Faried menjalani perkuliahan, perusahaan Jepang tempatnya bekerja sempat memberikan teguran. Namun, berkat pendekatan dan komunikasi yang baik dengan pihak perusahaan, Faried mampu meyakinkan perusahan yang mempekrjakannya bahwa sistem kuliah yang diikutinya secara online dan tidak menganggu tugasnya sebagai pekerja.

Akhirnya pihak perusahaan malah mengizinkan dan mendukung menjalani seluruh proses kuliah. Setelah lulus dan meraih gelar sarjana akuntansi, Faried mendapat promosi menjadi pegawai tetap dan sampai saat ini diberi tugas sebagai akuntan di perusahaan tersebut.
 
Ibarat fenomena gunung es, Pak Suma, Bung Hendri, Bung Saiful, Bung Adi Latif, Bung Heri Heriyadi, dan Bung Faried Hidayat hanyalah secuil dari selaksa kisah PMI lulusan UT yang berhasil membuktikan bahwa bekerja sambil kuliah merupakan keniscayaan.

Kisah PMI sukses ini juga makin memantapkan betapa urgensi pendidikan bagi PMI. Lewat pendidikan tinggi akan terlahir kualitas PMI yang tidak hanya memiliki keterampilan teknis semata, tetapi memiliki mentalitas yang kuat dan daya saing global.(jpnn)
 
*Penulis adalahd Dosen Program Studi Sosiologi FHISIP & Direktur Layanan Luar Negeri Universitas Terbuka

 
 


Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler