Sejak perbatasan ditutup pada Maret 2020, lebih dari 500.000 migran telah meninggalkan Australia, sementara jumlah pekerjaan tidak berkurang.
Sebagaimana hukum permintaan dan penawaran, seharusnya tingkat upah akan meroket akibat kelangkaan tenaga kerja.
Namun, dengan akan dimulainya kembali migrasi ke Australia, apakah tingkat upah di Australia akan menurun akibat akan banyak pasokan tenaga kerja?
Bersama suami dan anak-anaknya, migran asal Kolombia, Monica Hernández Mattos tiba di Adelaide 12 tahun lalu. Ia datang dalam program migran pekerja terampil.
BACA JUGA: Pemilik Kapal Asing Mengaku Setor Miliaran Rupiah kepada Angkatan Laut Indonesia
Tapi Monica menjalani pekerjaan yang tak terkait dengan kualifikasinya sebagai psikolog. Ia bekerja sebagai 'cleaning service', 'hospitality' dan pemetik buah selama tiga tahun sambil meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya.
"Saya paham sekali bila ada warga berkata 'para migran ini mengambil pekerjaan kami''," ujarnya.
BACA JUGA: Untuk Mencapai Pertumbuhan Ekonomi, Australia Perlu Dua Juta Migran dalam Lima Tahun
"Tapi saya tak melihatnya seperti itu. Kami bekerja dalam tim, membawa keterampilan baru, pengalaman baru, dan bahasa baru juga," kata Monica.
Sekarang dia bekerja sebagai pegawai negeri di negara bagian Victoria sesuai dengan kualifikasinya sebagai psikolog.
Keluarga Monica telah membangun kehidupannya di Australia.
"Kami datang ke sini untuk berkontribusi pada komunitas. Kami tak punya niat untuk mengambil pekerjaan apa pun dari siapa pun," katanya. Pertumbuhan upah sangat rendah
Dengan mendatangkan pekerja migran secara agresif, Australia berhasil menambah proporsi penduduk usia kerja.
Bahkan, sepersepuluh populasi masuk ke negara ini pada dekade sebelum pandemi dimulai.
Dalam periode yang sama, pertumbuhan upah amat rendah, sehingga daya beli mengalami stagnasi, terlepas dari pertumbuhan ekonomi.
Pada bulan Juli, Gubernur Reserve Bank of Australia Philip Lowe mengatakan kemampuan pengusaha "menyerap" pasar tenaga kerja global telah mengubah dinamika upah secara permanen di Australia.
Dr Lowe mengatakan perusahaan dapat mempekerjakan pekerja asing untuk mengatasi kebuntuan dan kelangkaan pekerja.
Tapi dia mengaku kemampuan mendapatkan pekerja asing dari luar negeri akan "mencairkan" pertumbuhan upah di beberapa sektor ekonomi.
"Perekrutan ini juga dapat melemahkan insentif bagi perusahaan untuk melatih pekerja yang dibutuhkan," kata Dr Lowe. Eksploitasi merugikan semua pihak
Salah satu permasalahan yang kerap dialami pekerja migran yaitu eksploitasi di tempat kerja.
Jenis visa tertentu, terutama visa tinggal sementara dan visa pelajar, membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi oleh majikan.
Ketika ancaman deportasi atau hukuman membayangi, para migran bisa terjebak dalam pekerjaan eksploitatif dan dibayar rendah.
Hal ini dapat terus menekan upah di sektor itu, seperti terjadi dalam kasus pencurian upah skala besar dan penipuan di sektor 'hospitality' dan pertanian.
Seorang migran asal Tiongkok, Xueliang Wang, datang ke Australia pada 2018 untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Tapi, sebaliknya, katanya dia menjadi korban eksploitasi di tempat kerja.
Pada Maret 2020, Wang bekerja 11 jam memetik buah di salah satu pertanian di New South Wales, tinggal di kontainer barang bersama istrinya.
Dia mengatakan kepada ABC jika dia dibayar kurang dari AU$100 (lebih dari Rp1 juta) per hari meski pun pekerjaan tersebut diiklankan dengan tarif AU$17 (lebih dari Rp170 ribu) per jam.
Mereka harus membayar AU$150 (lebih dari Rp15 juta) seminggu untuk tempat tidur di kontainer tersebut.
Dia menggambarkan kondisi kerja dan kehidupan di pertanian itu "sangat tidak sehat".
"Sangat melelahkan bekerja 11 jam sehari. Saya sering digigit nyamuk dan serangga selama musim panas," kata pria berusia 57 tahun itu.
"Ini murni eksploitasi," ujarnya.
Dia mengatakan sekitar 50 pekerja, sebagian besar dari Tiongkok daratan, harus berbagi empat kamar mandi dan dapur seadanya dengan empat kompor. Tiga bulan setelah tiba, dia berhenti dari pekerjaannya.
"Banyak dari mereka tidak bisa berhenti karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris dan khawatir tak akan mendapatkan pekerjaan baru," kata Xueliang.
"Saya pikir Australia ini negara maju, tapi apa yang saya alami ini menunjukkan sebaliknya," tuturnya. Saat migran menekan tingkat upah
Pencurian upah yang merajalela di jaringan toko serba ada 7-Eleven membuat operator membayar denda lebih dari $ 173 juta.
Mayoritas pekerja di perusahaan itu adalah migran.
Menurut Brendan Coates dari lembaga pemikir independen Grattan Institute, hak-hak buruh migran belum ditegakkan.
"Hal ini dapat merugikan upah warga Australia dengan keterampilan yang sama dan bekerja di sektor yang sama,” tulisnya dalam sebuah laporan.
Pemegang visa sementara lebih berisiko dieksploitasi daripada pemegang visa permanen karena mereka harus memenuhi persyaratan, seperti tetap bekerja, untuk tetap tinggal di Australia dan terus mencari visa permanen.
Brendan melihat masalahnya ada pada desain visa kerja sementara dan lemahnya penegakan hukum perburuhan di sektor-sektor di mana pekerja migran terkonsentrasi.
Analisis terhadap 1 juta visa sementara Australia untuk pekerja terampil dalam studi Universitas Oxford tahun 2020 menemukan bahwa ketika pekerjaan tertentu menerima banyak migran, pendapatan pekerja lokal cenderung meningkat.
Alasanya, karena mereka menyesuaikan diri dengan persaingan dengan cara beralih ke pekerjaan lain yang dibayar lebih tinggi. Ada ruang untuk semua
Cath Scarf menjalankan AMES Australia, lembaga yang membantu para migran sejak tiba di bandara hingga menyelenggarakan kelas bahasa Inggris.
Dia tidak setuju dengan teori penawaran dan permintaan bahwa para migran menyebabkan terjadinya menurunkan upah.
"Dampak pekerja migran terhadap upah, dan ekonomi secara umum, itu sangat positif. Mereka mengisi kesenjangan di sektor yang penting. Mereka jelas memicu permintaan konsumen baru ke ekonomi," ujarnya.
Cath mengatakan komitmen untuk meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk pindah ke negara baru membuat orang berani mengambil risiko.
"Jadi mereka sangat aspiratif dan berjiwa wirausaha. Mereka akan melakukan apa pun untuk membuat perjalanan mereka berhasil," katanya.
Cath menyebut pengaturan visa seperti membatasi mahasiswa internasional untuk bekerja maksimal 20 jam seminggu telah menciptakan lingkungan di mana orang dapat dieksploitasi.
Menurut Gabriela D'Souza, ekonom dari Komite Pembangunan Ekonomi Australia (CEDA), aturan baru yang diterapkan Australia sejak tahun lalu, membuat pekerja migran semakin berada dalam posisi lebih sulit.
Aturan tersebut menetapkan bahwa migran yang baru mendapatkan status penduduk tetap harus menunggu empat tahun lamanya sebelum bisa mendapatkan tunjangan kesejahteraan.
"Jadi, seorang insinyur mungkin datang ke sini, mendapati bahwa mereka membutuhkan waktu terlalu lama untuk mencari pekerjaan sehingga akan bekerja apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya," katanya.
Sementara itu, Monica dari Bogotá sekarang sudah menjadi penduduk tetap di Melbourne.
"Tentu saja. Saya merasa Australia telah menjadi negara saya," katanya.
"Kami mendapat penghasilan, membayar pajak, berkontribusi kepada masyarakat dengan cara yang baik," ujar Monica.
"Kami sangat bahagia di sini. Bukan hanya berbahagia, tapi juga sangat bersyukur," tuturnya.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Situasi Memanas, Tetangga Indonesia Ini Siap Bela Taiwan Jika China Macam-Macam