jpnn.com, JAKARTA - Dalam satu dekade terakhir, patut disayangkan bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang mengalami peningkatan prevalensi merokok dengan rata-rata 0,3 persen per tahun dari tahun 2005 sampai 2018. Sedangkan negara-negara Asia lainnya tidak mengalami peningkatan atau bahkan berhasil menurunkan prevalensi merokok. Apa yang bisa dipetik dari keberhasilan negara-negara ini?
Menurut data prevalensi merokok World Health Organization (WHO), angka prevalensi perokok pria dewasa Indonesia tertinggi di dunia sebesar 76,2 persen. Sementara itu data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi merokok di Indonesia adalah 28,9% untuk orang yang berusia lebih dari 10 tahun atau hampir setara dengan 70 juta perokok.
BACA JUGA: Hindari Penyalahgunaan Rokok Elektrik, Regulasi Khusus Diperlukan
Sejumlah kalangan ahli mendorong agar penelitian terkait Produk Nikotin Alternatif (Alternative Nicotine Delivery System / ANDS), seperti rokok elektrik atau vape, terus digencarkan. Pasalnya, penelitian dibutuhkan guna memberikan masukan untuk kebijakan dan edukasi bagi masyarakat utamanya perokok dewasa agar dapat menemukan alternatif dari rokok konvensional.
Dalam sebuah diskusi yang pada, Kamis (30/7) lalu, pakar kesehatan masyarakat seperti David Sweanor, Prof. Tikki Pangestu, dan Prof. Ali Ghufron membahas tentang “Apa yang Dikatakan Peneliti tentang Alternatif Merokok?”
BACA JUGA: Penelitian tentang Rokok Elektrik Perlu Dikaji Lagi
Dalam acara tersebut para pakar berbicara tentang bagaimana bukti ilmiah dan penelitian harus menjadi dasar dalam mengatur produk nikotin alternatif.
“Kami dapat membuat perubahan yang nyata untuk banyak orang dengan cara memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang ada,” ujar David Sweanor, Ketua Dewan Penasihat, Pusat Hukum Kesehatan, Kebijakan dan Etika, Universitas Ottawa, Kanada.
BACA JUGA: Persepsi Keliru Tentang Rokok Elektrik Bisa Meresahkan Publik
Sweanor mencontohkan di negara-negara seperti Islandia, Norwegia, Swedia dan Jepang, konsumen dapat beralih ke alternatif selain rokok konvensional ketika pilihan tersebut tersedia.
Sweanor menambahkan penelitian yang mendasari setiap informasi tentang ANDS amat penting dilakukan untuk memberikan informasi faktual kepada masyarakat bahwa produk-produk alternatif berpotensi mengurangi risiko yang disebabkan merokok.
“Kita punya kesempatan melalui sejumlah terobosan. Kita punya teknologi, regulasi serta ilmu pengetahuan yang akan membawa perubahan besar ke arah yang lebih baik,” katanya.
Prof Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO yang juga Profesor di Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin, Universitas Nasional Singapura (NUS) mengatakan, risiko dan bahaya ENDS lebih rendah 90%-95% daripada rokok konvensional yang dibakar.
“Vaping itu tembakaunya enggak dibakar. Pembakaran itu yang menyebabkan pelepasan zat-zat beracun yang ada di asap rokok. Vaping itu uap, bukan asap,” ucap Tikki.
Tikki mengaku kurang sependapat bila dikatakan pemakaian vape mengakibatkan kondisi kesehatan memburuk.
“Jadi kesalahannya bukan kepada vaping, tetapi kenyataannya ialah penggunaan cairan vape yang terkontaminasi oleh berbagai zat-zat yang dibeli di black market, dan itu adalah Tetrahydrocannabinol (THC) dan vitamin E Asetat,” papar Tikki.
Prof Tikki mengatakan, keberadaan vape sebagai produk alternatif akan sulit didukung tanpa penelitian yang memadai. Padahal, kata dia, sejumlah penelitian di negara-negara maju telah membuktikan bahwa kehadiran vape mampu menjadi alternatif bagi para perokok konvensional.
Yang mesti menjadi perhatian bersama adalah minimnya kajian dan penelitian lokal dalam mengkaji dampak dan risiko produk alternatif seperti vape, dimana hal ini akan berkontribusi dalam merancang peraturan terkait vape di Indonesia.
“Meskipun ANDS tersedia di Indonesia, namun belum ada kerangka regulasi yang komprehensif dalam mengatur produk-produk tersebut," ungkapnya.
"Akibat dari kurangnya regulasi, perokok dewasa tidak memiliki akses kepada lebih banyak produk alternatif, yaitu produk yang menghantarkan nikotin dan berpotensi menimbulkan risiko lebih rendah bagi perokok dan lingkungannya," sambungnya.
Sementara itu, karena kurangnya penelitian lokal, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganggap ANDS, seperti vape/rokok elektrik, sama bahayanya, atau bahkan lebih berbahaya daripada rokok konvensional.
Tikki menyarankan agar penelitian mengenai ANDS harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang relevan dalam industri produk nikotin alternatif, seperti pemerintah, pakar kesehatan, akademisi, pelaku bisnis, dan asosiasi.
Penelitian diperlukan, kata Tikki, sebagai bahan pertimbangan Pemerintah nantinya dalam mengambil sebuah kebijakan.
"Penelitian penting dilakukan untuk argumentasi ke pemerintah sebagai dasar dalam membuat kebijakan," tandasnya.
Sementara itu, Ali Ghufron Mukti, Plt. Staf Ahli Menteri Bidang Infrastruktur dan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional mengatakan saat ini pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah berinisiatif untuk mengembangkan standar bagi produk-produk ANDS, mulai dari produk Tembakau Dipanaskan di tahun 2020, dan dilanjutkan dengan produk vape pada tahun 2021.
“Setelah selesai, standar ini dapat memberikan jaminan bagi konsumen dan menjadi langkah penting menuju peraturan yang lebih komprehensif di industri ini,” ujar Prof. Ali Ghufron.
Lebih lanjut, Ghufron juga mengakui bahwa penelitian terkait produk alternatif selain yang sudah ada (rokok konvensional) masih sangat terbatas.
“Di Indonesia penelitian terkait vape masih sangat terbatas kecuali yang konvensional dimana ada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas),” ungkapnya.
Kendati demikian, Ghufron mengatakan Pemerintah selalu membuka ruang bagi penelitian sepanjang berbasis pada kepentingan masyarakat luas.
“Pemerintah terbuka dan mendorong penelitian untuk manfaat masyarakat luas,” katanya.
Ghufron mengatakan penelitian tentang vape dibutuhkan sebagai dasar pembuatan regulasi, walaupun dalam penerapannya masih sering menghadapi tantangan dari banyak kepentingan lain, seperti politik maupun persaingan usaha.
“Penelitian-penelitian khusus vape ini di Indonesia masih sangat terbatas, bahkan hampir tidak (belum) ada. Kalau NRT (Terapi Pengganti Nikotin) masih ada, tapi kalau ANDS, terutama vape ini masih sangat sulit untuk dicari,” ujar Ghufron mengakui.
Oleh karena itu, penelitian tentang produk alternatif pengganti rokok ini layak untuk terus dikembangkan di Indonesia, demi manfaat bagi masyarakat luas, khususnya dalam kebijakan dan peraturan pemerintah.
“Jadi kuncinya bagi para peneliti adalah harus memahami bagaimana mengaplikasikan riset di level kebijakan,” tutup Ghufron.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari