Minyak Goreng Langka dan Kedelai Mahal, Bamsoet: Jangan Dibiarkan Berlarut-larut

Senin, 14 Februari 2022 – 11:01 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyatakan, kredibilitas pemerintah sebagai regulator menjadi taruhan karena masyarakat mempertanyakan kapabilitasnya dalam mengelola kebutuhan pokok. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Masyarakat di berbagai daerah menyuarakan keluh kesah terkait masalah kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai sampai akhir pekan kedua Februari.

Di beberapa tempat, warga sampai mengantre untuk membeli minyak goreng.

BACA JUGA: MPR RI Minta Pemerintah Perhatikan Kelompok Rentan di Tengah Lonjakan Kasus Omicron

Menurut Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet), pemerintah seharusnya mengatasi dua masalah ini secara maksimal karena berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga dan jutaan pelaku UMKM.

Gejolak harga kebutuhan pokok selalu menjadi isu sensitif yang bisa mencoreng kredibilitas pemerintah.

BACA JUGA: Bamsoet Minta Pihak Kepolisian Usut judi Online Berkedok Investasi

''Durasi kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai saat ini jangan sampai berlarut-larut. Pemerintah perlu menempuh semua cara yang legal untuk mengatasi masalah ini,'' ungkap ketua umum IMI ini.

Memasuki pekan kedua Februari, kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai berlangsung lebih dari sebulan.

BACA JUGA: Bamsoet Dorong Pemerintah Buat Aturan Khusus untuk Lindungi Konsumen Kripto

Ketua ke-20 DPRI ini menyatakan, akar masalah atau penyebab kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng sudah diketahui.

Begitu pula dengan latar belakang yang menjadi faktor pendorong naiknya harga kedelai.

''Kenaikan harga minyak goreng bahkan diperkirakan sejak tahun lalu menyusul naiknya harga CPO di pasar global. Karena tidak ada kebijakan antisipatif, kelangkaan dan naiknya harga harus ditanggung masyarakat sebagai konsumen,'' ucapnya.

Sementara itu, lonjakan harga kedelai terjadi karena pasokan ke pasar dalam negeri berkurang.

Bamsoet menjelaskan, pasokan kedelai berkurang karena volume produksi di negara produsen menurun.

Dalam kasus itu, ketergantungan Indonesia akan produk impor memang tak terhindarkan.

''Kecenderungan ini terjadi karena produksi dalam negeri terus menurun dan tak bisa memenuhi permintaan masyarakat. Awal Februari 2022, harga kedelai di pasar global berkisar Rp 11.240 per kilogram,'' ungkap Bamsoet.

Dari total kebutuhan yang mendekati 3 juta ton, produksi dalam negeri hanya mampu memasok kurang dari 10 persen.

Sisanya, Indonesia impor dari Amerika Serikat dan beberapa negara produsen lain.

''Ketika produksi kedelai di di beberapa negara produsen menurun, Indonesia harus mencari jalan keluar dengan melakukan pendekatan kepada negara produsen lain,'' ujarnya.

Hampir sepanjang Januari hingga pekan kedua Februari 2022, kelangkaan serta naiknya harga minyak goreng dan kedelai sudah membuat tidak nyaman semua rumah tangga.

Keluh kesah para ibu rumah tangga itu adalah hal nyata tanpa rekayasa. Komunitas lain yang juga sangat dirugikan adalah belasan juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadikan minyak goreng serta kedelai sebagai komoditas andalan.

Menurut Bamsoet, hampir setiap hari, masyarakat mengeluhkan masalah ini.

Di berbagai daerah, terjadi antrean panjang ibu-ibu yang akan membeli minyak goreng.

Padahal, Indonesia adalah salah satu produsen sawit terbesar di dunia.

''Antrean pembeli minyak goreng itu hendaknya tidak hanya dipahami sebagai peristiwa, tetapi juga patut diterjemahkan sebagai aspirasi para ibu rumah tangga,'' ucapnya.

Para produsen tahu dan tempe di berbagai daerah juga mengeluhkan tingginya harga kedelai. Misalnya, wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Kota Parepare, Sulawesi Selatan.

Di Jawa Tengah, produsen tahu dan tempe sekitar 10 ribu orang. Mereka berharap pemerintah bertindak cepat untuk mengendalikan harga kedelai.

Apa yang dialami produsen ini memberikan dampak ikutan pada komunitas pemilik rumah makan maupun penjual jajanan tahu dan tempe goreng yang jumlahnya tidak sedikit.

Menurut Bamsoet, Keluh kesah masyarakat itu seharusnya didengarkan dan direspons pemerintah. Khususnya para menteri ekonomi di kabinet.

Minyak goreng dan kedelai sebagai bahan baku tahu-tempe adalah faktor yang tidak boleh diabaikan.

''Ketika pandemi belum berakhir, konsumsi masyarakat menjadi salah satu faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi,'' ungkapnya.

Agar kekuatan konsumsi masyarakat tetap terjaga, pemerintah harus segera mengatasi kelangkaan minyak goreng dan kedelai.

''Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut. Kalau persoalannya bisa diatasi dengan menggeser skala prioritas atau refocusing anggaran untuk menyubsidi minyak goreng dan kedelai, tentu bukan aib untuk melakukannya,'' ungkap Bamsoet.

Jangan lupa, minyak goreng dan kedelai itu berkait langsung dengan kebutuhan keseharian masyarakat Indonesia. Semestinya, kebutuhan yang satu ini tidak boleh dikorbankan.

Sebagai masalah yang sedang dihadapi semua rumah tangga Indonesia, kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai sudah memasuki bulan kedua.

Pemerintah diharapkan lebih peka terkait masalah ini. Harga kebutuhan pokok yang bergejolak selalu menjadi isu yang sangat sensitif jika tidak segera ditangani.

''Kredibilitas pemerintah sebagai regulator menjadi taruhannya karena masyarakat mempertanyakan kapabilitasnya dalam mengelola kebutuhan pokok,'' tandas Bamsoet. (mrk/jpnn)


Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler