Mirna Tewas bukan Karena Sianida? Itu Fakta, Bukan Keyakinan

Kamis, 08 September 2016 – 06:36 WIB
Djadja Surya Atmadja, saat bersaksi di sidang perkara kematian Wayan Mirna Salihin. Foto: Imam Husein/Jawa Pos

jpnn.com - PENDAPAT ahli forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Djadja Surya Atmadja, menambah daftar panjang fakta persidangan bahwa Wayan Mirna Salihin tewas bukan karena sianida.

Djadja menegaskan bahwa ini merupakan sebuah fakta. "Itu bukan keyakinan, itu fakta," kata Djadja menjawab JPNN, usai menjadi ahli dalam sidang pembunuhan berencana dengan racun sianida terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/9) malam. 

BACA JUGA: Gawat, Tiga Kakek-Kakek Bejat Garap Bocah 12 Tahun

Dia mengatakan, silakan saja tanya kepada 1000 dokter forensik di seluruh dunia, sudah pasti jawabannya sama. "Karena itu dogma," tegasnya. 

Dokter DNA pertama di Indonesia ini  menjelaskan, dogmanya ialah kalau orang keracunan sianida pertama kulitnya akan berwarna merah atau pink. Kedua, lanjut dia, ada baunya yang bisa tercium oleh dokter. Ketiga, lambungnya merah terang. 

BACA JUGA: Orang Tua Edan, Anak Kok Disuruh Mencopet

"Dan satu yang paling fatal sebenarnya, mestinya dalam hatinya ketemu sianida dan tiosianat. Tapi, itu negatif semua," ungkap ahli yang sudah malang melintang dalam dunia forensik ini. 

Kalau lambung, ujar dia, tidak menjadi konsentrasinya dalam persoalan ini. Sebab, kata dia, sianida bisa bikin seseorang meninggal dunia jika dari lambung masuk ke darah kemudian ke liver. "Itu baru mati," ujar pria kelahiran Jakarta 19 Mei 1960 ini. 

BACA JUGA: Tidak Ada Sianida di Hati Mirna

Djadja pun merekomendasikan agar jenazah Mirna diautopsi. Meskipun, kata dia, autopsi belum tentu menyelesaikan masalah mengingat ini sudah terlalu lama. "Tapi, biar bagaimanapun lebih berharga daripada tidak (diotopsi)," ujarnya. 

Namun, kata dia, nantinya itu tidak gampang. "Karena sianida itu bisa naik dan bisa menurun," ungkap Djadja. 

Nah, ia menyatakan, kalau mau melakukan autopsi ulang jangan di Universitas Indonesia. Sebab, ia khawatir akan terjadi konflik kepentingan. Autopsi, ujar dia, bisa dilakukan di center forensik lain seperti di Surabaya, Jawa Timur, Yogyakarta, maupun Makassar, Sulawesi Selatan. "Kalau melakukan autopsi kedua dianjurkan di center lain, (dilakukan) oleh ahli lain. Itu saja," kata dia. 

Lebih lanjut, Djadja mengaku tidak tahu  apakah ada kandungan racun lain di dalam tubuh Mirna. "Ya mana saya tahu, karena dokter forensik itu tidak boleh menebak," jelasnya. Sebab, jelas dia, pernyataan dokter forensik itu dipakai untuk menghukum orang. "Jadi kalau tidak diautopsi, tidak bisa ngomong. Jadi, jangan ngarang," katanya.

Saat dikonfirmasi apakah ada kesalahan di awal dalam pemeriksaan Mirna, ia tidak membantahnya. "That's right. Satu lagi kalau periksa racun, jangan cuma racun itu doang. Harus semuanyalah," pungkasnya. 

Saat bersaksi di sidang, Djadja juga menegaskan bahwa ada kesalahan di awal karena tidak dilakukan autopsi. Dia pun mengingatkan hakim dan jaksa, kalau fakta tidak ada sianida dalam tubuh Mirna, jangan dipaksakan. "Kalau sianida negatif, jangan dipaksa, Pak," kata dia menjawab hakim Binsar Gultom dan mengundang tawa pengunjung sidang, Rabu (7/9). (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jaksa dan Saksi Ahli Berdebat Soal Warna Lambung Mirna


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler