jpnn.com - JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengaku belum melihat desain besar dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang penyelesaian kredit berisiko atau loan at risk (LAR) dan non-performing loan (NPL) alias kredit macet di perbankan swasta.
Oleh karena itu, Misbakhun meminta lembaga yang dipimpin Mahendra Siregar ini segera menyusun desain besar tentang penyelesaian loan at risk (LAR) dan NPL.
BACA JUGA: Misbakhun Minta Sri Mulyani Menjelaskan Soal Kemampuan Pemerintah Membayar Utang
Dia menyatakan bahwa harus ada manajemen risiko yang mumpuni agar kredit bermasalah tidak mengganggu perekonomian.
“Saya belum melihat sebuah desain besar dari OJK bagaimana dengan loan at risk dan NPL yang mempunyai potensi sangat besar ini, apakah mereka dibiarkan stay di perbankan, atau mereka dikeluarkan dari situ,” ujar Misbakhun dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menkeu Sri Mulyani, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (31/8).
BACA JUGA: Anggota DPR Ini Dukung OJK Tingkatkan Penerapan GRC
Legislator Partai Golkar itu menambahkan ketiadaan manajemen risiko akan berdampak besar bagi perekonomian ketika ada persoalan.
“Risikonya besar karena manajemen risiko sektor swastanya yang belum bisa kita kelola,” katanya.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Turun dari Podium lalu Menyapa: Apa Kabarnya, Pak Misbakhun?
Misbakhun menjelaskan tingkat restrukturisasi kredit di kisaran 26-30 persen dari total pinjaman yang disalurkan perbankan.
“Itu, kan, menunjukkan ada loan at risk begitu tinggi di sana,” tuturnya.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menilai LAR yang tinggi disebabkan OJK melakukan pengecualian dalam program restrukturisasi.
Menurut dia, pengecualian itu tidak mengklasifikasikan LAR ke dalam kategori NPL.
“Pengecualian yang seperti ini, kan, memberikan loan at risk yang lebih tinggi,” paparnya.
OJK menjalankan program restrukturisasi kredit sejak Maret 2020 untuk menanggulangi dampak Covid-19.
Program itu telah diperpanjang dan akan berlaku hingga hingga 31 Maret 2023.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam raker Komisi XI DPR menjelaskan jumlah kredit yang direstrukturisasi maupun debiturnya mengalami penurunan.
Dia memerinci angka retrukturisasi kredit per Juli 2022 sebesar Rp 560,41 triliun atau turun dari Rp 576,17 triliun pada bulan sebelumnya.
Jumlah debiturnya pun mengalami penurunan.
Per Juli 2022, debitur yang masuk program itu mencapai 2,94 juta, sedangkan pada Juni 2022 masih di angka 2,99 juta. “Kredit restru Covid-19 dan jumlah debitur terus bergerak melandai,” ujarnya. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi