jpnn.com, GUNUNG KIDUL - Sudah sering muncul pemberitaan kasus bunuh diri di kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Jogjakarta. Berbagai mitos dikaitkan dengan kerapnya peristiwa bunuh diri di daerah tersebut.
Namun, data membuktikan bahwa kasus yang terjadi setiap tahun itu justru lebih terkait isu kemanusiaan dan kesehatan.
BACA JUGA: Anggota Paspampres Meninggal Dunia, Konon Akibat Bunuh Diri
Jika berbicara angka, memang tidak bisa dipungkiri data angka kematian warga Gunung Kidul akibat bunuh diri terus saja bertambah. Dalam satu hingga dua pekan, muncul satu sampai dua korban warga akibat bunuh diri. Berdasarkan data yang dimiliki Polres Gunung Kidul sebagaimana dihimpun oleh LSM Inti Mata Jiwa (Imaji), rata-rata angka kematian akibat bunuh diri di Gunung Kidul mencapai 30 jiwa.
“Data ini merupakan hasil olahan sejak 2001, ini belum termasuk data warga yang sengaja tidak dilaporkan juga ada,” ujar Joko Yanuwidiasta, Koordinator Imaji kepada Jawa Pos.
BACA JUGA: Kirim SMS Semangati Pacar Cepat Bunuh Diri, Ya Ampuuunâ¦Terjadilah
Jika melihat data itu, tahun 2001 mencatat angka kematian bunuh diri terendah, yakni 18 warga. Tahun 2007 mencatat angka kematian tertinggi, yakni 39 warga melakukan bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya.
Sempat menurun di 2014 dengan 19 angka kematian bunuh diri, angkanya naik di tahun 2015 dan 2016 sampai menyentuh masing-masing 33 korban. Memasuki 2017, hingga Agustus angka kematian akibat bunuh diri sudah menyentuh 25 korban.
BACA JUGA: Bunuh Diri Lompat dari Kapal Berlayar, 3 Hari Belum Ditemukan
Dari sisi usia, angka kematian bunuh diri pada juga didominasi usia produktif. Pada tiga tahun terakhir, kelompok usia lanjut atau diatas 60 tahun yang bunuh diri mencapai 44 persen. Kelompok usia produktif, yakni pada rentang 18-60 tahun justru mencapai 55 persen.
Perbandingan data yang dirangkum 2005-2008 menunjukkan data yang kurang lebih sama. Sebanyak 54 persen angka kematian bunuh diri di Gunung Kidul didominasi kelompok usia produktif.
Menurut Joko, kematian warga bunuh diri di Gunung Kidul awalnya kerap dikaitkan dengan mitos pulung gantung.
Mitos ini terkait dengan munculnya bola api yang melintas atau dilihat warga, yang menjadi pemicu dia nekad melakukan bunuh diri.
Mitos sejarah seperti legenda Shinta Obong, Moksa Brawijaya V dan suduk sliro Rara Lembayung selama ini juga lekat dengan masyarakat Gunung Kidul.
Jika sudah dikait-kaitkan itu, warga kemudian beramai-ramai mencari “gelu” atau penanda yang terkait dengan mitos-mitos itu. Namun, dari berbagai kejadian, masyarakat kebingungan menemukan penanda itu.
“Dari situ mulai muncul pergeseran keyakinan dari Pulung Gantung ke multifaktorial bunuh diri,” terang Joko.
Selama aktif melakukan penelitian terkait bunuh diri, Imaji juga terjun langsung memberikan pendampingan dan konseling terhadap keluarga korban, maupun warga korban yang gagal. Imaji menemukan fakta bahwa penyebab bunuh diri bisa disebabkan berbagai faktor.
Namun, faktor depresi dan sakit fisik menahun memiliki kontribusi terbesar pemicu bunuh diri. “Sebanyak 43 persen memutuskan bunuh diri karena depresi, 26 persen karena sakit,” terangnya.
Jika dikaitkan dengan data penyumbang terbesar kematian bunuh diri dari usia produktif, data angka kematian warga berdasarkan sebaran kecamatan bisa menjadi tolok ukur.
Wilayah kecamatan Wonosari, Karangmojo dan Semanu sejak 2001 hingga kini memiliki angka kematian bunuh diri yang terbilang tinggi. “Wilayah-wilayah itu adalah penyangga ekonomi di Gunung Kidul. Artinya banyak usia produktif berkontribusi,” ujarnya.
Wakil Koordinator Imaji Sigit Wage Daksinarga menambahkan, data yang terkumpul selama ini menunjukkan bahwa kebutuhan warga Gunung Kidul terhadap tenaga medis kejiwaan sudah mendesak.
Namun, hal ini seperti menjadi ironi. Meski data itu sudah diketahui oleh pemerintah kabupaten (Pemkab) Gunung Kidul, belum ada langkah proaktif untuk memenuhi kebutuhan itu.
“Gunung Kidul yang seluas ini, psikiater hanya cuma satu, di RSUD Gunung Kidul,” kata Wage.
Langkah yang dilakukan Pemkab, dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Berani Hidup pada 2016, yang diganti Juli tahun ini dengan Tim Pencegahan Bunuh Diri juga belum efektif.
Sebab, mayoritas pihak yang ditunjuk terlibat dalam tim ini kebanyakan adalah birokrat. “Pemkab juga belum tahu mau bertindak seperti apa, penganggarannya seperti apa,” kata Wage.
Padahal, jika dilihat, sudah ada upaya-upaya inisiatif yang dilakukan oleh satu atau dua kecamatan di Gunung Kidul, untuk mengutamakan pentingnya kesehatan jiwa. Ini seperti yang dilakukan oleh kecamatan Rongkop. Pada kurun 2001-2008, kecamatan Rongkop mencatat angka kematian warga akibat bunuh diri mencapai 9 jiwa.
Sekitar tahun 2010-2011, kecamatan Rongkop mencanangkan diri sebagai desa ramah dan sehat jiwa. Salah satu upaya Rongkop adalah menempatkan tenaga medis yang khusus membantu memberi konseling di bidang kejiwaan.
Hasilnya, data 2011 hingga 2016 menunjukkan angka kematian bunuh diri di Rongkop tinggal 2 jiwa. “Artinya saat wilayah itu sudah ramah jiwa, angka bunuh diri menurun,” jelasnya.
Peristiwa terbaru kasus bunuh diri di kecamatan Semin, Gunung Kidul, juga menunjukkan indikator-indikator pergeseran pola pikir warga.
Dalam kasus gantung diri yang dilakukan H, warga dusun Wates kecamatan Semin, masyarakat melihat tidak ada keterkaitan perbuatan H dengan mitos masa lalu.
“Lha memang orangnya sudah sakit menahun, merambat ke masalah ekonomi,” kata Sudoko, Ketua RT 03, tempat H tinggal.
Sudoko menuturkan, warganya itu semasa masih mampu bekerja sehari-hari adalah petani dan pengrajin. Namun, saat menderita sakit gula, H tidak mampu lagi bekerja normal.
Selama ini H memilih lebih banyak tinggal di rumah, daripada berusaha mengobati sakit gulanya. “Tiap hari cuma di rumah, keluar kalau cuma mau mandi saja,” ujarnya.
Meninggalnya H, lanjut Sudoko, juga membuat kaget warga. Jika muncul stigma bahwa bunuh diri warga di GN Kidul terkait dengan mitos, acapkali perlakuan warga sekitar justru mengacuhkan korban.
Namun, kata Sudoko, perlakuan warga terhadap H tetap selayaknya warga dusun yang meninggal lainnya. “Ya tetap dimandikan, disholati, baca yassin sama-sama. Kasihan, kan ini juga warga sendiri,” ujarnya.
Terkait dengan keberadaan tim pencegahan bunuh diri yang dibentuk Pemkab, Sudoko secara tidak langsung belum mengetahui. Pada saat kematian H terdengar, banyak warga sekitar yang kaget untuk kemudian datang melayat.
Namun, dia tidak melihat kehadiran perwakilan pemkab ataupun camat sekitar yang hadir, untuk melakukan pendampingan maupun konseling. “Paling yang hadir tadi saya lihat dari Lurah,” ujarnya.
Tidak jauh berbeda dengan yang dialami Joko Pramono. Warga dusun Gading, kecamatan Playen itu adalah sosok pelaku yang gagal bunuh diri, namun bisa kembali bangkit melanjutkan hidup.
Pria 28 tahun itu saat ditemui Jawa Pos menyebut, peristiwa yang dia lakukan di tahun 2015 itu disebabkan rundungan masalah yang dia alami. “Banyak masalah saya, tapi tidak bisa saya ceritakan di sini,” kata Joko.
Menurut Joko, masalah yang dia miliki saat itu lebih banyak dia pendam sendiri. Hal itu yang membuat dia pada satu momen memilih mengakhiri hidup dengan minum racun.
Joko beruntung karena tidak lama setelah dia meminum itu, tetangganya bernama Joko Waluyo datang menyelamatkan dan membawanya ke klinik terdekat. “Saya waktu itu merasa getun (menyesal, red), kenapa kok memilih jalan itu,” kata Joko.
Situasi pasca peristiwa itu masih membuka peluang Joko untuk kembali melakukan aksi bunuh dirinya. Tak jarang, pelaku bunuh diri perlu melakukan aksi beberapa kali, sampai kemudian bisa menuntaskan niat gelapnya itu.
Joko beruntung peristiwa kelam itu adalah yang pertama dan terakhir, karena lingkungan sekitar banyak memberi empati kepadanya untuk pulih.
“Kalau pas sama teman, mereka tidak banyak mengungkit masalah itu. Justru mengajak saya untuk kerja lagi. Saya sendiri akhirnya sadar kalau begitu terus, bisa-bisa terulang lagi,” ujar pria yang kerja di bidang instalasi audio itu.
Selama hampir dua tahun, Joko mengaku banyak mendapat dukungan semangat dari tetangga sekitar. Dalam kurun waktu 2017, Joko mendapat dukungan tambahan dari LSM Imaji. Namun, sayangnya, belum ada pendampingan langsung dari pemerintah yang datang memberi konseling.
“Justru saya waktu itu yang diajak mas-mas dari Imaji ke pemkab buat cerita,” ujarnya. (bay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pria Ini Tusuk Perut hingga Ususnya Terburai, Duh Mengerikan Sekali...
Redaktur : Tim Redaksi