jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang uji materi batas usia Calon Kepala Daerah.
Perkara dengan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menguji materi Pasal 7 Ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati yang diajukan oleh dua mahasiswa fakultas hukum, yakni A Fahrur Rozi dan Anthony Lee.
BACA JUGA: Tolong Jangan Sudutkan Mas Kaesang atas Putusan MA tentang Batas Usia Cagub-Cawagub
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya mengoreksi ketentuan Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020. Dinyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d Nomor 9 Tahun 2020 harus dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.”
Dalam permohonannya, pemohon menilai terdapat pertentangan antara substansi pada Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 setelah adanya putusan MA Nomor 23P/HUM/2024. Kemudian dalam tuntutannya, pemohon meminta agar MK mengembalikan tafsir syarat usia Calon Kepala Daerah ke pasca putusan MA, yaitu ditetapkan semenjak KPU menetapkan Pasangan Calon.
BACA JUGA: 2 Mahasiswa Gugat Soal Batas Usia di UU Pilkada ke MK
MK juga diminta agar menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Patut dicermati, permohonan yang diajukan tersebut mengandung penilaian bahwa putusan MA telah salah dalam menafsirkan batas usia untuk Calon Kepala Daerah.
BACA JUGA: Ini Pernyataan Terbaru Ketua KPU soal Batas Usia Calon Kepala Daerah
Oleh karena itu, pokok gugatan yang menunjuk pada “pengembalian tafsir syarat usia Calon Kepala Daerah” adalah jelas dimaksudkan untuk membatalkan putusan MA itu sendiri dan sekaligus penetapan KPU tentang Pasangan Calon. Ujungnya adalah ‘mencegat’ seorang Calon agar tidak dapat berkompetsi dalam Pemilukada.
Terbaca dengan jelas maksud permohonan yang diajukan telah menempatkan MK sebagai peradilan banding atas putusan MA. Padahal, baik MK dan MA memiliki kompetensi yang berbeda, walaupun sama-sama pelaku Kekuasaan Kehakiman, namun berbeda kewenangan khususnya dalam hal pengujian peraturan perundang-undangan.
MA melakukan pengujian terhadap “peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”. Sedangkan kewenangan MK dalam pengujian peraturan perundang-undangan, hanya terbatas terhadap pengujian “undang-undang terhadap UUD 1945”. Pembatasan itu diadakan guna memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan.
Jelaslah bahwa MK bukanlah lembaga banding terhadap putusan MA.
Permohonan dua mahasiswa fakultas hukum itu justru dipertanyakan. Selain menjadikan MK sebagai lembaga banding adalah juga hendak membatalkan salah satu kandidat Calon Kepala Daerah. Perlu dimengerti bahwa putusan MK berlaku bagi semua orang (erga omnes), tidak bagi seseorang pribadi.
Permohonan kepada MK agar memberikan putusan yang menganulir putusan MA akan berdampak terhadap seseorang kepentingan hukum seseorang.
Pencegatan yang dilakukan melalui permohonan uji materi kepada MK bukan menunjuk pada norma undang-undang, akan tetapi didasarkan pada rasa sentimen belaka guna membatalkan hak konstitusional seseorang agar tidak dapat maju sebagai Calon Kepala Daerah.
Bagaimana mungkin seseorang yang telah sah secara hukum menjadi Calon Kepala Daerah, kemudian dimintakan pembatalan terhadap putusan Mahkamah Agung yang menjadi dasar legitimasinya. Permohonan tersebut jelas tidak dapat dibenarkan, sebab bertentangan dengan kepastian hukum dan keadilan.
Tidak hanya itu, permohonan juga mengandung keganjilan atau keanehan, untuk tidak menyebutkan bahwa para pemohon mengalami kesesatan berpikir.
Akan menjadi lain halnya jika permohonan tidak menyentuh putusan Mahkamah Agung tersebut, tentu dari sisi hukum dapat dibenarkan. Hal ini sejalan dengan ketentuan bahwa putusan MK berlaku ke depan dan oleh karenanya tidak dapat berlaku surut ke belakang (retroaktif).
Seharusnya permohonan tentang batas usia Calon Kepala Daerah tidak ditujukan pada masa sekarang, melainkan untuk masa yang akan datang. Itu baru benar dan tepat sasaran, siapa pun pasti membenarkannya.
Terakhir, hukum mempunyai dalil bahwa “menyamakan dua hal yang berbeda adalah tindakan tidak benar dan tidak adil.”
Perkara yang dimohonkan kepada MK di dalamnya adalah juga menyamakan kewenangan pengujian antara MK dan MA yang jelas-jelas keduanya berbeda ruang lingkupnya dan masing-masingnya tidak dapat membatalkan.
Oleh karena itu, permohonan menyangkut perihal batas usia Calon Kepala Daerah sebagaimana telah diputus oleh MA harus ditolak, sebab bertentangan dengan kepastian hukum dan keadilan.***
*Penulis adalah Ketua Umum Forum Doktor
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean