Pilkada Kabupaten Malaka NTT 2020

MK Didesak Abaikan Keterangan Saksi Hendrikus Bria Seran

Sabtu, 13 Maret 2021 – 13:55 WIB
(Kiri ke kanan): Para Kuasa Hukum dari pemohon, paslon Bupati Malaka dan Wakil Bupati Stef Bria Seran – Wendelinus Taolin (SBS-WT), Joae Meco, Maxi Dj A Hayer, Nicolas B. B. Bangngoe, dan Charles Lalung selaku paralegal dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (13/3). Foto: Dokpri

jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) didesak agar mengabaikan keterangan Hendrikus Bria Seran, saksi dalam perkara sengketa Pilkada Kabupaten Malaka antara paslon Stef Bria Seran – Wendelinus Taolin (SBS-WT) selaku pemohon melawan KPUD Kabupaten Malaka (Termohon) pada Persidangan tanggal 23 Februari 2021. Pihak terkait dalam perkara ini adalah paslon pemenang Simon Nahak dan Kim Taolin (SN-KT).

Demikian dikatakan para Kuasa Hukum dari pemohon dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (13/3).

BACA JUGA: Ini Jadwal Pelantikan Kepala Daerah Hasil Pilkada 2020

Para kuasa hukum itu antara lain Maxi Dj A Hayer, Nicolas B. B. Bangngoe, dan Joae Meco.

Maxi mengatakan kesaksian Hendrikus Bria Seran harus diabaikan karena dia telah melakukan kebohongan atau memberikan keterangan palsu di dalam persidangan tanggal 23 Pebruari 2021.

BACA JUGA: Mahkamah Konstitusi Gelar Persidangan 132 Sengketa Pilkada 2020

Sebelum memberi keterangan, Hendrikus mengaku sebagai masyarakat biasa. Tetapi, kenyataannya dia seorang PNS yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Leunkklot, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka, NTT.

“Aturannya, kalau seorang PNS, datang memberi kesaksian di pengadilan harus seizin dari atasannya yaitu camat. Setelah kami cek, ternyata dia (Hendrikus, red) tidak mempunyai izin dari camat,” ujar Maxi.

BACA JUGA: Akademisi Ingatkan Kewenangan MK Sebatas Mengadili Perselisihan Hasil Pilkada

Selain itu, sebelum memberikan kesaksian, Hendrikus bersumpah dengan memegang Kitab Suci, namun menurut informasi ternyata orang yang membantu memandu dan menyodorkan Kitab Suci adalah bukan seorang rohaniawan tetapi seorang sopir.

Padahal, sebelum sidang Hakim bertanya kepada pihak terkait apakah sudah disiapkan rohaniwan untuk penyumpahan saksi dan pihak terkait mengiyakan.

“Padahal dalam peraturan perundang-undangan, yang menyodorkan atau menumpangkan Kitab Suci kepada saksi dalam persidangan, kalau bukan rohaniwan adalah petugas di pengadilan seperti panitera atau juru sita atau pejabat lain yang karena jabatannya berwenang untuk itu,” kata Maxi.

Maxi menambahkan, substansi keterangan Hendrikus dalam pengadilan berbanding lurus dengan kebohongan mengenai statusnya yakni dia memberikan keterangan tidak sesuai dengan fakta.

“Karena itulah, kami meminta MK agar kesaksian Hendrikus diabaikan,” pungkas Maxi.

Joao Meco menambahkan dalam permohonan ke MK, pemohon meminta MK agar membatalkann hasil Pilkada Malaka pada tanggal 9 Desember 2020 dan memutuskan agar dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).

Pasalnya, Pilkada Malaka pada 9 Desember itu, telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh pihak termohon dan juga pihak terkait.

Salah satu pelanggaran yang dilakukan pihak terkait seperti menjanjikan akan memberi gaji setiap kepada semua tetua adat (fukun) di Kabupaten Malaka.

“Janji seperti ini ‘kan money politic (politik uang, red,” kata Joao Meco.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler