MK Didesak Tolak Remisi untuk Koruptor

Rabu, 01 November 2017 – 19:47 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto dok JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tim Advokasi Pro-Pembatasan Remisi untuk Koruptor mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian UU yang melonggarkan syarat pemberian remisi bagi napi korupsi. Tim yang terdiri dari PBHI, ICW, dan ICJR ini menilai upaya yang dilakukan para pemohon bisa dilihat sebagai siasat untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman.

Hal ini dikarenakan selain argumentasi prematur, pemohon adalah narapidana korupsi yang tidak memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BACA JUGA: PPLI Akan Mengajukan Uji Materi UU PT ke Mahkamah Konstitusi

"Ada enam alasan kenapa Mahkamah Konstitusi harus menolak pengujian yang diajukan oleh pemohon," kata Julius Ibrani dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (1/11).

Enam alasan tersebut adalah:

BACA JUGA: MK Diminta Cegah Manipulasi Pemilu 2019, Nih Caranya

1. Pemohon terpidana kasus korupsi tidak memenuh syarat mendapatkan remisi. Meskipun disebut sebagai hak narapidana namun ada tata cara dan syarat yang mengatur pemberian remisi. PP 99/2012 mengamanatkan syarat tambahan bagi narpidana kasus korupsi yaitu menyandang status Justice Collaborator dan telah membayar denda / uang pengganti. Syarat ini tidaklah bisa dipenuhi oleh pemohon yang mengajukan permohonan pengujian UU 12/1995.

2. Pengetatan Remisi adalah kebijakan hukum pemerintah. Pengetatan remisi dalam PP 99/2012 merupakan bentuk kebijakan hukum terbuka pemerintah. Dimana UU 12/1995 dalam Pasal 14 ayat (2) mengamanatkan tata cara pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Pemerintah. Ini berarti bagaimana remisi diberikan merupakan sepenuhnya kebijakan pemerintah.

BACA JUGA: MK Beri Kepastian Hukum untuk Angkutan Online

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 dan 63 P/HUM/2015 Menguatkan keberadaan PP 99/2012. Mahkamah Agung melalui dua putusannya menilai bahwa pengetatan remisi bagi narapidana korupsi bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, melainkan merupakan konsekuensi logis dari nilai atau bobot kejahatan yang korupsi yang memiliki dampak yang luar biasa.

4. Pengetatan remisi sejalan dengan semangat United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC). Bahwa dalam rekomendasi reviewer UNCAC menilai dalam praktiknya, aturan hukum Indonesia belum memadai untuk mengakomodasi pengaturan yang berkaitan dengan remisi atau pembebasan beryarat. Dan merekomendasikan pemerintah untuk menjadikan kejahatan korupsi sebagai alasan pemberat dalam pertimbangan pemberian remisi atau pembebasan bersyarat. Hal ini sejalan dengan Poin 5 Article 30 UNCAC yang berbunyi: “Each State Party shall take into account the gravity of the offences concerned when considering the eventuality of early release or parole of persons convicted of such offences”

5. Pengetatan Remisi juga sejalan prinsip dalam Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoners Tahun 1955 dan UU 12/1995. Bahwa Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoners Tahun 1955 angka 70 menyebutkan bahwa diberikannya hak remisi kepada narapidana harus dilakukan di setiap lapas dengan disesuaikan dalam kelas-kelas narapidana yang berbeda dan cara-cara perlakuan pembinaan yang berbeda. Ketentuan dalam standar inilah yang kemudian diadopsi dalam Pasal 12 ayat (1) UU 12/1995.

6. Mahkamah Konstitusi menilai korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Dalam beberapa putusan MK menyebutkan Korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan diperlukan cara-cara yang luar biasa dalam menanggulanginya.

"Tidak didapatkannya hak remisi pemohon bukan merupakan bentuk diskriminasi melainkan konsekuensi dari syarat-syarat yang diatur dalam PP 99/2012 yang memperketat pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi," tambah Aradila Caesar dari ICW.(esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yakinlah, MK Akan Batalkan Presidential Threshold


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler