jpnn.com - JAKARTA - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lima tahun dari sebelumnya yang hanya empat tahun.
Majelis Hakim MK menyatakan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun adalah tidak konstitusional.
BACA JUGA: Tok, MK Kabulkan Masa Jabatan Pimpinan KPK Selama 5 Tahun
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pengucapan ketetapan dan putusan yang disiarkan kanal Mahkamah Konstitusi RI di YouTube, dipantau di Jakarta, Kamis (25/5).
Hakim Konstitusi Anwar Usman menyatakan bahwa Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama empat tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
BACA JUGA: Pengakuan Brigjen Endar Harus Didalami, Siapa Pimpinan KPK yang Memaksakan Kasus?
"Sepanjang tidak dimaknai, 'Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan'," ujar Anwar Usman.
Dalam menyampaikan pertimbangan, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan bahwa ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun tidak saja bersifat diskriminatif, tetapi juga tak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya.
BACA JUGA: Sekretaris MA Hasbi Hasan Irit Bicara Seusai Diperiksa KPK
Guntur Hamzah membandingkan masa jabatan KPK dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Masa jabatan pimpinan Komnas HAM adalah lima tahun. Oleh karena itu, akan lebih adil apabila pimpinan KPK menjabat selama lima tahun.
"Masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya," kata Guntur Hamzah.
Selain itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan bahwa masa jabatan empat tahun memungkinkan presiden dan DPR yang sama melakukan penilaian terhadap KPK sebanyak dua kali. "Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK," kata Arief.
Oleh karena itu, Arief melanjutkan, kewenangan presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak dua kali dalam masa jabatannya, dapat memberikan beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi berikutnya.
MK menilai penting untuk menyamakan ketentuan tentang periode jabatan lembaga negara yang bersifat independen, yaitu lima tahun.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menggugat UU Nomor 19 Tahun 2019 khususnya Pasal 29 e dan Pasal 34 terhadap Pasal 28 D Ayat 1, Ayat 2, Ayat 3, dan Pasal 28 I Ayat 2 UUD Negara RI Tahun 1945. Gugatan tersebut terdaftar dengan Nomor 112/PUU-XX/2022. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi