jpnn.com - JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Amnesti Pajak tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Atas dasar tersebut, mahkamah menolak uji materi terhadap UU Amnesti Pajak yang diajukan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Yayasan Satu Keadilan, tiga organisasi serikat buruh, dan warga bernama Leni Indrawati.
BACA JUGA: Kejagung Incar Anak Buah Ahok di Dinas Pendidikan?
”Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," tutur Ketua MK Arief Hidayat, Rabu (14/12).
MK berpendapat terdapat alasan mendesak dan mendasar bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan pengampunan pajak.
BACA JUGA: Kemensos Tunjuk Kak Seto Dampingi Anak-Anak Korban Gempa Aceh
Salah satunya, pemerintah berusaha mengumpulkan pendapatan negara dalam bentuk pajak untuk membiayai pembangunan di tengah kepatuhan pajak masih rendah.
Jadi, secara prinsip pengampunan pajak esensinya berupa pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang atau mengenakan pajak dalam suatu periode tertentu.
BACA JUGA: Alasan Bos Lazada Pelajari Bahasa Indonesia
Dihubungkan dengan tujuan diambilnya kebijakan itu, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
”Alasannya karena ini sangat mendesak,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Sesuai UU Pengampunan Pajak, tujuan amnesti adalah merepatriasi dana yang ditempatkan warga negara Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan basis pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak dari penerimaan uang tebusan.
Para pemohon menyoal ketentuan dalam UU amnesti pajak dinilai telah melukai rasa keadilan masyarakat. Itu karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak.
Ketentuan itu juga dinilai memberikan hak eksklusif kepada pihak tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana.
Sejumlah pasal digugat para pemohon antara lain Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat(1) dan ayat (3), Pasal 4, Pasal 6, Pasal 11 ayat (2),ayat (3), dan ayat (5),Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (2) UU Pengampunan Pajak.
Sejumlah saksi ahli diajukan pemohon diantaranya pakar hukum perdagangan Internasional. MIsalnya, M Reza Syarifuddin Zaki menilai UU tax amnesty menciptakan inkonsistensi terhadap rezim undang-undang perpajakan.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susanto menilai pengampunan pajak tidak relevan bagi para wajib pajak (WP) yang selama ini telah taat. Sebaliknya, pengampunan pajak sangat relevan bagi para WP yang tidak membayarkan kewajiban pajak.
Sementara pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menyebut potret buram perpajakan Indonesia. Yustinus mengatakan perbandingan penerimaan pajak Indonesia dengan negara Iain terutama negara sederajat menunjukkan Indonesia termasuk paling rendah. (far/dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tindaklanjuti OTT, KPK Koordinasi Dengan TNI
Redaktur : Tim Redaksi