jpnn.com, JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko bertemu petinggi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Economic Co-operation and Development/OECD) di kantornya, Bina Graha, Jakarta, Kamis (1/2).
Agenda ini membahas langkah awal dalam pertemuan tahunan IMF-World Bank yang akan dilaksanakan di Bali pada Oktober 2018 mendatang.
BACA JUGA: Investasi SILO Masih Terhambat Izin Pemprov Kalsel
Moeldoko menjelaskan, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah mengambil 15 paket kebijakan ekonomi.
"Dalam rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan sehari sebelumnya, presiden secara tegas menyatakan bahwa kita harus mempercepat dan meningkatkan kinerja ekspor dan menaikkan pertumbuhan investasi,” kata Moeldoko, Kamis (1/2).
BACA JUGA: Jokowi Ngebet Investasi dan Buruh Asing Dipermudah, Tapi...
Moeldoko mengatakan, berdasarkan laporan terakhir, Indonesia berada di peringkat ke-72 dalam hal kemudahan berinvestasi.
Posisi Indonesia meningkat dari peringkat ke-91 pada tahun sebelumnya.
BACA JUGA: Surplus Beras, Moeldoko: Ini Menjadi Pertimbangan Presiden
"Tiga lembaga pemeringkat investasi internasional, yakni Fitch Ratings, Standards and Poor’s, dan Moody’s Investor Service, juga telah memasukkan Indonesia ke dalam status layak investasi," paparnya.
Terkait keamanan, Moeldoko memberi jaminan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Pemilu serentak di 171 daerah juga tidak akan mengganggu iklim ekonomi.
"Indonesia sangat aman. Bangsa Indonesia sudah memiliki kedewasaan dalam berdemokrasi," tegasnya.
Karena itu, dia meyakinkan OECD bahwa Indonesia sangat layak untuk menjadi tempat berinvestasi.
Moeldoko berharap OECD bisa membawa sentimen positif ke dunia internasional.
"Kehadiran dan dukungan OECD sangat diperlukan, supaya Indonesia mendapatkan pandangan, koreksi, kritik, dan masukan dari luar. Supaya kebijakan yang diambil menjadi lebih baik," jelasnya.
Sementara, Direktur Hubungan Global Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi Andreas Schaal mengatakan, pertemuan dengan Indonesia ini merupakan langkah penting.
"Indonesia adalah salah satu mitra kunci (key partners) bagi OECD, selain Tiongkok, Brasil, India, dan Afrika Selatan,” ujar Andreas.
Andreas menjelaskan, Indonesia dan OECD saat ini sedang mengembangkan kerja sama program (joint work programme/JWP) tahun 2017-2018 yang mencakup empat bidang.
Pertama, perbaikan iklim investasi, perdagangan, dan persaingan usaha yang sehat dengan cara mendorong tumbuhnya iklim kewirausahaan, inovasi, dan tumbuhnya bisnis-bisnis berskala UMKM.
"Kedua, penciptaan pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui perluasan perlindungan sosial, peningkatan keterampilan tenaga kerja, dan inklusi keuangan," sebut Andreas.
Ketiga, perbaikan tata kelola (governance), antara lain, melalui kebijakan pencegahan korupsi, pembuatan dan penerapan regulasi yang baik, peningkatan pajak, good corporate governance, dan manajemen risiko dalam menangani masalah kebencanaan.
"Keempat, promosi pertumbuhan yang ramah lingkungan (green growth), dengan mendorong kebijakan lingkungan hidup, investasi infrastruktur dasar dan pertumbuhan sektor pertanian dan perikanan secara berkelanjutan," sambungnya.
Kerja sama antara OECD dan Indonesia, rencananya diperkuat dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN dan OECD di Tokyo pada Maret 2018.
Pada kesempatan tersebut, Indonesia berkesempatan untuk menunjukkan kemajuan reformasi yang dicapai dan merumuskan kesepakatan-kesepakatan yang perlu dikerjakan bersama, utamanya di antara negara-negara anggota OECD.
Dari empat bidang kerja sama tersebut, pemerintah Indonesia dan OECD, juga menetapkan pada empat fokus utama. Misalnya, kebijakan perpajakan yakni base erosion and profit shifting (BEPS).
"Ini adalah kebijakan kolaborasi antarnegara untuk melawan aksi korporasi global yang melakukan arbitrasi pajak dan menggunakan negara-negara yang menerapkan pajak nol persen atau sangat ringan (tax haven) untuk menghindari pajak di negara tempat korporasi tersebut beroperasi," jelasnya.
Fokus lainnya adalah kebijakan automatic exchange of information (AEOI).
Ini adalah pertukaran data wajib pajak antarnegara untuk mengatasi penghindaran pajak dan penyalahgunaan pajak.
"Ada pula kajian komprehensif atas kebijakan pendidikan pelatihan dan kejuruan (vocational education and training/VET) di Indonesia," tambahnya.
Yang terakhir, perbaikan ekosistem yang mendukung pembangunan infrastruktur, khususnya kerangka hukum untuk investasi kerja sama pemerintah-swasta (KPS) atau public private partnership (PPP).
Sementara itu, butir-butir atau bidang kerja sama untuk 2019-2020 akan menjadi kesepakatan yang akan ditandatangani dalam Pertemuan Tahunan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) yang mana Indonesia akan menjadi tuan rumah. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Zulkifli Bela Kepentingan Petani demi Jaga Nama Jokowi
Redaktur & Reporter : Ragil