jpnn.com, JAKARTA - Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko angkat bicara soal kritik publik terhadap pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang dinilai ingin mengembalikan Dwifungsi ABRI, dengan memberi peluang kepada para perwira tinggi TNI memegang jabatan di kementerian dan lembaga.
Menurut Moeldoko, di dalam reformasi internal TNI yang dimulai pada 1998, ada tiga hal yang disasar menjadi objek reformasi internal, ketiganya adalah struktrur, doktrin, dan kultur.
BACA JUGA: Moeldoko Akui Dua Provinsi di Sumatera Ini Masih Rawan Buat Jokowi
"Terhadap struktur yang dibenahi hal-hal sosial politik dihilangkan, kotak sospol dibuang, sehingga TNI benar-benar bermain di area pertahanan," ucap Moeldoko di Kator Staf Presiden (KSP), Jumat (8/3).
BACA JUGA: Usulan Mendagri Bakal Hidupkan Dwifungsi ABRI Format Baru?
BACA JUGA: Cerita Pak Moeldoko: Jokowi-Maruf Masih Kalah di Jabar, Riau dan Sumbar
Berikutnya dilihat doktrin, acuan TNI adalah konstitusi, turunannya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dia lantas melontarkan pertanyaan kritis, apakah telah terjadi restruktrurisasi lagi di TNI? Menempatkan fungsi sospol di TNI? Kemudian, apakah ada perubahan UU TNI dengan menempatkan fungsi sosial politik?
BACA JUGA: Moeldoko: Itu Kampanye Hitam dan Menyesatkan
"Kalau dua hal itu tidak terjadi ngapain kita ributkan hal yang tidak jelas. Jadi ini diperlukan sikap kritis, jangan ikut-ikutan larut dalam diskursus yang sebenarnya berita itu (dwifungsi) enggak benar. TNI tidak hidup dalam ruang hampa, tapi hidup ruang publik yang semuanya bisa mengontrol," tutur Moeldoko.
Selanjutnya, di bidang kultur, para senior di militer menempatkan TNI pada posisi yang pas dan bisa diterima oleh rakyat. Sebab, yang terbaik bagi TNI itu terbaik bagi rakyat, begitu sebaliknya. Sehingga, secara kultur terus dibenahi dari waktu ke waktu.
Dalam pandangan Panglima ke-15 TNI ini, kultur di institusi pertahanan itu sudah baik, 20 reformasi TNI sudah baik; menghormati HAM, mendorong proses demokrasi berkonsolidasi dengan baik.
Dia mengatakan, jika dulu mengingnkan TNI profesional itu rakyat, sekarang TNI yang ingin menjadi profesional. Tetapi kemampuan negara belum mampu memberikan perlengkapan modern, dicukupi kesejahteraan prajuritnya.
"Tidak boleh bermain di area lain. Ini dilakukan, tidak main-main di area politik praktis, binis. Tetapi pemenuhan atas profesionalitas justru belum terpenuhi, alat-alatnya belum modern semuanya," ucap jenderal kelahiran Kediri, Jawa Timur ini.
Diakuinya, pemerintah terus berupaya memenuhi kebutuhan institusi TNI, tapi baru kemampuan esensial minimum belum maksimum. Kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak prajurit juga belum.
"Tapi TNI tidak pernah mengeluh, diperintahkan netral, jangan praktik politis dia lakukan, jangan bisnis dilakukan. Jadi menurut saya janganlah rekan-rekan sekalian para pegiat apa pun namanya, jangan cari gara-gara dengan TNI, enggak usah. Jangan mencari popularitas melawan TNI, jangan. TNI milik kita semua," tuturnya.
Suami Koesni Harningsih itu menambahkan, kalau dulu boleh lah TNI diposisikan musuh bersama; tahun 1998. Akan tetapi sekarang jangan lagi, karena semua sudah hidup berdampingan. Dia tidak mempersoalkan kritik, tapi jangan merusak psikologi prajurit yang sudah baik. Apalagi dilukai dengan nyanyian masa lalu.
"Sudahlah masa lalu, jangan masa lalu dibawa ke sekarang. Jangan melihat tentara dari frame masa lalu enggak ketemu wong TNI sudah berubah. Saya orang yang paling gak setuju karena saya bekerja keras untuk memperbaiki situasi. Itu kira-kira kita memandang, saya pastikan tidak akan kembali dwi fungsi abri, itu kunci," tandasnya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kartu Prakerja jadi Polemik, Begini Penjelasan Moeldoko
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam