Mohon Maaf, Obat Hidroksiklorokuin tak Banyak Membantu Pasien Corona

Jumat, 08 Mei 2020 – 15:36 WIB
Ilustrasi klorokuin. Foto: Antara

jpnn.com - Hidroksiklorokuin - obat malaria yang dicoba sebagai alternatif mengobati pasien virus corona baru (covid-19), kembali gagal menunjukkan manfaatnya.

Kesimpulan itu dihasilkan dari  sebuah penelitian yang diluncurkan pada Kamis (7/5).

BACA JUGA: Setop Obati Pasien COVID-19 Pakai Klorokuin! Ini Efek Sampingnya

Sekalipun penelitian yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine itu memiliki sejumlah keterbatasan tertentu, para dokter melaporkan bahwa penggunaan hydroxychloroquine tidak mengurangi kebutuhan pasien atas bantuan pernapasan ataupun menurunkan risiko kematian.

"Kami tidak melihat adanya hubungan antara menggunakan obat ini dan peluang kematian atau intubasi," kata ketua peneliti Dr. Neil Schluger kepada Reuters dalam wawancara telepon.

BACA JUGA: Kemenkes Siap Salurkan 400 Ribu Klorokuin ke Rumah Sakit

"Para pasien yang mendapatkan obat ini tampaknya tidak menjadi lebih baik."

Di antara pasien yang diberi hidroksiklorokuin, 32,3 persen akhirnya membutuhkan ventilator atau menjadi kritis, ketimbang dengan 14,9 persen pasien yang tidak memperoleh obat itu.

BACA JUGA: Makin Banyak Pasien Positif Corona di Bali yang Sembuh

Namun, dokter lebih mungkin meresepkan hydroxychloroquine kepada pasien yang sakit parah, jadi para peneliti di New York-Presbyterian Hospital dan Columbia University Irving Medical Center menyesuaikan hasil penelitian itu dengan fakta tersebut.

Mereka menyimpulkan bahwa obat itu mungkin tidak memperparah pasien, tetapi jelas tidak membantu.

Hydrocxychloroquine, yang juga digunakan untuk mengobati lupus dan radang sendi, juga tidak menunjukkan manfaat bila dikombinasikan dengan antibiotik azithromycin, menurut laporan tim Schluger. Azithromycin sendiri juga tidak menunjukkan manfaat.

Bulan lalu, dokter di Departemen Urusan Veteran AS melaporkan bahwa hydroxychloroquine tidak membantu pasien COVID-19 dan mungkin menimbulkan risiko kematian yang lebih tinggi.

Analisis catatan medis menunjukkan tingkat kematian 28 persen ketika obat diberikan sebagai tambahan perawatan standar, berbanding 11 persen dengan perawatan standar saja.

Dalam penelitian terbaru itu, 811 pasien mendapat hydroxychloroquine dan 565 tidak.

Sebab mereka tidak secara acak menerima hydroxychloroquine atau plasebo, "penelitian tidak boleh digunakan untuk mengesampingkan baik manfaat maupun bahaya" dari obat, kata para peneliti.

Percobaan acak, standar utama untuk tes terapi baru, harus dilanjutkan, tambah mereka.

Tetapi untuk saat ini, "Pedoman di rumah sakit kami telah berubah sehingga kami tidak merekomendasikan pemberian hydroxychloroquine kepada pasien yang dirawat di rumah sakit," kata Dr. Schluger, kepala divisi obat-obatan paru, alergi dan perawatan kritis di Irving.

Studi yang lebih kecil, termasuk yang dilakukan di Tiongkok, telah menunjukkan bahwa hydroxychloroquine mungkin berguna.

"Namun ini adalah studi kecil dan tidak berkualitas baik. Orang-orang memanfaatkannya karena pasien kritis," katanya.

Saat in, tidak ada pengobatan yang disetujui untuk COVID-19, meskipun remdesivir obat antivirus eksperimental Gilead Sciences Inc minggu lalu menerima otorisasi penggunaan darurat dari regulator Amerika Serikat. (antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler