Moratorium, Urgen atau Latah

Minggu, 23 November 2014 – 04:20 WIB
Pegawai Negeri Sipil (PNS)

jpnn.com - HAMPIR sebulan ini usia Kabinet Kerja setelah dilantik Presiden Joko Widodo. Mereka seperti berlomba bekerja hingga menjadi sorotan media. Yang lagi ngetren dari kerja para menteri baru adalah kebijakan moratorium.

Hampir di setiap kementerian menghentikan kebijakan lama yang dianggap tidak bagus. Perlukah ramai-ramai moratorium itu atau sekadar latahnya menteri agar dicap kerja?

BACA JUGA: Kader PDIP Tantang Prasetyo Buka Kasus Hukum Surya Paloh

Yang paling awal meneriakkan moratorium atau penghentian kebijakan adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN-RB) Yuddy Chrisnandi.

Politikus Hanura yang ditunjuk sebagai menteri yang membawahkan abdi negara itu langsung menghentikan perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan banyak alasan.

BACA JUGA: Ada Kelompok Mahasiswa Dukung Kenaikan BBM

Penghentian sementara atau moratorium penerimaan CPNS baru diberlakukan hingga lima tahun mendatang. Padahal, CPNS selama ini menjadi idaman masyarakat yang ingin mencari kerja dengan gaji besar, tapi tugas tidak terlalu berat.

Tujuan utama Yuddy merencanakan moratorium penerimaan abdi negara baru itu adalah ingin menghitung ulang kebutuhan riil CPNS. ”Kami ingin menghitung dengan benar, apakah sesungguhnya rasio PNS dengan jumlah penduduk sudah ideal atau belum,” jelas dia.

BACA JUGA: Berharap Kepala BNP2TKI Baru Tidak Terkait Bisnis PPTKIS

Merujuk hasil pendataan Badan Kepegawaian Negara (BKN) per 31 Desember 2013, jumlah PNS di Indonesia 2.335.975 orang. Dengan asumsi terkini jumlah penduduk Indonesia mencapai 252 juta jiwa, berarti rasio PNS dengan penduduknya sekitar 1:107. Artinya, satu PNS rata-rata melayani 107 penduduk.

Menurut Yuddy, rasio itu tidak terlalu buruk. Namun, masalahnya adalah terjadi ketimpangan sebaran PNS di perkotaan dan pedesaan. ”Sehingga masih sering muncul kekurangan PNS. Padahal, belum dicek, aslinya PNS-nya menumpuk di perkotaan,” ujarnya.

Solusinya adalah melakukan redistribusi PNS yang sudah ada. Upaya migrasi PNS dari wikayah perkotaan menuju daerah pedesaan harus digalakkan. Dengan demikian, kalaupun nanti moratoriun CPNS baru diterapkan, tidak ada keluhan masyarakat tentang menurunnya kualitas pelayanan publik.

Kemudian, muncul kekhawatiran, jika nanti moratorium, para PNS yang melayani masyarakat sudah berusia tua dan tidak lagi energik. Sebab, selama moratorium CPNS baru selama lima tahun itu, tidak terjadi regenerasi pegawai baru.

Atau bisa jadi, jika banyak yang pensiun, banyak formasi yang kosong. Dampaknya, pelayanan menurun. Yuddy mengatakan, masyarakat tidak perlu berlebihan atas kekhawatiran itu.

Dari data sebaran PNS berdasar usia, mayoritas PNS berada di kelompok usia 41–50 tahun. Yakni, mencapai 1.663.102 pegawai (40,19 persen). Sedangkan kelompok PNS yang mendekati usia pensiun tidak terlalu banyak.

Pemerintah menetapkan batas usia pensiun (BUP) PNS kelompok pegawai administrasi adalah 58 tahun. Sedangkan BUP PNS kelompok pegawai fungsional bervariasi, mulai 60 hingga 65 tahun.

Jumlah PNS per 31 Desember 2013 yang berumur 56–60 tahun hanya 232.123 orang (5,23 persen). Dengan begitu, moratorium CPNS baru selama lima tahun tidak akan berdampak signifikan terhadap pelayanan publik.

Yuddy juga mengatakan, moratorium CPNS baru tidak berarti menyetop 100 persen perekrutan CPNS baru. Pemerintah rencananya masih membuka seleksi pegawai untuk tenaga-tenaga yang benar-benar dibutuhkan dan ditempatkan di daerah tepencil. Misalnya, tenaga dokter dan guru. ”Kami masih terus berkoordinasi dengan Wapres terkait teknis moratorium ini,” katanya.

Politikus asal Partai Hanura itu menjelaskan, pengadaan pegawai juga terkait dengan kemampuan keuangan negara. Jika anggaran yang tersedia untuk gaji PNS terbatas, pemerintah tidak bisa jor-joran merekrut CPNS dalam jumlah besar.

Selain itu, perekrutan CPNS tahun ini dengan kuota 65 ribu bisa efektif menutup kekosongan PNS karena pensiun. Kementerian PAN-RB juga akan merekrut 35 ribu pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Pegawai tersebut seperti tenaga honorer, tetapi mendapatkan gaji berstandar PNS. (wan/c10/end/bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ombudsman Sebut Kartu Sakti Tumpang Tindih dengan Pemda


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler