Inisiatif “asuransi sampah” yang digagasnya berhasil mencuri perhatian dunia. Ide gemilang ini merupakah salah satu bentuk inovasi dan pengembangan dari konsep ‘Bank Sampah’ yang sudah banyak diimplementasikan di Indonesia. Di Jakarta sendiri sudah terdapat sekitar 94 lokasi yang menjalankan program bank sampah. Meski demikian, terdapat beberapa lokasi yang tidak berhasil melaksanakan bank sampah secara berkelanjutan karena kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam memilah sampah di sumbernya. Hal tersebut karena kurang atau tiadanya insentif dari kegiatan pemilahan sampah. Sehingga skema “asuransi sampah” ini menjadi salah satu alternatif pull-factor yang cerdas bagi masyarakat untuk secara aktif memilah sampah dan terlibat dalam 3R.
BACA JUGA: Potensi Penggunaan Panas Matahari untuk Pendingin
Sampah yang dibuang sembarangan menjadi salah satu kambing hitam dari faktor penyebab terjadinya banjir yang dialami ibukota Jakarta belakangan ini. Padahal menurut penelitian yang pernah dilakukan penulis pada tahun 2012, hampir 60% dari total sampah yang dihasilkan rumah tangga di Jakarta merupakan sampah organik yang bisa dibuat kompos. Sedangkan prosentase sampah anorganik yang bisa didaur ulang melebihi 20%. Jika dikonversikan dalam nilai ekonomi, bila sampah terpilah optimal maka terdapat potensi pendapatan sebesar US$ 115 juta per tahun untuk DKI Jakarta dari penjualan sampah anorganik yang dapat didaur ulang.
BACA JUGA: Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015?
‘Emas Hijau’ vs ‘Emas Hitam’
Sampah sebetulnya mengandung potensi ekonomi yang besar namun masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Di negara-negara maju, sampah merupakan aset yang sangat berharga. Bahkan Swedia pun harus mengimpor sampah dari negara tetangga karena kegiatan 3R yang dianggap sangat atau malah ‘terlalu’ berhasil. Sehingga pihak pengolah sampah menjadi energi (waste-to-energy) kekurangan bahan baku karena sampah yang ada jumlahnya sedikit akibat reduksi di sumber.
BACA JUGA: Rencana Strategis Riset Indonesia
Ketika saya bicara di seminar yang diselenggarakan oleh Asian Development Bank di Bandung akhir Januari lalu terkait peluang bisnis dalam kaitannya dengan pengelolaan sampah yang berkelanjutan, saya memperoleh pertanyaan mengenai kemungkinan aplikasi teknologi insinerasi yang sudah banyak dipakai di negara-negara maju. Mengingat perekonomian Indonesia yang meningkat, dibarengi dengan harga lahan yang makin mahal, metode insinerasi sampah untuk menghasilkan energi dianggap sebagai alternatif.
Namun saya menyampaikan bahwa kondisi di lapangan menunjukkan besarnya porsi sampah basah organik, selain juga kondisi masyarakat yang secara umum masih belum mau memilah sampah di sumbernya. Kedua hal tersebut menghambat aplikasi teknologi insinerasi yang secara teknis lebih efektif mengolah sampah kering. PBB program lingkungan (UNEP) pun menyatakan bahwa insinerasi secara umum tidak layak diaplikasikan di negara-negara non-OECD karena biaya yang tinggi dan komposisi sampah yang tidak sesuai untuk insinerasi.
Lalu, apa pilihan yang ada untuk Indonesia? Selain pengolahan konvensional, inovasi dibutuhkan baik dari segi pembiayaan maupun pelaksanaannya. Public private partnership adalah keniscayaan. Pelaksanaan yang inovatif terkait dengan end-user yakni dalam hal ini dengan pelibatan masyarakat, serta mengandung elemen insentif. Inisiatif asuransi sampah dan bank sampah yang merupakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat (community-based initiatives) menjadi contoh konkretnya. Selain itu, instrumen berbasis pasar (market-based instruments) yang merupakan instrumen kebijakan yang menggunakan pasar, harga, dan variabel ekonomi lain untuk memberikan insentif bagi pencemar untuk mengurangi pencemaran, juga patut diperhitungkan.
Salah satu contoh instrumen berbasis pasar adalah reverse vending machine (RVM) yang sudah sukses diaplikasikan di Belanda, Jerman, Australia, Cina, Brazil, dan beberapa negara lainnya. RVM merupakan sebuah mesin yang digunakan untuk menerima botol PET, baterai bekas, atau material sampah anorganik lainnya yang bisa didaur ulang. Ketika sampah diterima oleh mesin tersebut, pengguna akan memperoleh sejumlah uang tunai sesuai dengan harga yang ditetapkan per unit dan kuantitas barang yang diserahkan.
Hal di atas merupakan contoh pemanfaatan sampah anorganik. Namun sampah organik pun memiliki nilai ekonomi dan disebut-sebut sebagai 'emas hitam' karena bisa dijadikan kompos, dan sebagai 'emas hijau' karena bisa dikonversi menjadi listrik. Hanya saja untuk pengomposan, masalah yang dihadapi adalah terkait kualitas kompos dan pemasaran produk kompos. Sedangkan dengan teknologi waste-to-energy (WTE), energi yang dihasilkan dari sampah dapat langsung masuk ke jaringan listrik atau grid, namun investasi teknologi WTE lebih tinggi daripada komposting.
Adanya kemungkinan konflik yang terjadi akibat pemanfaatan sampah harus ditengarai dan ditanggapi dengan hati-hati oleh pemerintah dalam menerapkan system pengolahan limbah di tingkat provinsi ataupun kotamadya. Sistem pengolahan sampah sebenarnya juga dapat diintegrasikan, seperti anaerobic digestion untuk pembangkit energi yang terintegrasi dengan fasilitas pengomposan dari digestate, yang merupakan zat kaya nutrisi yang dihasilkan dari anaerobic digestion yang dapat diolah menjadi pupuk .
Pilih-Pilah Sampah
Di Indonesia, masih belum ada mekanisme pemilahan sampah di sumber yang komprehensif untuk memisahkan sampah organik dan anorganik yang menjadikan sampah yang sebetulnya merupakan sumber daya menjadi limbah tak berguna. Padahal Peraturan Pemerintah 81 tahun 2012 telah diberlakukan untuk mengatur pemisahan sampah di sumbernya menjadi 5 kategori sampah.
Kebijakan ini sedianya akan diterjemahkan ke dalam kebijakan lokal tingkat provinsi dan kotamadya/kabupaten yang nantinya akan mengatur masyarakat Indonesia untuk memisahkan sampah menjadi 5 kategori, meski hingga saat ini masyarakat pun belum terbiasa untuk memisahkan sampah menjadi 2 kategori saja. Kebijakan ini jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesadaran dan informasi tentang praktek pemilahan yang benar, dikhawatirkan akan menjadi produk kebijakan yang gagal.
Oleh karena itu masyarakat harus segera terbiasa dengan pilih-pilah sampah, alias memilih (memisahkan) sampah berdasarkan tipenya, kemudian memilahnya. Pemerintah pun bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sampah yang sudah dipilah tidak akan tercampur lagi di TPS, melainkan diolah sebagaimana mestinya. Untuk itu mekanisme pengolahan sampah juga sudah harus digodok matang. Jangan sampai terjebak pada ‘chicken or egg dilemma’, karena baik pemerintah maupun masyarakat harus secara bersama-sama lekas mengejar ketinggalan dalam hal pengelolaan sampah. [***]
Aretha Aprilia*
* Penulis adalah Direktur Indonesia Center on Sustainable Consumption and Production Surya University.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyakit Progeria
Redaktur : Tim Redaksi