Potensi Penggunaan Panas Matahari untuk Pendingin

Oleh: Tri Ayodha Ajiwiguna

Rabu, 05 Maret 2014 – 00:17 WIB

jpnn.com - KONSUMSI energi untuk sistem pendingin udara (AC) pada bangunan dapat mencapai lebih dari 60% dari total konsumsi energi.  Saat ini hampir semua bangunan menggunakan energi listrik untuk memenuhi kebutuhan AC tersebut, akibatnya energi listrik yang dikonsumsi menjadi besar. Salah satu solusi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan energi terbarukan untuk sistem pendingin udara.

Energi panas matahari yang merupakan salah satu energi terbarukan memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk sistem pendingin pada bangunan, yaitu dengan menggunakan sistem refrigerasi absorpsi. Berbeda dengan sistem refrigerasi kompresi uap yang sekarang banyak diterapkan, sistem refigerasi absorpsi mengandalkan energi panas. Oleh karena itu radiasi panas matahari dapat digunakan untuk sistem ini.

BACA JUGA: Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015?

Prinsip Kerja Sistem  Refrigerasi Absorpsi

Sistem refrigerasi absorpsi merupakan sistem refrigerasi yang menggunakan energi panas, baik itu panas dari pembakaran bahan bakar maupun panas buangan, untuk menghasilkan efek refrigerasi (penyerapan kalor). Sebenarnya teknologi ini umum digunakan pada tahun 1950an. Pada saat itu sumber panas yang digunakan berasal dari uap (steam) yang diproduksi dari boiler berbahan bakar minyak dan gas. Namun pada tahun 1973 harga bahan bakar minyak dan gas naik secara drastis sehingga banyak dilakukan peralihan dari sistem refrigerasi absorpsi ke sistem refrigerasi kompresi uap yang sampai saat ini banyak digunakan.

BACA JUGA: Rencana Strategis Riset Indonesia

Prinsip kerja

Jika garam dilarutkan dalam pelarut (air) maka tekanan uap jenuhnya nya menjadi turun sampai dibawah tekanan uap air murni. Temperatur dan tekanan uap air saling bergantungan. Semakin tinggi tekanan uap air umumnya semakin  tinggi temperaturnya. Fenomena inilah yang menjadi prinsip kerja dari sistem refrigerasi absorpsi. Untuk keperluan pendingin udara, garam yang umum digunakan adalah Litium Bromida (LiBr). Untuk lebih jelasnya perhatikan sistem sederhana dibawah ini:

BACA JUGA: Penyakit Progeria

Keadaan 1: keadaan awal (gambar 1)

Dua buah tanki yang masing masing berisi air (kanan) dan larutan 50 % garam LiBr (kiri) berada pada lingkungan yang temperaturnya 30 oC. Kedua tanki ini saling berhubungan melalui saluran yang dilengkapi dengan valve (keran). Tekanan uap jenuh air pada 30 oC adalah 4.24 kPa sedangkan tekanan uap larutan LiBr pada 30 oC adah 1.22 kPa. Ini artinya terdapat perbedaan tekanan antara tanki yang satu dengan yang lainnya. Secara alami, gas akan berpindah dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, namun karena keran ditutup maka uap air yang ada di sebelah kanan tidak dapat mengalir ke tanki sebelah kiri.

Keadaan 2: Proses refrigerasi/penyerapan kalor (Gambar 2)

Dengan dibukanya valve, maka uap air yang berada pada tanki sebelah kiri akan mengalir ke tanki sebelah kanan. Uap air ini akan di absorpsi oleh larutan LiBr disertai dengan pelepasan panas karena bersifar eksotermik. Jika tekanan tanki sebelah kanan dengan suatu metode dijaga tekanannya pada 1.22 kPa, maka tekanan uap air di tanki sebelah kiri akan turun dari yang awalnya 4.24 kPa menjadi 1.22 kPa. Pada keadaan ini tidak ada lagi aliran uap air dari tanki sebelah kiri ke tanki sebelah kanan karena tekanannya sama. Pada tekanan 1.22 kPa, uap air bertemperatur 10 oC. Ini artinya temperatur tanki sebelah kiri menjadi lebih rendah dari lingkungan dan meyebabkan penyerapan kalor. Di sini peristiwa rerigerasi terjadi. Namun efek refrigerasi ini hanya sebentar, seiring dengan penyerapan kalor dari lingkungan sehingga kesetimbangan termal dengan lingkungan terjadi. Di sisi lain konsentrasi garam pada tanki sebelah kanan sudah kurang dari 50 %.

Keadaan 3: Regenerasi (Gambar 3)

Untuk mendapatkan keadaan awal lagi, proses generasi harus dilakukan, yaitu dengan menguapkan air pada larutan LiBr ditanki sebelah kanan. Untuk menguapkan air pada larutan LiBr dibutuhkan kalor. Karena titik didih air jauh lebih rendah dari pada tiitik didih Garam LiBr, maka dengan memanaskan pada sushu tertentu (Tg), uap air akan terjadi dan mengalir ke tanki sebelah kiri lagi. Konsentrasi LiBr di tanki sebelah kanan menjadi tinggi karena kehilangan air. Dengan cara seperti ini keadaan awal kembali terjadi.

Sistem Refrigerasi Absorpsi

Sistem sederhana di atas memang dapat menimbulkan efek refigerasi (penarikan kalor), namun hanya bersifat sebentar karena akan berhenti pada saat tekanan di tangki kanan dan kiri sama. Setelah itu perlu menguapkan lagi air di tanki sebelah kiri untuk kembali ke keadaan awal. Untuk mendapatkan efek refrigerasi secara kontinu perlu penambahan seperti gambar berikut:

Evaporator dan absorber merupakan dua tanki yang ditunjukkan pada sistem sebelumnya. Dengan cara ini efek refrigerasi dapat berlangsung secara kontinu. Dalam sistem refrigerasi absorpsi terdapat dua siklus: siklus refrigeran (air) ditunjukkan oleh A-B-C-D dan siklus pelarut (larutan garam Litium Bromida) yang ditunjukkan B-C-E-F. Pada titik A refrigeran dalam keadaan tekanan dan temperatur rendah serta berfasa cair. Kemudian, di evaporator, refrigeran menyerap kalor dari objek yang didinginkan sehingga fasanya  berubah  menjadi gas (titik B). Refrigeran  yang berfasa gas ini mengalir ke absorber sehingga diabsorpsi oleh larutan LiBr, akbatnya larutan kaya akan refrigeran, keadaan ini disebut dengan larutan kuat (strong solution), kemudian larutan kuat ini dipompakan ke generator (titik C). Pada generator, kalor digunakan untuk memisahkan antara refrigeran dan pelarut. Karena titik didih refrigeran lebih rendah dari pada pelarut maka refrigeran menguap menuju kondenser. Uap refrigeran ini kemudian terkondensasi pada kondenser dengan membuang kalor sehingga fasanya menjadi cair (titik D). Setelah itu Refrigeran dalam fasa cair ini diekspansi sehingga tekanannya menjadi rendah (titik A). Siklus ini terus berlangsung sehingga efek refigerasi (proses A-B) terjadi secara kontinu. Disisi lain, pada siklus pelarut (B-C-E-F), larutan yang miskin akan refrigeran (titik C) diekspansikan untuk dialirkan ke absorber sehingga mengabsorb refrigeran menjadi larutan kuat. Siklus ini pun berlangsung terus menerus.

Untuk keperluan pengkondisian udara biasanya digunakan sistem air (H2O) sebagai refrigeran  dan Larutan Litium Bromida (LiBr) sebagai pelarut. Sedangkan untuk keperluan yang membutuhkan temperatur lebih rendah, seperti pembuatan es, digunakan ammonia (NH3) sebagai refrigeran dan air  (H2O) sebagai pelarut.

Pemanfaatan energi panas matahari untuk sistem refrigerasi absorpsi­­­­­­­­­­­­­­­­

Jika dibandingkan dengan sistem refrigerasi kompresi uap (sistem yang umum digunakan saat ini), sistem refrigerasi absorpsi memang memiliki koefisien kinerja (COP) yang jauh lebih rendah, namun sistem ini lebih unggul jika energi panas tersedia secara gratis seperti panas matahari atau panas buangan sistem lain (contoh: panas buangan pembangkit listrik).

Untuk memanfaatkan panas matahari pada sistem ini, energi panas matahari harus diserap pada medium tertentu (biasanya dalam bentuk fluida) dengan menggunakan solar collector, kemudian energi panas ini ditransfer untuk digunakan pada generator. Medium yang digunakan dapat berupa uap air panas (steam) atau air panas. Panas (kalor) yang dimiliki oleh medium ini kemudian diberikan ke generator dengan menggunakan penukar kalor (heat exchanger).  Dengan memanfaatkan panas matahari, maka energi listrik yang butuhkan hanyalah untuk keperluan pompa dimana konsumsi energinya jauh lebih kecil dari pada kompresor pada sistem refrigerasi kompresi uap.

Pada gambar 5 terlihat siklus ABCD dan BCEF sama dengan sistem refrigerasi absorpsi yang sebelumnya. Perbedaan disini hanyalah memanfaatkan panas matahari untuk keperluan generatornya. Pemanfaatan panas matahari ditunjukkan oleh siklus 1-2-3. Fluida (air) pada titik 1 dialirkan ke solar thermal collector untuk menyerap energi panas. Setelah keluar dari solar thermal collector, temperatur fluida tersebut menjadi tinggi (Titik 2). Kemudian fuida ini dialirka generator untuk mentransferkan energi kalornya dengan menggunakan penukaar kalor (haet exchanger).

Sistem Ammonia-air lebih rumit karena dapat mencapai temperatur dibawah titik beku air, ini artinya perlu ada sistem yang menjaga agar tidak ada uap air yang masuk ke dalam evaporator sehingga tidak terjadi kristal es yang dapat menyumbat aliran. Disamping itu, temperatur generator yang dibutuhkan cukup tinggi yaitu 95 – 125 oC. Kelebihan sistem ini adalah dapat mencapai temperatur yang sangat rendah yaitu dibawah titik beku air. Untuk sistem H2O-LiBr, generatornya dapat menggunakan temperatur yang lebih rendah yaitu 70–90 oC dan memiliki koefisien kinerja (COP) yang sedikit lebih baik dari pada sistem Ammonia-air. Namun kelemahannya adalah temperatur pada evaporatornya tidak dapat kurang dari 5 oC.

Beberapa penelitian tentang pemanfaatan panas matahari untuk keperluan sistem pendingin telah dilaporkan dalam jurnal.  Salah satunya adalah dengan menggunakan solar sollector  seluas 11 x 11 m2, sistem H2O-LiBr dapat menghasilkan kapasitas pendinginan sebsesar 31 sampai dengan 72 kW.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Skizofrenia .


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler