MUI dan Terorisme

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 18 November 2021 – 17:29 WIB
Ilustrasi, Densus 88 menangkap 3 ustaz terduga pelaku terorisme. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Satuan Anti-Teror Densus 88 kembali melakukan penggerebekan dan penangkapan terhadap sejumlah terduga kasus terorisme.

Kali ini penangkapan membikin heboh dan memantik tanggapan luas dari publik, terutama karena satu di antara tiga tersangka yang ditangkap adalah pengurus Majelis Ulama Indonesia atau MUI Pusat Ustaz Ahmad Zain An-Najah (AZA).

BACA JUGA: Densus 88 Antiteror Mudah Menangkap Tiga Ustaz, Bagaimana dengan KKB Papua?

Dua orang lain yang ditangkap adalah Ustaz Farid Okbah (UFO) dan Ustaz Anung Al-Hamad (AAH).

Ustaz Farid Okbah dikenal sebagai pendakwah yang selalu kritis terhadap aliran syiah dalam ceramah-ceramahnya.

BACA JUGA: Densus 88 Tangkap Ustaz Farid Okbah

UFO juga mendirikan partai politik Partai Dakwah Republik Indonesia (PDRI). AAH dikenal sebagai pendakwah yang aktif memberikan ceramah di berbagai tempat dan aktif mengelola lembaga amil zakat Abdurrahman Bin Auf (ABA).

Ketiga pendakwah itu sudah ditetapkan sebagai tersangka terorisme dan dikaitkan dengan keanggotaan mereka dengan organisasi Jamaah Islamiyah yang dicap sebagai organisasi teroris.

BACA JUGA: MUI Menonaktifkan Ustaz Ahmad Zain yang Ditangkap Densus 88

Aktivitas pengumpulan dana melalui kotak amal yang dilakukan oleh lembaga ABA disinyalir sebagai modus pengumpulan dana untuk membantu kegiatan terorisme.

Penangkapan kali ini memantik reaksi luas terutama karena melibatkan Ustaz AZA yang menjadi anggota Komisi Fatwa MUI.

Penangkapan Ustaz AZA dianggap sebagai indikasi bahwa MUI sudah disusupi kelompok terorisme.

Anggapan itu dibantah oleh Wakil Ketua MUI KH Anwar Abbas. "Sepanjang pengetahuan saya yang bersangkutan adalah ulama yang antikekerasan, tetapi kok ditangkap oleh Densus 88,’’ kata Anwar Abbas.

Penggerebekan tanpa memberi surat panggilan terlebih dahulu yang dilakukan Densus 88 disamakan dengan penggerebekan operasi tangkap tangan atau OTT ala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Biasanya dalam operasi tangkap tangan KPK menyita gepokan uang tunai sebagai barang bukti. Dalam operasi penggerebekan Densus 88 yang disita adalah puluhan kotak amal yang biasanya diedarkan di masjid-masjid.

MUI bertindak sigap dengan langsung memberhentikan Ustaz AZA dari kepengurusan sampai ada keputusan hukum yang pasti.

Perlakuan ini juga mirip dengan perlakuan parpol yang memecat anggotanya yang terjaring OTT. Dalam banyak kasus parpol malah memperlakukan anggotanya yang terkena OTT dengan lebih baik, misalnya dengan menyiapkan tim penasihat hukum.

Dalam banyak kasus lainnya parpol malah tidak memecat anggotanya meskipun sudah terkena OTT.

Posisi Ustaz AZA yang sentral sebagai anggota majelis fatwa memang bisa membuat MUI gerah. Majelis fatwa bertugas memberikan nasihat dan fatwa kepada masyarakat dan pemerintah mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan.

MUI juga baru saja mengadakan ijtimak ulama yang menghasilkan 17 fatwa menyangkut berbagai persoalan kontemporer, mulai soal hukum pinjaman online sampai soal pilkada dan masa jabatan kepresidenan.

Dari belasan keputusan fatwa itu terlihat bahwa MUI sangat independen terhadap pemerintah dan kekuasaan.

Dalam hal masa periode kepresidenan MUI menegaskan cukup dua periode sesuai dengan konstitusi. Dalam masalah khilafah dan jihad, MUI bersikap netral dengan menganjurkan agar dua terminologi itu dikembalikan kepada makna yang positif supaya terhindar dari stigmatisasi dan politisasi.

MUI juga bersikap netral dalam masalah pengeras suara di masjid. Isu ini sensitif dan kontroversial dan MUI terlihat tidak ingin terlibat dalam kontroversi dan memilih bersikap netral.

Namun, MUI juga bersikap tegas terhadap peredaran minuman beralkohol dan meminta pemerintah segera mengesahkan UU minuman beralkohol yang sekarang masih digodok di DPR.

Undang-undang yang membatasi peredaran minuman beralkohol itu memicu kontroversi dan tarik ulur DPR. MUI dengan tegas memihak kepada pembatasan.

Salah satu keputusan tegas MUI adalah mendesak agar pemerintah mencabut peraturan menteri pendidikan 30/2021 mengenai penanganan kekerasan seksual di kampus yang kontroversial. Permendikbud itu memicu kontroversi luas karena dianggap melegalisasi seks bebas di kampus.

Kalangan pendukung permendikbud menganggap peraturan ini akan memberi perlindungan yang lebih baik kepada korban kekerasan seksual di kampus.

Namun, Muhammadiyah menganggapnya berpotensi melegalisasi seks bebas di kampus dan mendesak pemerintah mencabut peraturan itu.

Sikap MUI yang tegas ini menunjukkan bahwa MUI independen dari kekuasaan. Dari poin-poin keputusan ijtimak ulama itu MUI terlihat ingin menegaskan dirinya sebagai lembaga fatwa yang kredibel dan tidak diintervensi oleh kekuasaan.

Sejarah perjalanan MUI menunjukkan bahwa lembaga ini sering berada pada titik yang berseberangan dengan kekuasaan. Secara resmi MUI adalah lembaga bentukan pemerintah yang bertugas memberi pandangan mengenai berbagai masalah keagamaan Islam.

Meskipun keputusannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetapi publik percaya kepada MUI karena tokoh-tokoh yang ada di dalamnya mempunyai otoritas dan kredibilitas yang mumpuni.

Saat Din Syamsuddin menjadi ketua umum periode 2014-2015 MUI cukup vokal mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan umat Islam.

Pada periode 2015 sampai 2020 Din menjadi ketua dewan pertimbangan MUI, dan lembaga itu masih tetap independen dan kritis terhadap pemerintah.

Pada periode 2015-2020 ketua umum MUI dijabat oleh KH Ma’ruf Amin yang sekarang menjadi wakil presiden. Pada periode kepengurusan Ma’ruf Amin ini MUI mengeluarkan fatwa terhadap kontroversi penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada pilgub DKI 2016.

Ketika itu MUI menegaskan bahwa penistaan agama adalah haram. Fatwa itu membuat MUI masuk dalam pusaran politik yang panas dalam persaingan perebutan posisi gubernur DKI antara Anies Baswedan vs Ahok.

Fatwa MUI itu menjadi salah satu pemicu gelombang protes besar-besaran terhadap Ahok yang menyebabkannya kalah dalam kontestasi pilgub.

KH Ma’ruf Amin kemudian digandeng oleh Jokowi sebagai wakil presiden. Pada periode kepengurusan 2020 MUI dinetralkan dari unsur-unsur vokal dan kritis. Terpilihnya KH Miftachul Akhyar dari Jawa Timur menjadi ketua umum MUI menunjukkan bahwa pemerintah ingin MUI menjadi lebih tenang dan teduh.

Kelompok vokalis Din Syamsuddin dibersihkan dari kepengurusan MUI. Wapres Ma’ruf Amin menduduki posisi ketua dewan pertimbangan berduet dengan KH Miftachul Akhyar. Duet ini mewakili dominasi NU dalam kepengurusan MUI, karena Kiai Miftach adalah ketua PWNU Jatim dan Kiai Ma’ruf adalah mantan ketua PB NU.

Pasangan ini diharapkan bisa menetralisasikan suara keras di tubuh MUI, syukur-syukur bisa menjadi penyokong kepentingan pemerintah.

Namun, MUI tetap tidak bisa dijinakkan sepenuhnya. Suara-suara vokal masih muncul dari KH Anwar Abbas yang menjadi wakil ketua umum yang mewakili unsur Muhammadiyah. Suara kritis juga sering muncul dari KH Cholil Nafis yang notabene mewakili unsur NU.

Mencuatnya kasus Ustaz AZA menunjukkan bahwa MUI bukan lembaga yang monolitik yang kepengurusannya homogen dan bisa ditertibkan secara struktural seperti ormas keagamaan.

MUI adalah konfederasi dari berbagai organisasi keagamaan Indonesia yang masih tetap membawa misi masing-masing pribadi dan organisasi.

Penangkapan Ustaz AZA tidak serta-merta menjadi bukti bahwa MUI sudah disusupi teroris, seperti yang dituduhkan secara serampangan oleh beberapa kalangan.

MUI punya sejarah dan tradisi panjang yang menunjukkan bahwa lembaga ini independen dan tidak mudah terkooptasi oleh kekuasaan dan kepentingan. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
MUI   Cak Abror   Densus 88   terorisme  

Terpopuler