jpnn.com - Pemeliharaan lebah madu kini sudah menggunakan metode menggembala, sebagaimana ternak sapi atau kambing. Metode ini belakangan banyak ditiru karena madu yang dihasilkan lebih banyak.
Rizky Panchanov, KETAPANG
BACA JUGA: Peternak Pulang dengan Kecewa Tak Bertemu Jokowi
MULYONO (63) masih ingat benar cemoohan dari para tetangganya ketika dia mulai menerapkan metode penggembalaan pada ternak lebah madunya.
Metodenya itu bahkan kerap menjadi bahan tertawaan dari rekan-rekannya sesama peternak.
BACA JUGA: Ngamuk, Ribuan Peternak Bakal Geruduk Istana Negara
Namun dengan kesungguhannya, pemilik sarang lebah dengan merek An Nahl ini dapat membuktikan hasil ternak lebahnya lebih banyak.
Otomatis, omzet penjualan madu juga turut melonjak hingga mencapai angka puluhan juta rupiah.
Belakangan, metode penggembalaan yang juga dikenal dengan istilah ngangon ini mulai banyak ditiru oleh peternak lebah lain.
’’Ya, awalnya saya dicemooh. Lah ngapain, penyakit kok dipelihara,” kenangnya.
Mulyono mengaku pada awalnya berternak lebah di wilayah Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Dengan harapan usaha ternak lebahnya dapat lebih berkembang, dia lantas berinisiatif pindah. Pilihannya jatuh ke Desa Pematangpasir, Ketapang, Lampung Selatan (Lamsel).
Namun ternyata di tempat baru itu, lebah-lebah peliharaannya malah berkurang. Madu yang dihasilkan juga kurang berkualitas. Hal ini jelas membuat usahanya mengendur.
Selidik punya selidik, ternyata lebah-lebah itu kekurangan nutrisi. Wilayah Ketapang yang banyak ditanami jagung dan padi rupanya tak cocok untuk perkembangan lebah.
”Setelah saya pelajari ternyata lebah-lebah ini bagus apabila mereka menghisap nektar dari bunga tanaman karet, kelapa dan bunga akasia,” ujarnya.
Mulyono lantas memutar otak guna menyiasati kondisi itu. Akhirnya, dia berinisiatif mengembangbiakkan lebah-lebahnya dengan cara menggembala atau dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah ngangon.
Tak tanggung-tanggung, Mulyono menggembala lebah peliharaannya hingga ke Lampung Barat dan Mesuji.
Tempat itu dipilih hanya untuk mencari perkebunan karet dan hutan yang masih perawan.
Metode ini memang cukup menyedot biaya. Sebab dirinya memang perlu menyewa truk untuk mengangkut kotak-kotak sarang lebah ke lokasi tujuan.
”Sekali diangon ya bisa sampai dua atau tiga bulan sesuai dengan masa mekarnya bunga,” ungkap Mulyono.
Selain besarnya biaya, lokasi menganggon yang nomaden juga memunculkan risiko lain. Koloni lebah yang mencapai jumlah 15 ribu ekor itu juga rawan dicuri orang. Namun besarnya risiko itu terbanyar dengan hasil yang dia peroleh.
Untuk sekali panen, Mulyono mengaku bisa menghasilkan tiga kwintal madu dari 100 kotak sarang lebah.
Dalam sekali panen, pria kelahiran Yogyakarta 1953 ini bisa meraup omzet hingga Rp 24 juta. Tak hanya madu, beragam olahan lain juga dia produksi seperti bipolan, hingga lilin dari sarang lebah.
Keberhasilan itu membuatnya kini dipercaya menjadi Ketua Kelompok Tani Hutan Lebah An Nahl Hasil Hutan Bukan Kayu (KTH HHBK) Desa Ketapang, Lamsel di bawah binaan Dinas Kehutanan kabupaten setempat. Kini anggota kelompok tani itu sudah lebih dari 10 peternak.
Kini, metode ngangon lebah bahkan juga menjadi bahan penelitian sejumlah mahasiswa dari dalam dan luar negeri.
Tidak itu saja, terobosannya itu sempat pula diikutsertakan pada lomba Badan Ketahanan Pangan (BKP).
Tak disangka, madu hasil karya Mulyono itu menang. Pria lulusan STKIP Muhammadiyah Pringsewu ini bersama delapan perwakilan dari Lampung pergi ke istana negara untuk menerima penghargaan Adhi Karya Pangan Nusantara 2016.
’’Pak Jokowi bilang “awas Pak madunya jangan dicampur. Teruskan dan sebarkan (ilmu) ke masyarakat”," kata Mulyono menirukan pesan Presiden Jokowi.
Pada 1996 silam dia juga pernah menyabet penghargaan lomba penghijauan tingkat Provinsi Lampung.
Nah, berbicara mengenai madu, Mulyono memberikan tips membedakan madu palsu dan asli.
”Kalau madu asli dicampur ke air itu akan keruh, tapi kalau palsu akan bening karena mengandung unsur gula,” ucapnya. (c1/fik)
Redaktur & Reporter : Soetomo