Muncikari, Tante Dolly Mungkin Bingung, Tetapi Senang

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 22 Desember 2021 – 11:22 WIB
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Dahulu orang menyebutnya sebagai germo, induk semang yang punya tempat untuk menampung perempuan-permpuan yang memberi layanan seksual berbayar.

Sekarang, sebutan germo dianggap terlalu kasar dan diperhalus menjadi muncikari.

BACA JUGA: Terinspirasi Gang Dolly, Cak Sodiq Rilis Lagu Mantan Xs Lokalisasi

Meski ganti casing, tetapi pekerjaannya tetap sama, menjadi broker laki-laki iseng yang mencari hiburan.

Muncikari—banyak orang menyebutnya mucikari—berasal dari paduan dua kata bahasa Jawa, ‘’munci’’ yang berarti gundik atau wanita simpanan, dan ‘’kari’’ yang berarti ketinggalan, tidak dibawa, atau tidak disertakan.

BACA JUGA: Muncikari Prostitusi Online DP Ditangkap, Korbannya Ada Empat 

Muncikari kemudian diartikan sebagai germo penyedia perempuan pelayan laki-laki iseng.

Para perempuan yang menjadi anak asuh muncikari dahulu disebut sebagai pelacur yang berarti seseorang yang buruk laku.

BACA JUGA: Ini Alasan Polisi tidak Menjerat Selebgram TE sebagai Tersangka Terkait Prostitusi

Kemudian istilah itu dihaluskan dengan sebutan ‘’wanita tunasusila’’ atau WTS. Tuna berarti ‘’tidak punya’’ dan susila berarti ‘’perilaku baik’’. Wanita tunasusila berarti wanita yang tidak punya perilaku baik.

Istilah itu sekarang sudah tidak terdengar lagi. Anak-anak milenial yang lahir pada era 2000-an hampir pasti tidak mengenal istilah itu.

Sebagai ganti sekarang muncul istilah ‘’pekerja seks komersial’’ alias PSK. Para perempuan yang dulu dianggap lacur dan tidak punya susila sekarang disebut sebagai pekerja seks profesional, sama dengan pekerja yang bekerja di pabrik atau di dunia industri lain.

Penyebutan pelacur dan WTS dianggap diskriminatif dan seksis yang melecehkan perempuan. Sementara itu, para lelaki yang menjadi pelanggan tempat pelacuran hanya disebut sebagai ‘’pria hidung belang’’ (tidak pernah disingkat PHB).

Entah mengapa disebut sebagai hidung belang, padahal tidak ada indikasi fisik yang menunjukkan belang di hidung laki-laki yang habis melacur.

Para germo atau muncikari biasanya dipanggil ‘’mami’’ oleh anak semang maupun para pelanggannya. Ini berarti profesi germo lebih melekat kepada kaum perempuan, meskipun pada praktiknya banyak juga germo laki-laki, atau yang biasa disebut ‘’papi’’.

Sejarah pelacuran sudah membentang jauh sampai seumur peradaban manusia. Masyarakat kuno di Sumeria atau Mesir Kuno mempunyai kebiasaan memberi persembahan kepada dewa-dewa untuk mengungkapkan rasa syukur atas keberhasilan panen mereka.

Dalam kesempatan itu para lelaki menempatkan istri atau anak perempuan mereka di kuil besar, dan lelaki-lelaki lain kemudian melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan itu.

Peradaban pelacuran kuno ini berlangsung dan berkembang makin canggih sampai sekarang. Para lelaki Sumaria Kuno yang menyediakan perempuan di kuil itu sekarang bertransformasi menjadi germo atau muncikari profesional.

Kuil persembahan itu di era modern berubah wujud menjadi lokalisasi pelacuran yang tersebar di seluruh dunia.

Salah satu lokalisasi terbesar yang pernah dikenal di Indonesia adalah ‘’Dolly’’ di Surabaya. Sebelum resmi ditutup pada 2014 lokalisasi ini disebut-sebut sebagai tempat pelacuran terbesar di Asia Tenggara.

Diperkirakan hampir seribu rumah bordil berdiri di lokalisasi itu dengan jumlah pekerja mencapai angka sepuluh ribu.

Rumah bordil itu dikenal dengan sebutan ‘’wisma’’. Sebuah wisma besar dan paling terkenal seperti ‘’Wisma Barbara’’ bisa menyediakan sampai 50 perempuan, dan wisma-wisma kecil biasanya punya lima atau enam perempuan.

Bisa dibayangkan berapa jumlah perempuan yang bekerja di Dolly. Belum lagi para pekerja yang melayani sektor-sektor pendukung, seperti warung, tempat parkir, penjagaan keamanan, dan para penjual minuman keras dan operator perjudian.

Dolly menjadi legenda. Menurut sejarah lisan yang beredar dari mulut ke mulut Tante Dolly adalah wanita keturunan Belanda bekas pelacur yang pada 1960-an menyediakan rumah yang berisi perempuan untuk melayani orang-orang Belanda.

Awalnya hanya beberapa orang Belanda yang mampir ke rumah Dolly. Namun, lambat laun makin banyak orang yang mengetahui rumah Dolly dan kemudian menjadi pelanggannya. Perempuan yang disediakan pun makin banyak.

Pelanggan Dolly pun berkembang, dan orang-orang pribumi ikut menjadi pelanggan. Peluang bisnis itu dimanfaatkan juga oleh orang-orang pribumi. Maka jadilah wilayah Jl Girilaya, Putat Jaya, di Surabaya itu menjadi pusat layanan syahwat laki-laki yang populer.

Studi mengenai Dolly ditulis oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku ‘’Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly’’ (1982).

Menurut penelitian itu, dahulu daerah Putat Jaya merupakan kompleks makam China. Setelah peristiwa PKI 1965 lokasi itu mulai ditempati oleh para pendatang yang kemudian menghancurkan bangunan-bangunan makam.

Para pendatang itu kemudian menolak jenazah baru dan bahkan menutup total lokasi pemakaman. Para pendatang meminta para ahli waris untuk memindahkan makam-makam atau akan dihancurkan.

Setelah makam itu ditutup makin banyak orang yang datang dan tinggal di lokasi itu.

Pada 1967 datanglah seorang perempuan Belanda bernama Dolly Khavit--yang disebut-sebut sebagai bekas pelacur--dan mendirikan rumah di lokasi itu. Dolly menikah dengan seorang pelaut Belanda dan kemudian mendirikan rumah pelacuran pertama di lokasi itu.

Menurut penelusuran Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar lokasi pelacuran pertama yang didirikan Dolly berada di Kupang Gunung Timur I. Dalam waktu singkat usaha Dolly makin maju dan dia mendirikan beberapa rumah pelacuran yang diberi nama ‘’T’’, ‘’Sul’’, ‘’NM’’, dan ‘’MR’’.

Dolly kemudian menyewakan rumah-rumah yang dibangunnya kepada orang lain, yang kemudian juga mengelolanya menjadi tempat pelacuran. Lokasi ini menjadi makin besar dan kemudian semua orang mengenalnya sebagai ‘’Gang Dolly’’.

Kompleks Dolly kemudian ditutup oleh pemerintah Kota Surabaya pada 2014. Namun, tentu saja, bisnis pelacuran tidak dengan sendirinya tutup bersama tutupnya Dolly. Bisnis ini bertransformasi menjadi bisnis virtual yang tidak memerlukan lokalisasi fisik.

Seiring dengan canggihnya teknologi digital, pelacuran digital pun menjadi bisnis yang menggiurkan. Para pekerja seks komersial sekarang bertransformasi menjadi pekerja seks komersial digital.

Kalau saja ada asosiasi pekerja seks komersial, mungkin akan ada divisi pekerja seks komersial digital yang jumlah anggotanya jauh lebih banyak dibanding pekerja seks komersial konvensional.

Dolly-dolly virtual sekarang bertebaran di dunia digital. Pekerja yang terlibat dalam bisnis itu meluas sampai ke kalangan artis dan selebritas. Kalau dahulu tarif Dolly hanya Rp 30 ribu, sekarang tarif Dolly virtual bisa puluhan juta.

Seorang artis seperti VA bertarif Rp 75 juta ketika tertangkap basah di Surabaya pada 2019.

Seorang selebritas Instagram berinisial TE ditangkap di Semarang (20/12) karena ketahuan menyambi prostitusi online. Dia ditangkap basah sedang melayani kliennya di sebuah kamar hotel. Bersamanya ditangkap juga seorang perempuan disc jockey berkewarganegaraan Brasil yang juga menyambi menjadi prostitusi digital.

Fenomena prostitusi online yang melibatkan selebritas seperti VA dan TE makin banyak terjadi. Bisnis ini menjadi bisnis sampingan yang menggiurkan karena hasilnya yang begitu besar.

Selain itu, risiko bisnis ini kecil atau hampir tidak ada, karena aparat tidak menetapkan si prostitute sebagai tersangka. Dalam kasus TE aparat malah melindunginya sebagai korban perdagangan manusia. Dalam kasus TE yang ditetapkan sebagai tersangka adalah seorang laki-laki berinisial JB yang diduga bertindak sebagai muncikari.

Di alam kubur, mungkin, Tante Dolly bingung. Pelacur tidak ditangkap, tetapi para muncikari dikejar-kejar sebagai pesakitan.

Namun, Tante Dolly mungkin tersenyum senang, karena bisnis rintisannya makin berkembang besar. (*)

 

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler