Muncul Wacana Insentif Pajak Berdasar Provinsi

Selasa, 25 Juli 2017 – 06:40 WIB
Tampak wajib pajak antri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ternate, Jumat (31/3). FOTO: Malut Post/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak lebih berfokus memperluas basis pajak untuk mengganti pendapatan pajak yang hilang karena kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Sebelumnya, Kementerian Keuangan memastikan membatalkan rencana perubahan terhadap batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

BACA JUGA: Bergaya Centil di Labuan Bajo, Sri Mulyani Foto Bareng Komodo

’’Tidak ada pembahasan mengenai itu (PTKP) dan itu belum ada apa-apa. Tidak ada perubahan kebijakan PTKP,’’ ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta kemarin (24/7).

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi juga menekankan hal serupa.

BACA JUGA: Target Penerimaan Pajak 2017 Diprediksi Meleset Lagi

Ketika ditemui di kompleks gedung DPR, Ken mengakui pihaknya belum melakukan kajian terkait perubahan batas PTKP berbasis upah minimum provinsi (UMP).

’’Kan biaya hidup bergantung UMP. Belum ada kajian untuk mengubah,’’ terang Ken.

BACA JUGA: Berani Bocorkan Data Nasabah, Pegawai Pajak Bisa Dihukum Mati

Ketika disinggung tentang negara lain, seperti Kanada, yang memberlakukan PTKP dengan model zonasi berbasis provinsi, Ken menilai hal itu perlu dibahas lebih lanjut dengan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu.

’’Nanti kami bahas dengan BKF,’’ tambah Ken.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menguraikan, dalam teori perpajakan, ada sejumlah model dan skema PTKP.

Pertama, lumpsum atau initial exemption berupa pengurangan dalam jumlah tetap, sama untuk semua wajib pajak tanpa memperhatikan perbedaan tanggungan keluarga.

Kedua adalah continuing exemption yang berlaku untuk semua wajib pajak orang pribadi berdasar keadaan keluarga seperti yang berlaku di Indonesia.

Ketiga adalah the vanishing exemption, yakni jumlah pengurangan yang semakin mengecil dengan semakin besarnya penghasilan wajib pajak berdasar teori management utility of income.

Pola keempat adalah penggantian pengurang personal dengan tax credit yang dapat direstitusi.

Sejumlah negara, tutur Yustinus, memberlakukan sejumlah variasi.

Misalnya, ada tambahan insentif bagi perempuan bekerja dan single parent yang berlaku di Singapura dan India serta pekerja usia nonproduktif di Argentina, Afrika Selatan, dan Maroko.

Selain itu, kompensasi sosial yang berlaku di Ghana, Meksiko, Maroko, dan Uganda serta tunjangan anak di keluarga berpenghasilan rendah yang berlaku di Inggris.

Jika dibandingkan negara lain, tambah Yustinus, formulasi PTKP Indonesia memang jauh tertinggal karena hanya memasukkan komponen biaya hidup minimum yang standar.

Wacana merevisi PTKP adalah kesempatan memperbaiki skema dan model agar lebih adil.

”Model zonasi berdasar provinsi juga dimungkinkan mengingat jarak antara penghasilan dan UMP antarwilayah yang cukup lebar,” jelasnya.

Kenaikan PTKP terakhir terjadi pada 2016 menjadi Rp 4,5 juta per bulan dari Rp 3 juta per bulan.

Kenaikan itu bertujuan meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga mendorong konsumsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Namun, kebijakan tersebut juga menggerus penerimaan negara sekitar Rp 18 triliun.

Selain itu, kebijakan itu dinilai tidak tepat sasaran karena kenaikan PTKP juga dinikmati kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

’’Jadi memang perlu dilakukan evaluasi, apakah penerapan cash transfer yang lebih tepat sasaran dan terukur dapat menjadi pilihan yang lebih baik,’’ kata Yustinus. (byu/dee/c17/noe)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Warung Beromzet Rp 1 Juta Per Bulan Wajib Bayar Pajak


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler