jpnn.com, JAKARTA - Mekanisme penarikan royalti lagu dari pengusaha karaoke secara borongan, berapapun tarifnya per ruang per tahun oleh pemerintah lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), bukan merupakan sistem yang tepat. Bahkan mekanisme ini dinilai rawan korupsi.
Sebaiknya, pemerintah menerapkan sistem yang canggih, mudah dan tidak mahal, dan sudah diterapkan di negara lain yakni berbasis teknologi. Karena itu, pungutan royalti dari perusahaan karaoke berbasis pada setiap lagu yang diputar. Dengan demikian, pembagian royalti kepada yang berhak dapat akurat. Di sisi lain perusahaan karaoke juga tenang karena membayar royalti sesuai dengan rumusan yang mereka gunakan atau jual.
BACA JUGA: LMKN Harus Kedepankan Transparansi
“Saya tidak setuju dengan sistem royalti borongan per ruang per tahun, Rp 50 ribu atau berapapa pun. Karena dengan mekanisme itu perhitungan royalti yang nantinya dibagikan kepada setiap pemegang royalti juga abu-abu. Kalau sudah abu-abu berpotensi korupsi,” tegas musisi sekaligus pencipta lagu, Katon Bagaskara saat dihubungi Selasa (21/3).
Dia mengomentari hal itu terkait adanya kontroversi tarif royalti yang dikenakan kepada rumah karaoke, demi menegakkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC).
BACA JUGA: Pengusaha Hiburan Tak Mau Bayar Royalti?
Menurut Katon, jika semua pihak punya niat baik, sebenarnya bisa digunakan teknologi yang bisa menghitung berapa lagu dan lagu apa saja yang diputar di ruang karaoke, setiap hari selama setahun. Malaysia dan Singapura juga sudah menerapkan teknologi itu sekitar 10 tahun.
“Dengan menerapkan teknologi ini semua perhitungan menjadi detil dan transparan, jelas lagu apa saja dan berapa kali yang diputar. Dengan tarif royalti per lagu misalnya Rp 200 sekali putar, maka nantinya perhitungan penarikan dan pembagian royaltinya juga jelas, dan semua pihak tidak ada yang dirugikan,” tambah Katon.
BACA JUGA: Rumah Karaoke Putus Hubungan dengan Ahmad Dhani
Untuk menggunakan teknologi itu di tempat karoke, lanjut Katon, juga tidak sulit. Pun tidak mahal dibanding dengan potensi ekonomi yang bisa didapatkan pemerintah. “Biaya sewa teknologi itu hanya sekitar Rp 50 miliar per tahun, sementara potensi pendapatannya Rp 3,1 triliun. Pemerintah bisa menyediakan teknologi itu dan kemudian bisa mendapatkan lebih banyak pendapatan dari yang dikeluarkan.
“Pengusaha dan pemerintah tinggal duduk bersama, jadi tidak perlu berdepat dan berantem. LMKN ini sudah dua tahun, seharusnya bisa menerapkan sistem yang tidak rapuh dan abu-abu, Joka berantem terus nanti tidak jalan-jalan,” tambah pelantun lagu Negeri di awan ini.
Pakar Hukum HAKI dari Universitas Diponegoro, Lapon Leonard Tukan juga mengkritik mekanisme penarikan royalti lagu dari pengusaha karaoke secara borongan itu. Menurut dia, seharusnya pembayaran ada kelonggaran dan jangan dipaksakan harus di awal tahun. Sebab operasional dan kondisi keuangan pelaku usaha juga harus dipahami.
“Soal mekanisme penarikan harus ada kelonggaran. Anggaran pemerintah saja sulit untuk melaksanakan program di awal tahun. Ini tidak bisa dipaksakan kepada swasta untuk membayar awal tahun,” ujar Leonard terkait adanya keberatan pelaku usaha karaoke terkait adanya ketentuan pembayaran royalti yang harus dibayar dimuka pada 2017.
Ia menegaskan, eksistensi dan peran Lembaga penarik royalti (Lembaga Manajemen Kolektif—red) sangat penting untuk bekerja secara baik dan maksimal, melakukan komunikasi secara intens dengan pelaku usaha dalam mengimplementasikan aturan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Terkait besaran tarif royalti, lanjut Leo, pemerintah melalui Lembaga Manajemen Kolektif, harus dan tentu sudah melakukan perhitungan mengenai besaran royalti yang ditentukan. Sementara pengusaha dimanapun, di sektor apapun, selalu mencari jalan usaha yang murah atau efisien guna mendapatkan profit dan menjaga kelangsungan usaha.
Di luar negeri, lanjut Leo, penarikan royalti kepada pengusaha karoke juga diberlakukan dengan baik sehingga pemilik karya lagu bisa terlindungi dan sejahtera. Dengan demikian gairah untuk melakukan kreativitas khususnya di bidang lagu juga berkembang. Di lain sisi, para pengusaha juga terjamin dan terilindungi kelangsungan usahanya.
“Di Amerika, bahkan di Singapura dan Malaysia, perlingungan terhadap HAKI ini diimplementasikan dengan baik. Industrinya bisa jalan, pemilik karya juga bisa terlindungi. Kita sudah ketinggalan,” tambahnya.(*/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Produser: Besaran Tarif Royalti Cari Win-Win Solution
Redaktur : Tim Redaksi