jpnn.com, JAKARTA - Sejarawan Asvi Warman Adam mengkritik narasi sejarah tentang peristiwa penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 masih bernuansa Orde Baru (Orba).
Peneliti utama di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu menyebut narasi di buku pelajaran mengenai sejarah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Kudatuli tersebut justru menyudutkan PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri.
BACA JUGA: 24 Tahun Lalu Ada Insiden Berdarah di Markas PDI, tetapi Megawati Tak Ajarkan Balas Dendam
Asvi mengungkapkan itu saat berbicara dalam diskusi virtual bertema "Huru-Hara di Penghujung ORBA: Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996" yang digelar Forum Jas Merah di Jakarta, Senin (27/7).
"Menjadi soal adalah bagaimana peristiwa 27 Juli ditulis dalam sejarah Indonesia. Sejarah mutakhir 2008 masih menyudutkan PDI atau PDIP, karena yang dituding melakukan kekerasan adalah pendukung Megawati. Misalnya tulisan di dalam buku yang jadi rujukan guru mengajarkan sejarah," kata Asvi.
BACA JUGA: Isu Kudatuli jadi Ritual PDIP Sejak SBY Mengalahkan Mega
Lebih lanjut Asvi menyitir narasi yang menempatkan pendukung Megawati sebagai pelaku Kudatuli. Dalam sebuah kalimat di buku sejarah, tutur Asvi, tertulis bahwa massa terkonsentrasi di Megaria dan mencoba menembus blokade aparat.
Kalimat berikutnya adalah massa membakar sejumlah bangunan seperti kantor Bank Kesawan dan showroom mobil. Lalu ada tulisan tentang aksi pendukung Megawati yang masih bergerak.
BACA JUGA: Hasto: Kudatuli Rekayasa Politik Membungkam Demokrasi
"Saya garis bawahi ada kalimat 'massa membakar apartemen' dan tak disebutkan pelakunya. Hanya massa. Namun kalimat itu di antara kalimat yang menyangkut pendukung Megawati. Orang awam akan membaca bahwa yang membakar itu adalah pendukung Megawati," ungkap Asvi.
Oleh karena itu Asvi menegaskan, narasi sejarah yang keliru itu segera diluruskan. Terlebih, sejarah yang keliru itu justru menjadi bahan pelajaran bagi anak sekolah.
"Jadi menurut saya ini harus diluruskan di dalam buku yang jadi pedoman guru mengajarkan sejarah," ungkap dia.
Asvi juga mengatakan, rezim Orba sejak 2 Oktober 1965 sudah melakukan kontrol ketat terhadap media massa. Menurutnya, Syarwan Hamid selaku Kassospol ABRI saat mengumpulkan para pemimpin redaksi media massa sehari setelah Kudatuli.
"Tanggal 28 (Juli 1996), media massa dikumpulkan oleh Syarwan Hamid. Pemred-pemrednya dikumpulkan untuk menyampaikan narasi penguasa saat itu," kata Asvi.(mg10/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan