jpnn.com - Indonesia adalah negara yang terus memiliki semangat tinggi dan berperan aktif dalam kerja sama internasional.
Berangkat dari semangat tersebut, Indonesia telanjur mengikatkan diri dalam perjanjian-perjanjian ambisius bersama komunitas berbagai negara untuk bumi yang lestari dan kehidupan yang lebih baik, yang mampu menyediakan kesejahteraan bagi semua.
BACA JUGA: Rencana Tata Ruang, Instrumen Strategis Cipta Kerja
Tahun 2015 adalah tahun yang penting yang mencatat perjanjian-perjanjian ambisius internasional tersebut, sekaligus tahun yang mencatat perikatan-perikatan ambisius Indonesia di dalamnya.
Pada tahun itu dicapai Perjanjian Paris yang berhasil membangun kesepakatan berbagai negara untuk mengambil langkah-langkah pasti dan bertarget jelas terkait penanganan perubahan iklim. Demikian pula pada tahun yang sama dicapai kesepakatan Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 tujuannya yang terkenal, baik tujuan di aras lingkungan, sosial, dan ekonomi.
BACA JUGA: Ditjen Pengadaan Tanah Lahirkan Terobosan Baru Pengelolaan Tata Ruang
Pelembagaan perjanjian-perjanjian tersebut pada tahap pertama di tingkat peraturan perundang-undangan pun sudah dilakukan segera setelah itu. Pada tahun 2016 ditetapkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang ratifikasi Perjanjian Paris dan pada tahun 2017 diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Pada Perpres Nomor 59/2017, sasaran-sasaran global sebagai turunan 17 tujuan dielaborasi lebih lanjut dalam sasaran-sasaran nasional 2015-2019. Di antara sasaran-sasaran nasional yang demikian banyak, kita mencatat antara lain, sasaran pengurangan setengah proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan di tahun 2030, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas tinggi dengan pertumbuhan PDB riil per kapita, penciptaan lapangan kerja, industri yang inklusif dan berkelanjutan, pengurangan emisi, ruang terbuka hijau, hutan lestari, dan target-target program sosial pengentasan kemiskinan. Sasaran-sasaran nasional tersebut relatif tertarget dengan angka sebagaimana tertera pada lampirannya.
BACA JUGA: Percepat Penyusunan RDTR di Daerah, Kementerian ATR/BPN Tingkatan Kapasitas SDM Perencana Tata Ruang
Sementara pada UU 16/2016 tentang ratifikasi Perjanjian Paris, sasaran yang terfokus pada pengurangan emisi ini sangat jelas, yakni pengurangan 29% tanpa bantuan internasional dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Ini sejalan dengan nationally determined commitment (NDC) yang sudah disampaikan dalam forum internasional PBB.
Dalam NDC dijelaskan tentang lima kategori sektor dan proporsi kontribusinya dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 29 % di tahun 2030 berbasis skenario tanpa bantuan internasional, yakni: kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%).
Terkait target-target umum dan target-target sektoral tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup telah pula melakukan identifikasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan perubahan iklim untuk melihat gaps dan overlaps dan potensi harmonisasi peraturan perundangan, dengan beberapa daftar yang sudah ada dalam daftar yang termuat dalam dokumen Strategi Implementasi NDC tersebut.
Sebagai bangsa yang bermartabat, kita semua tentu berkepentingan menjaga agar komitmen-komitmen di tingkat internasional dan target-target di tingkat nasional dapat dipenuhi secara konsisten, melalui kerja-kerja kebijakan sektoral dan kewilayahan yang padu dengan komitmen dan target tersebut. Identifikasi peluang kebijakan sektoral dan kewilayahan yang dapat menopang komitmen dan target tersebut mestinya terus dilakukan, karena selain kemartabatan dalam komunitas internasional, komitmen dan target tersebut juga baik bagi kehidupan kita sendiri.
Dan kebijakan rencana tata ruang, semestinya merupakan salah satu pintu masuk yang baik untuk penopangan komitmen dan target-target di urusan NDC dan SDGs sebagaimana digambarkan di atas. Pengintegrasian pada aras kebijakan sektoral boleh dan, sebagaimana kita ketahui, sudah dilakukan pada tingkat tertentu. Tetapi alangkah baiknya jika komitmen dan target-target tersebut juga diintegrasikan secara lebih afirmatif dalam kebijakan kewilayahan, termasuk dalam hal ini rencana tata ruang.
Alhasil, sampai dengan penetapan UU Cipta Kerja dan peraturan-peraturan turunannya, termasuk bagian UU Cipta Kerja dan turunan peraturan yang mengatur soal penataan ruang, mandat yang lebih afirmatif terkait NDC dan SDGs belum terartikulasi dengan baik. Padahal dengan kemajuan teknologi yang ada, termasuk teknologi monitoring kualitas lingkungan, deployment tugas dan tanggung jawab ke daerah melalui rencana tata ruang daerah dan rencana-rencana pembangunan di daerah mestinya dapat dilakukan.
Pelembagaan dan deployment tanggung jawab ke daerah tentu membutuhkan basis data yang kuat dan koordinasi lintas sektor yang mumpuni. Sebagaimana NDC berbasis pada data kontribusi emisi sektoral, semestinya data emisi regional juga sudah tersedia. Dan sebagaimana target sektoral, kehutanan misalnya, yang perlu diturunkan dalam target-target kinerja satuan pengelolaan hutan, semestinya bersama sektor kehutanan, sektor energi, dan sektor lainnya di daerah, setiap daerah juga diberikan tanggung jawab untuk mengejar target-target kewilayahan tertentu, yang kemudian diturunkan dan membentuk target-target satuan wilayah perencanaan dalam rencana tata ruang wilayah.
Target-target kinerja yang merupakan turunan dari NDC dan SDGs tentu saja perlu didudukkan bersama variabel lain yang dipertimbangkan dalam perancangan rencana tata ruang di daerah, baik variabel aspek lingkungan lain seperti daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, maupun variabel aspek kependudukan dan ketenagakerjaan, aspek ekonomi, aspek sosial budaya, serta aspek pertahanan dan keamanan.
Begitu NDC dan SDGs operasional, semestinya kita membutuhkan paradigma baru rencana tata ruang yang dapat memastikan terpenuhinya komitmen dan target-target yang sudah ditetapkan. Setidaknya ada tiga (3) pilar paradigma baru yang dapat dikemukakan di sini.
Pertama, integrasi target-target NDC dan SDGs dalam tujuan tata ruang, tidak hanya rumusan kualitatif yang sejauh ini sudah dilakukan, tetapi juga target-target kuantitatif. Target-target ini ditetapkan secara overall kewilayahan di daerah, yang kemudian diturunkan dalam target-target wilayah perencanaan, target-target sub wilayah perencanaan, target-target zona, maupun target-target kecamatan.
Tentu pada satuan wilayah perencanaan tertentu, target-target NDC dan SDGs aspek lingkungan bisa berbobot lebih besar; sementara pada satuan wilayah perencanaan lain target-target NDC dan SDGs aspek lingkungan tidak terlalu tinggi, malah sebaliknya target-target menjadi sangat economy-heavy namun tetap ramah lingkungan. Perbedaan target antar satuan wilayah perencanaan ini tentu merupakan sesuatu yang dirancang dengan baik, dalam kepatuhan terhadap target-target overall kewilayahan.
Pada tingkat kebijakan di atasnya, entah Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang maupun Peraturan Menteri mengenai Penataan Ruang, mandat target-target ini semestinya dapat dibuat jelas untuk setiap daerah. Tetapi jika penargetan ini masih merupakan sesuatu yang berat dalam rejim kebijakan kita, maka kebijakan pada tingkat atas cukup mengarahkan agar tujuan penataan ruang dalam RTRW perlu menetapkan target-target NDC dan SGDs secara kuantitatif.
Kedua, penyempurnaan instrumen perlindungan dan pengendalian lingkungan hidup di tingkat mikro dan arahan pengendalian tata ruang pada tingkat zona. Selama ini, beberapa instrumen sudah tersedia, misalnya ruang terbuka hijau, zero delta Q, dan koefisien dasar hijau untuk bangunan-bangunan di zona industri dan perumahan.
Dalam rangka pemenuhan target-target mikro NDC dan SDGs, kewajiban biopori sudah saatnya dilembagakan dalam peraturan tata ruang. Demikian pula instrumen-instrumen kebijakan lain dalam rangka pengendalian kualitas air, udara, dan limbah.
Di samping instrumen-instrumen pengendalian lingkungan, instrumen optimalisasi dampak dan tanggung jawab sosial juga dapat dioptimalkan melalui arahan peraturan zonasi yang lebih jelas. Misalnya kewajiban adanya sekolah industri dalam berbagai alternatif model untuk membuka akses peningkatan kualitas sumber daya manusia di sekitar lokasi industri agar sifat inklusivitas lokal dari perkembangan industri dapat lebih dipastikan.
Ketiga, penyempurnaan sistem tata kelola urusan lingkungan hidup dengan dukungan prasarana yang lebih jelas, yakni dengan memasukkan komponen prasarana monitoring dan pengendalian lingkungan dalam struktur ruang daerah. Kita tahu bahwa transparansi adalah bagian sangat penting dalam proses pemenuhan komitmen-komitmen NDC dan SDGs, yang menentukan imbal jasa komitmen yang merupakan bagian dari skema NDC dan SDGs.
Tidak hanya itu, transparansi melalui teknologi dan prasarana monitoring lingkungan juga memberikan jaminan atas kualitas lingkungan yang dijanjikan melalui komitmen-komitmen perizinan yang dilakukan oleh industri dan usaha lainnya. Dengan transparansi pula, pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dapat berlangsung dengan lebih baik.
Akhirnya, pelembagaan NDC dan SDGs dalam rencana tata ruang tidak perlu menghadirkan kekhawatiran akan trade-off sisi ekonomi karena kedua sisi ini mempunyai peluang untuk dimaksimalkan secara bersamaan. Jika ada trade-off, trade-off tersebut memang pada dasarnya tidak terhindarkan, jika tidak hari ini maka akan lebih berat di masa yang akan datang, dan menjadi serius bagi usaha ekonomi yang selama ini berkinerja buruk di bidang perlindungan dan pengendalian lingkungan.
Pemahaman yang utuh terhadap SDGs dan penempatan NDC secara proporsional sebagai bagian dari SDGs akan membawa kita pada pemahaman bahwa rencana tata ruang paradigma baru yang mengadopsi target-target NDC dan SDGs tidak menafikan arti penting ruang yang ditujukan untuk produktivitas ekonomi. Sebaliknya, rencana tata ruang demikian perlu bersahabat dengan sektor-sektor ekonomi yang selama ini maupun secara potensial merupakan prime movers pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Karena ruang-ruang ekonomi produktivitas tinggi sangat berperan penting dalam mengatasi persoalan-persoalan kependudukan dan ketenagakerjaan yang merupakan bagian penting pula dari mandat dan target SDGs.
Tentu persahabatan ini bukan merupakan persahabatan yang manja, tetapi persahabatan yang bertanggung jawab dan saling memahami satu sama lain. Yang memahami kelestarian bumi dan ekosistem sebagai kepentingan bersama.(***)
Penulis adalah Direktur Teras Hijau Indonesia sekaligus Penggagas Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau Anton Doni Dihen.
Redaktur & Reporter : Friederich