Serial Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau

Rencana Tata Ruang, Instrumen Strategis Cipta Kerja

Oleh: Anton Doni Dihen

Jumat, 01 Oktober 2021 – 14:10 WIB
Direktur Teras Hijau Indonesia sekaligus Penggagas Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau Anton Doni Dihen. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Undang-Undang Cipta Kerja menyediakan banyak kemudahan untuk investasi dan kegiatan berusaha. Di antara berbagai kemudahan tersebut, penyederhanaan perizinan adalah bentuk kemudahan yang menonjol. Beberapa persyaratan perizinan ditiadakan, dan beberapa yang lain dimudahkan.

Kemudahan yang disediakan tidak berarti menghilangkan persyaratan tersebut sama sekali. Misalnya kesesuaian antara rencana lokasi kegiatan usaha dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW).

BACA JUGA: Rencana Tata Ruang Wilayah Amburadul, Proyek Reklamasi Masih Jalan Terus

Persyaratan ini tidak dihilangkan sama sekali, tetapi dimudahkan dalam bentuk penyediaannya secara online dalam sistem informasi OSS (Online Submission System). Sistem OSS membuat keputusan secara sistem perihal kesesuaian tersebut, tanpa proses panjang di luar jaringan.

Dengan penyediaan secara terbuka dalam sistem OSS, juga ada kepastian yang disediakan. Dan pengusaha dan/atau investor tidak mengalami kesulitan dalam menjalani urusan persyaratan dasar investasi ini.

BACA JUGA: Teras Desak Pemerintah Selesaikan Persoalan Tata Ruang Provinsi Kalteng

Pada saat yang sama, tentu ada tantangan untuk menyediakan RTRW yang baik dan dapat diandalkan. Sebab begitu tersedia secara online, RTRW tersebut sudah dijadikan pegangan dalam pemberian izin.

Jadi, UU Cipta Kerja menguatkan RTRW sebagai instrumen kebijakan yang penting dan strategis. RTRW adalah bagian penting dari wahana persyaratan dasar investasi dan/atau kegiatan berusaha, bersama instrumen lain yang digunakan sebagai dasar persetujuan lingkungan dan persetujuan bangunan.

BACA JUGA: Menaikkan Cukai Rokok Kontraproduktif dengan UU Cipta Kerja

Lebih jauh dari itu, harus dicatat pula bahwa UU Cipta Kerja menyediakan pula kemudahan lain. Yang lumayan berisiko, tetapi yang harus diambil untuk menyediakan kemudahan perizinan. Yakni pengecualian kewajiban Amdal untuk investasi dan/atau kegiatan berusaha dengan kategori wajib Amdal.

Di urusan ini, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai turunan RTRW memegang peranan penting. Sebagaimana diatur dalam PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perizinan berusaha untuk investasi dan/atau kegiatan berusaha dengan kategori wajib Amdal (Analisis mengenai Dampak Lingkungan), di Daerah yang sudah memiliki RDTR yang sudah dilengkapi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dapat dibebaskan dari kewajiban Amdal.

Pasal 10 ayat (1) huruf a PP 22/2021 menunjuk salah satu sasaran pengecualian itu demikian: “lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatannya berada pada kabupaten/kota yang memiliki rencana detail tata ruang yang telah dilengkapi dengan kajian Lingkungan Hidup strategis yang dibuat dan dilaksanakan secara komprehensif dan rinci sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Dengan demikian, Daerah yang berniat memajukan daerahnya dengan topangan investasi dituntut untuk menyediakan RDTR sebagai salah satu bentuk kemudahan dan daya tarik. Sekaligus memastikan agar RDTR tersebut sudah dilengkapi KLHS sebagai instrumen penyempurna RDTR.

Lalu seperti apa "RDTR yang sudah dilengkapi dengan KLHS", sedemikian rupa sehingga dapat menghilangkan kewajiban Amdal? Apakah merupakan suatu dokumen kebijakan yang mudah atau sulit dalam penyusunannya? 

RTRW dan RDTR adalah instrumen kebijakan dengan jalur perkembangan yang sangat teknis. Semula berada di bawah kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum, kemudian beralih ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Dengan banyak sekali aspek yang diperhitungkan dalam penyusunannya, dengan segala potensi trade-off di dalamnya. Dan aspek keberlanjutan hanya salah satu aspeknya.

Karena hanya salah satu dari sekian banyak aspek, bukan tidak mungkin, apek keberlanjutan dikorbankan atau direndahkan tingkat signifikansinya. Apalagi karena perhatian dalam urusan keberlanjutan lebih diasosiasikan dengan kewenangan yang berada di kementerian lain, yakni Kementerian Lingkungan Hidup.

Maka, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai instrumen yang relatif baru merupakan cara untuk mendeteksi sejauh mana aspek lingkungan dan aspek-aspek keberlanjutan lain mendapat perhatian yang cukup dalam penyusunan RTRW/RDTR. Dia merupakan semacam alat untuk pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam penyusunan RTRW/RDTR, sejalan dengan pengarusutamaan prinsip ini dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan lainnya.

Namun, apakah memang alat ini dapat diandalkan untuk menjalankan misi luhur penyelamatan prinsip-prinsip pembangunan berkeberlanjutan?

Sudah sejak tahun 2011, sudah ada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota yang merupakan pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. PP ini sendiri merupakan penerjemahan dari Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Sementara regulasi tentang KLHS baru muncul tahun 2016, melalui PP 46/2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, mengikuti perkembangan internasional dengan kemunculan strategis environmental asssessment (SEA), yang mau melengkapi Amdal karena cakupan Amdal yang terlalu mikro.

Maka perubahan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum menjadi Perturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota kemudian memuat ketentuan mengenai pengintegrasian KLHS.

Kita tentu perlu terus mengkaji, apakah ketentuan-ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS dan ketentuan-ketentuan sektoral yang lebih operasional yang mengatur pengintegrasian KLHS memadai atau tidak. Terlihat ada soal mengenai kelembagaan yang menyelenggarakan KLHS, demikian pula ketentuan mengenai identifikasi dan penajaman prioritas isu-isu pembangunan berkelanjutan.

Tentang kelembagaan, perlu diketahui bahwa kelembagaan penyelenggara KLHS adalah penyusun kebijakan itu sendiri, yang berarti tidak independen terhadap penyusun kebijakan. Posisi seperti itu bisa saja menyulitkan penyelenggara KLHS dalam memberikan perspektif atau pendirian yang berbeda atau korektif.

Sementara terkait penajaman isu-isu prioritas, PP KLHS telah memberikan cakupan-cakupan isu contoh, yang aplikasinya dapat membimbing pelenggara KLHS untuk hanya memperlakukan isu-isu tersebut sebagai isu-isu strategis utama dan mengabaikan isu lainnya.

Namun demikian, sementara kualitas RDTR dan sifat keberlanjutannya yang hendak dipastikan melalui KLHS merupakan hal yang membutuhkan perhatian, fakta tentang lambannya penyediaan RDTR merupakan persoalan yang serius.

Pada suatu berita di 8 Juni 2018, pada waktu itu baru ada 41 RDTR yang dibuat dan menjadi Perda, sementara 1.797 Perda RDTR belum dibuat. Itu berarti, capaian baru 2,2 persen.

Setelah itu pada berita lainnya di 11 Maret 2020, hingga saat itu baru ada 55 RDTR, dan ditargetkan ada tambahan 57 RDTR pada tahun 2020. Entah berapa jadinya tambahan di 2020. 

Capaian terbatas pada tahun 2020 tersebut bahkan terjadi setelah Permen ATR Nomor 16 Tahun 2018 menetapkan pula percepatan prosesnya, dari yang semula membutuhkan waktu 24 bulan menjadi hanya 6 bulan.

Fakta demikian tentu mengisyaratkan bahwa dokumen RDTR, apalagi dilengkapi dengan KLHS, bukan merupakan dokumen yang mudah dihasilkan.

Ada alasan teknis seperti ketersediaan peta dengan skala 1:5.000, tetapi ini tentu bukan alasan yang utama. Dengan kemajuan teknologi yang ada, kendala peta mestinya bisa teratasi.

Mengapa proses membuat RDTR menjadi sulit? Apa saja persoalan yang menghambat proses pembuatannya? Kita membutuhkan diskusi dan penelusuran untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan tersebut. 

Sebagai posisi awal, dapat dikemukakan bahwa salah satu di antara hambatan tersebut adalah cara pandang kita dalam melihat rencana tata ruang.

Yakni, ketika kita melihat rencana tata ruang hanya sebagai proses "science", bahkan proses teknis administratif, yang membawa kita secara total pada upaya untuk melengkapi data dan melakukan analisis berdasarkan pedoman yang sudah dibuat baku melalui peraturan perundang-undangan. 

Proses dengan totalitas fokus seperti itu membatasi kita untuk berdialog secara kreatif dengan data dan informasi, dengan tantangan dan persoalan, dengan potensi dan kekuatan, yang merupakan proses "envisioning" yang diperlukan dalam proses penyusunan rencana detail tata ruang. 

Rencana Tata Ruang adalah kerja kreatif. Kerja "art". Atau lebih realistiknya, "science plus art". Dia melibatkan proses kreatif dalam berdialog dengan data dan informasi. Yang menghasilkan sekian rancangan tujuan dan konsep perencanaan yang bolak-balik diuji kembali dengan data, informasi, dan analisis. Yang berujung pada dihasilkannya visi serta tujuan tata ruang yang mampu menjawab tantangan-tantangan utama suatu daerah atau suatu satuan wilayah perencanaan secara cerdas dan kreatif.

Proses seperti itu dapat merupakan proses yang lebih menggairahkan, yang harus dijalankan untuk menghasilkan RTRW-RDTR yang berkualitas.(***)

 

Penulis adalah Direktur Teras Hijau Indonesia, Penggagas Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler