Negara Berpotensi Kehilangan Rp17,5 Triliun dari Celah Kebijakan Cukai Rokok

Rabu, 09 September 2020 – 21:09 WIB
Barang bukti rokok ilegal. Foto Humas Bea Cukai

jpnn.com, MALANG - Besarnya kontribusi industri hasil tembakau (IHT) terhadap penerimaan negara dinilai akan lebih meningkat bila pemerintah menutup berbagai celah di kebijakan cukai rokok.

Salah satunya dengan menjalankan roadmap penyederhanaan/simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau.

BACA JUGA: Ekonom Dorong Maksimalkan Potensi Pajak Selain Cukai Rokok

Hal ini disampaikan oleh tim peneliti dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB) pada Diseminasi Publik  Hasil Penelitian Cukai Hasil Tembakau: Roadmap Simplifikasi, Celah Kebijakan dan Dampaknya, Senin (7/9).

Ketua Tim Peneliti Abdul Ghofar menyatakan dalam penelitiannya, skema simplifikasi merupakan salah satu kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang berkontribusi positif.

BACA JUGA: Salshadilla Juwita Akui Sudah Putus dari Lutfi Agizal, Gara-gara Permasalahkan Kata Anjay?

“Kami melakukan simulasi andai saja roadmap simplifikasi CHT dijalankan oleh pemerintah sesuai PMK 146/2017, total potensi penerimaan negara dari skema tersebut adalah Rp17,573 triliun,” katanya.

Jika pemerintah menggunakan skema simplifikasi dengan cara memangkas layer CHT yang tadinya 10 layer menjadi 5 layer saja, potensi pendapatan cukai akan meningkat setidaknya Rp10,120 trlliun.

BACA JUGA: Berbagai Kalangan Soroti Nasib IHT Terkait Kenaikan Cukai 2021

“Hasil simulasi kami jika struktur tarif cukai disederhanakan menjadi 5 layer, pendapatan cukai negara diproyeksikan bertambah menjadi Rp237,79 triliun pada 2023,” katanya.

Ghofar mengatakan, skema simplifikasi lainnya yang bisa menjadi opsi bagi pemerintah adalah penggabungan batasan produksi sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM).

Penggabungan batasan produksi segmen rokok mesin diperkirakan akan menaikkan pendapatan cukai sebesar Rp3,555 triliun.

Wakil Dekan FEB Universitas Brawijaya ini juga mengatakan, kekhawatiran sebagian pihak terkait terkonsentrasinya pasar atau peluang oligopoli juga tidak akan terjadi.

Bahkan, persaingan usaha menjadi lebih adil karena perusahaan besar akan bersaing dengan perusahaan besar.

"Sedangkan perusahaan menengah kecil dan rumahan yang berjumlah ratusan pabrik di golongan 2 SKM akan bersaing dengan sesama mereka, bukan dengan perusahaan asing yang modalnya besar," ujarnya.

Dalam diseminasi tersebut, Ghofar juga menyebutkan celah lain pada kebijakan cukai IHT yaitu masih dimungkinkanya produsen rokok menjual produknya di bawah 85% harga jual eceran (HJE).

“Dari data yang kami punya, sebenarnya potential loss dari diskon rokok cukup besar, potential loss pemerintah itu sekitar Rp3,898 triliun,“ katanya. 

Menanggapi temuan ini, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika berpendapat bahwa simplifikasi struktur tarif cukai bisa menjadi opsi yang ideal dalam kebijakan CHT.

“Simplifikasi bisa menjadi opsi ideal dengan syarat bahwa kebijakan ini dapat mencegah moral hazard, seperti praktik penghindaran cukai itu termasuk moral hazard,” katanya.

Erani juga mengatakan syarat lain untuk menjalankan simplifikasi yakni kebijakan ini harus dapat menciptakan lapangan bermain, di mana perusahaan rokok dapat bersaing sehat dengan perusahaan yang selevel dengannya.

“Terakhir, simplifikasi bisa menjadi pilihan jika kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara,” pungkasnya.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler