jpnn.com - UPAYA mengatasi ketimpangan atau disparitas kawasan barat dan timur seolah menemui jalan buntu. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dari periode ke periode justru tidak mengurangi ketimpangan. Sebab, laju perkembangan di Kawasan barat semakin pesat, semakin Kawasan meskipun mengalami perubahan tetapi hampir mustahil untuk mengejar ketertinggalan yang ada.
Sebagai contoh mutakhir, sesuai data Badan Pusat Statistik, struktur perekonomian Indonesia pada triwulan II-2024 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 57,04 persen, diikuti Pulau Sumatra sebesar 22,08 persen, Pulau Kalimantan sebesar 8,18 persen, Pulau Sulawesi sebesar 7,16 persen, Pulau Bali dan Nusa Tenggara sebesar 2,84 persen, serta Pulau Maluku dan Papua sebesar 2,70 persen.
BACA JUGA: Negara Jangan Hanya Mencintai Sumber Daya Alam Kawasan Timur Indonesia
Kinerja ekonomi melalui PDRB ini berbanding lurus dengan angka kemiskinan yang terjadi di Indonesia, dimana Kelompok Papua dan Maluku, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara merupakan provinsi dengan angka penduduk miskin tertinggi di Indonesia berdasarkan data BPS Tahun 2024.
Dari 17 provinsi di kawasan timur, hanya empat provinsi yang memiliki persentase kemiskinan di bawah 10 persen, yakni Bali (4 persen), Maluku Utara (6,32 persen), Sulawesi Utara (7,25 persen) dan Sulawesi Selatan (8,06 persen).
BACA JUGA: Sejumlah Tokoh Mendesak Ada Kementerian Khusus Kawasan Timur Indonesia
Sebanyak 13 provinsi lainnya berada dalam 15 provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia. Pertanyaan sampai kapan situasi seperti ini?
Gambaran lain, APBN 2024 yang mengalir ke-17 provinsi di kawasan timur berkisar Rp 345,65 triliun dari total transfer ke daerah tahun 2024 sebesar Rp857,6 triliun. Sebagian besar masih tetap menjadi bagian Kawasan barat, terutama Pulau Jawa. Karena APBN untuk Jawa Barat (Rp121,93 triliun), Jawa Timur (Rp 129,3 triliun) dan Jawa Tengah (Rp111,89 triliun) saja sudah menyamai keseluruhan alokasi untuk 17 provinsi di kawasan timur.
BACA JUGA: Engelina: Pengelola Blok Bula dan Non-Bula Harus Diaudit Menyeluruh
Di satu sisi, kekuatan APBD daerah kawasan timur tidak memiliki kemampuan untuk mendongkrak pembangunan karena APBD yang sangat minim. Sebagai gambaran, realisasi APBD Provinisi Tahun 2022 di Sulawesi, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara total berjumlah Rp 75,1 triliun.
Dalam periode yang sama, realisasi APBD DKI Jakarta mencapai Rp 77,9 triliun. Jadi, APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022 jauh lebih besar dari APBD 17 provinsi di kawasan timur.
Di sudut yang berbeda, sumber daya alam dari kawasan timur justru dieksploitasi sedemikian rupa tanpa menyisakan kesejahteraan di kawasan timur. Padahal, kekayaaan alam kawasan timur lebih dari cukup untuk mensejahterakan dirinya sendiri. Tidak perlu bicara sumber migas dan mineral lain yang terkandung di Kawasan timur. Dengan komoditas perikanan saja, sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk membiayai Kawasan timur.
Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 pernah mengungkapkan ada 7000 kapal illegal yang menangkap ikan di perairan Indonesia dan negara mengalami kerugian sekitar Rp 3.000 triliun. Sebagian besar kapal-kapal itu beroperasi di kawasan timur.
Situasi yang dialami Kawasan timur menunjukkan adanya pengkhianatan dalam pengelolaan negara, karena adanya daerah tertentu yang mendominasi semua aspek bernegara, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Situasi ini menjadikan kawasan timur sebagai objek eksploitasi atas kekayaan alamnya.
Belum selesai sumber mineral dan perikanan, kini Papua misalnya sudah mulai diolah sebagai objek dari program pangan. Haruskah seperti ini dalam mengelola negara? Mengapa Kawasan timur seolah menjadi objek dan menjadi korban dalam mewujudkan kesejateraan. Sementara Kawasan ini dibiarkan bergelut dengan kemiskinan dan keterpurukan di atas kekayaan alamnya.
Eksploitasi kawasan timur atas nama negara, bukan saja melecehkan cita-cita luhur bernegara, tetapi juga merupakan pengkhianatan terhadap keadilan sosial bagi kawasan timur. Dominasi satu wilayah terhadap wilayah lain, telah melahirkan praktik ketidakadilan yang sistematis dan massif.
Dengan situasi seperti ini, memberikan kesadaran baru, kalau generasi pendahulu kawasan timur yang menginginkan Negara Indonesia Timur dalam bentuk federal sebagai suatu kecerdasan dalam membaca tanda-tanda yang melampaui zamannya. Kekhawatiran generasi terdahulu secara perlahan menemui kenyataan.
Kawasan timur dengan penduduk yang minoritas akan menjadi korban dari mayoritas, yang bakal menguasai semua struktur bernegara yang pada gilirannya menguasai pengelolaan sumber daya alam.
Hanya saja, stigma negatif yang terlanjur dilekatkan terhadap bentuk negara federal sebagai negara boneka Belanda yang digagas Van Mook seolah menjadi “kartu mati” bagi diskursus negara federal. Benarlah ungkapan lama kebohongan yang selalu diungkapkan akan menjadi kebenaran. Penolakan terhadap bentuk federal merupakan keberhasilan dari kampanye negatif terhadap bentuk negara federal.
Kalau ditelusuri jauh ke belakang, pelopor bentuk federal di Hindia Belanda bukan datang dari kawasan timur. Tetapi, ide itu justru dipelopori Organisasi Budi Otomo yang pada awalnya menekankan nasionalisme Jawa. Para penggagas Budi Otomo menyadari bahaya bagi budaya dan identitas Jawa.
Pada tahun 1917, Komite Nasionalisme Jawa, yang dibentuk R.M.S. Soerio Koesoemo, Satiman dan Abdul Rachman menegaskan, Jawa mencakup seluruh penduduk asli Pulau Jawa, termasuk Sunda dan Madura.
Abdul Rachman yang berasal dari Jawa Barat dalam sebuah brosur pada 1917 mengungkapkan, Budi Oetomo tidak ingin perpecahan, dia hanya ingin menjaga individualitas Jawa. Setiap orang mempunyai budayanya sendiri, yang ingin mereka lestarikan dan tidak dapat kita paksakan pada orang lain, betapapun kita menginginkannya.
Dimana masyarakat Jawa mempunyai kepentingan yang sama dengan suku lain, maka dengan senang hati mereka akan bahu membahu, namun untuk pertahanan dan pengembangan budaya sendiri dan harus mengandalkan kekuatan sendiri karena tidak bisa berharap tetangga akan memberi uluran tangan. Sebab, tetangga juga harus menjaga budayanya sendiri. Hindia bukan hanya satu negara, bukan satu bangsa dengan budaya yang sama.
Perdebatan mengenai federasi dan kesatuan sudah berlangsung lama, jauh sebelum Van Mook dituduh mendirikan negara boneka. Kalau ditelusuri sejak 1916 sampai pada diskusi reformasi tata pemerintahan yang dipelopori Volksraad tahun 1918, wacana federasi dan kesatuan sudah menjadi objek perdebatan. Dimana pihak yang pro kesatuan lebih kepada ketakutan kalau Belanda akan kehilangan kendali di nusantara, jika memilih bentuk federasi.
Dalam brosur Hendrikus Colijn tahun 1918 berjudul “Staatkundige Hervormingen in Nederlandsch Indie”. Colijn merupakan militer, politisi yang bertugas di Hindia Belanda selama 16 tahun. Di kemudian hari, dia menjadi PM Belanda. Dalam tulisannya di tahun 1918, menginginkan pembentukan provinsi-provinsi di berbagai pulau yang disertai dengan badan seperti Volksraad (parlemen). Seiring perjalanan waktu provinsi-provinsi itu akan menjadi negara mandiri yang berada dalam satu negara federasi yang memiliki otoritas pusat.
Dalam sistem negara yang berkembang ke arah federalis, otoritas pusat ini akan mampu mempertahankan pentingnya moral sebagai penengah yang tidak berkepentingan antara konflik kepentingan ekonomi nasional yang semakin kuat antara masing-masing anggota federasi untuk waktu yang lama.
Colijn memandang ada keuntungan bagi Hindia Belanda (Indonesia) dalam bentuk federal, antara lain, dalam konteks federatif perbedaan laju pembangunan di berbagai bidang dapat diperhitungkan dengan cara yang sehat. Selain itu, perkembangan alamiah Volksraad Pusat (parlemen) dalam negara kesatuan tentu berarti bahwa jumlah penduduk terbanyak akan mendominasi penduduk lainnya, yaitu jumlah penduduk yang terbanyak di Pulau Jawa terhadap wilayah di luar Pulau Jawa. Sebab, penduduk Jawa akan menjadi mayoritas di Hindia Belanda (Indonesia).
Sebaliknya, dengan bentuk federatif membuka kemungkinan bahwa pembangunan di masing-masing wilayah dapat berlangsung sepenuhnya secara independen dari pembangunan di wilayah lain.
Diskursus federasi dan unitarian ini telah mewarnai tahun 1916 sampai Indonesia merdeka, sehingga menyederhanakan sebagai gagasan negara boneka Van Mook sebenarnya tertolak dengan sendirinya. Sebab, gagasan ini telah jauh ada sebelum era Van Mook. Pandangan Budi Otomo maupun Colijn muncul ketika Belanda masih kuat menancapkan kaki di Hindia Belanda, sehingga jauh lebih objektif ketimbang gagasan yang muncul setelah Indonesia merdeka.
Meski dapat dipahami kalau gagasan negara kesatuan merupakan kebutuhan sejarah untuk menyatukan Indonesia. Tetapi, perkembangan mutakhir ketika federasi menjadi kebutuhan untuk membuka kesempatan dalam pencapaian kesejahteraan, tentu sangat bijak untuk menimbang bentuk federal. Sebab, hasil berbeda hanya dapat dicapai dengan cara berbeda!
Kalau dibandingkan dengan situasi saat ini, kekhawatiran Colijn pada tahun 1918 itu menjadi kenyataan, karena Jawa bukan hanya menguasai aspek politik pemerintahan, yang dengan sendirinya akan mengontrol distribusi kekayaan sumber daya alam. Ketika aspek politik telah dikuasai secara mutlak, maka dengan sendirinya akan mendominasi semua aspek strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai bukti tidak perlu jauh-jauh. Lihatlah struktur kabinet dari masa ke masa, termasuk masa Presiden Prabowo. Secara sarkatis, penulis menerima pesan kalau kucing lebih diterima istana ketimbang orang dari timur. Tentu ini ungkapan sarkastis betapa dominasi wilayah lain begitu kebablasan dalam mengelola negara ini. Minta maaf! Biarkan kawasan timur ini dibangun orang timur sendiri, sehingga maju dan mundurnya kawasan ini menjadi tanggung jawab sendiri. Sebab, tidak elok orang kawasan timur meminta atau mengemis dalam negara yang juga didirikan para pendahulu dari kawasan timur.
Kawasan timur tidak boleh menjadi sandungan atau kerikil yang menghambat pencapaian Indonesia Emas 2045. Dengan kondisi saat ini, hampir mustahil kawasan timur ikut dalam merayakan Indonesia Emas 2045.
Dengan postur kabinet baru ini, orang yang sangat optimis sekalipun tidak akan mudah percaya kalau gagasan besar Indonesiasentris diwujudkan oleh kabinet berwatak Jawasentris. Dalam skala keluarga sekalipun tidak mungkin satu keluarga akan membangun keluarga lain. Apalagi dalam konteks bernegara. Partisipasi dan akses dalam mengelola negara merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kebersamaan sebagai sebuah negara.
Orang kawasan timur tidak boleh dilatih untuk bersikap take for granted, untuk sekadar menikmati hasil kerja keras para figur-figur dari kawasan lain atas nama nasionalisme. Disepakati atau tidak, watak dasar nasionalis sesungguhnya adalah sikap egois dalam skala yang berbeda. Misalnya, dalam skala negara akan egois untuk negaranya sendiri. Tetapi, secara mendasar nasionalis menuntut sikap dasar yang egois dalam skala kecil maupun besar.
Sebab, sangat ironis, pemerintah terus-menerus mengembangkan program transmigrasi, yang juga bisa diartikan pemerintah secara sistematis mengirim penduduk untuk menguasai wilayah lain. Praktik negara yang benar, idealnya membangun SDM di setiap daerah, sehingga mampu membangun daerah sesuai dengan potensinya.
Kalau penggagas Budi Otomo sejak awal sudah menyadari tidak ada yang akan mengulurkan tangan untuk Jawa, maka posisi yang sama, harus menyadarkan kawasan timur unuk tidak pernah pernah percaya aka nada pihak lain yang mengulurkan tangan untuk membantu. Orang timur harus membangun sendiri dirinya. Untuk bisa membangun dirinya tidak ada cara kecuali mengambil kembali kewenangan untuk mengurus diri sendiri dalam bentuk negara federal. Jangan khawatir kita tidak berpisah, tetapi izinkan kawasan timur membangun dirinya.
Hampir 79 tahun, kawasan timur dikelola dari Jakarta, tetapi hasil yang dituai hanya kemiskinan dan ketertinggalan di atas kekayaan alamnya. Siapapun pihak yang menolak gagasan federal bagi kawasan timur seolah menolak kesejahteraan bagi kawasan timur. Waktu 79 tahun sudah lebih dari cukup untuk membuktikan adanya niat baik sebagai sesama anak bangsa. Tetapi, itu semua hanya impian belaka dalam slogan NKRI harga mati. Secara sederhana, kesatuan atau federal harus bisa memastikan tercapainya cita-cita luhur para pendiri bangsa. Federasi tidak berarti disintegrasi, tetapi merupakan metode lain dalam mengelola negara ini. Sadar dan bangkitlah sebelum menjadi korban eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah.
Dalam kesempatan ini, izinkan untuk mengutip pandangan dr. Ben Mboi, seorang pejuang, Brigadir Jenderal, Mantan Gubernur NTT, yang tentu tidak diragukan kecintaannya terhadap bangsa ini. Sikap Ben Mboi mengenai gagasan federal ini bisa disimak dalam buku memoarnya. Secara khusus Mendagri Soepardjo Rustam menitipkan pesan kepada Ben Mboi untuk meneliti alasan mendasar gagasan federal pada masa awal kemerdekaan. Hasil penelusuran Ben Mboi di Belanda, ternyata gagasan federal muncul dimunculkan Ritsema van Eck yang pada tahun 1918 juga menjadi anggota Volksraad bersama dengan sejumlah orang pribumi.
Ben Mboi mengungkapkan argumentasi federalisme pada awal masa kemerdekaan. Begitu juga setidaknya ada lima argumentasi federalisme pada abad 21. Pertama, manajemen unitaristik, sentralistik, uniformistik telah gagal mendistribusikan kesejahteraan dan keadilan.
Kedua, heterogenitas abad 21 dan berbagai variabel lain telah memicu konflik berlatar belakang diversitas dan partikularis local baru.
Ketiga, sumber daya dalam segala bentuk tersebar cukup merata, semangat dan kesadaran persatuan cukup kuat.
Keempat, tingkat ketergantungan antar daerah yang tinggi, sehingga naluri separatisme akan menyurut dengan syarat manajemen yang merata dan manusiawi.
Kelima, Otonomi khusus atau federalisme adalah opsi sebagai format yang cocok sebagai obat bagi penyakit konflik horizontal dan vertikal.
Hanya saja, hasil temuan Ben Mboi ini tidak sempat didiskusikan dengan Soepardjo Rustam karena telebih dahulu berpulang. Keingintahuan Soepardjo terhadap ide federal ini harus dipandang sebagai upaya mencari jalan keluar dari berbagai soal kebangsaan. Sebab, tingkat heterogenitas Bangsa Indonesia yang sangat tinggi akan memakan korban dan pada gilirannya memicu ketidakpuasan.
Pandangan-pandangan ini telah jauh dipikirkan para pemikir dan pelaku pada masa kolonial. Suka tidak suka, kekhawatiran itu perlahan menemui kenyataan, karena ketidakpuasan daerah, terutama di luar Pulau Jawa akan menjadi api dalam sekam.
Indonesia akan tetap bertahan sebagai negara kesatuan, jika pengelola negara mampu memberikan kesejahteraan dan kenyamanan yang sama bagi semua anak bangsa. Tetapi, gejala dominasi satu wilayah terhadap wilayah lain, secara alamiah akan melahirkan perlawanan frontal atau perlawanan merangkak.
Sebagai penutup, pandangan ini hanya sekadar hasil perenungan yang panjang. Sebab, sebagi pelaku yang pernah berada dalam sistem kekuasaan sangat memahami adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya negara yang pada gilirannya berdampak pada ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan.
Sayangnya, praktik ketidakadilan ini dikemas dalam regulasi formalistik yang nyata-nyata merugikan daerah lain, baik karena karakter wilayah maupun karena sebab lain. Misalnya, wilayah kepulauan tapi diseragamkan dengan pendekatan kontinental. Belum lagi pergeseran pola makan akibat kebijakan seragam mengenai beras sebagai makanan pokok. Hal ini, memicu persoalan baru terhadap kekhawatiran akan kekurangan beras, sehingga membutuhkan pembukaan lahan persawahan yang pada gilirannya memicu persoalan ketidakpuasan baru.
Negara yang heterogenitas dikelola dengan cara yang seragam, meski ada upaya untuk menerapkan desentralisasi tetapi juga hanya pada tataran kebijakan pokok, karena secara teknis justru terjadi resentralisasi melalui beragam regulasi yang berada di bawah undang-undang. Semoga! (sam/jpnn)
Penulis: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, pernah menjadi anggota MPR RI/DPR RI periode 1992-1997 dan periode 1999-2004. Juga pendiri Archipelago Solidarity Foundation
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu