Negara-Negara ASEAN Diimbau Bersatu untuk Hadapi Aksi Agresif China

Jumat, 26 Juli 2024 – 07:46 WIB
Diskusi berjudul “China and Maritime Security in the South China Sea: Indonesian and Philippine Perspectives,” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (25/7). Foto: FSI

jpnn.com, JAKARTA - Negara-negara ASEAN diimbau bersatu dalam menghadapi aksi agresif Tiongkok di Laut China Selatan (LCS).

Sikap berdiam diri justru memperkuat kecenderuangan China melakukan aksi bullying terhadap negara-negara yang memiliki ketumpangtindihan wilayah dengan mereka.

BACA JUGA: Kapal Filipina dan China Bertabrakan di LCS, Amerika Ikut Campur

Hal tersebut diungkap dalam diskusi berjudul “China and Maritime Security in the South China Sea: Indonesian and Philippine Perspectives,” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (25/7).

Ketua FSI Johanes Herlijanto menilai strategi yang diterapkan Filipina dalam menghadapi aksi agresif China patut untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi negara-negara lain yang menghadapi pengalaman serupa.

BACA JUGA: FSI Imbau Anggota ASEAN Bersatu dan Tegas Hadapi Provokasi China di LCS

Sikap agresif itu terlihat dari penerapan taktik yang dikenal sebagai taktik ‘zona abu-abu’ (grey zone) terhadap negara-negara yang memiliki kedaulatan maupun hak berdaulat di perairan yang oleh China diakui sebagai miliknya.

“Padahal, pengakuan kepemilikan RRC yang hanya berdasarkan klaim sejarah itu bertentangan dengan hukum laut internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang telah diratifikasi oleh China sendiri,” tutur Johanes.

BACA JUGA: Unjuk Rasa di Depan Kedubes Vietnam, Massa Perami Tolak Aktivitas Agresif di ZEE RI dan LCS

Alih-alih mematuhi UNCLOS, RRC malah berupaya meralisasikan pengakuan kepemilikannya itu dengan menjalankan taktik grey zone yang melibatkan tiga komponen di bawah kendali Komite Militer Pusat (CMC) pimpinan Presiden Xi Jinping, yaitu milisi maritim yang beroperasi sebagai nelayan-nelayan sipil, Penjaga Pantai (Coast Guard), dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat.

Menurut Johanes, pengakuan sepihak China yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus itu sebenarnya telah disanggah oleh putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang diajukan Filipina pada 2016.

Namun, China bukan hanya bersikeras bahwa sebagian besar wilayah LCS adalah miliknya, tetapi juga melanjutkan taktik greyzone. Filipina menjadi salah satu sasaran, khususnya dalam dua atau tiga tahun terakhir ini.

Sementara itu, Direktur Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Pertama Eka Satari menekankan pentingnya kerja sama antara aparat penegak hukum dari pelbagai negara.

Menurut Laksma Satari, tak ada satu pun negara yang dapat menangani isu maritim sendirian. Oleh karenanya, dia berpandangan bahwa kerja sama antarnegara sangatlah diperlukan.

Laksma Satari merujuk pada Forum Penjaga Pantai ASEAN (ASEAN Coast  Guard Forum) yang dibentuk sejak 2002, sebagai contoh dari kerja sama antara negara-negara di kawasan. Forum itu bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dalam membangun kapasitas, patroli maritime, dan operasi antara instansi penjaga pantai negara-negara ASEAN.

Pentingnya kerja sama antara instansi penegak hukum dan keamanan negara-negara ASEAN juga ditekankan oleh Pakar hubungan internasional Mohammad Riza Widyarsa. Dia menilai kerja sama itu akan dapat meredam prilaku agresif China di LCS.

Menurutnya, kerja sama semacam itu sebenarnya telah terbentuk dalam sekitar sepuluh tahun terakhir. Selain ASEAN Coast Guard Forum, pada 2013 dibentuk ‘Inisiatif Hukum Laut Asia Tenggara’ yang merupakan insiatif instansi penegakan hukum laut Amerika Serikat (AS), Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Menurut Widyarsa, kerja sama antar negara-negara di dalam ASEAN sendiri sangat penting dalam menghadapi China dan prilakuk agresifnya, karena mengandalkan kekuatan luar (seperti AS) saja tidaklah cukup.

"Kerja sama antara negara-negara di kawasan sangat penting dan efektif, khususnya ketika sedang dibutuhkan respons yang cepat," katanya. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler