jpnn.com - jpnn.com - Indonesia belum merasakan dampak kebijakan proteksionisme Amerika Serikat (AS) yang dijalankan Presiden Donald J. Trump.
Sepanjang Januari lalu, Indonesia masih mencatat surplus perdagangan nonmigas USD 804 juta dengan Negeri Paman Sam, julukan AS.
BACA JUGA: Harga Rumah Makin Menggila, Gerindra Salahkan Jokowi
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menuturkan, kenaikan harga komoditas jauh lebih berpengaruh terhadap kinerja perdagangan internasional Indonesia.
’’Komoditas kita ini sedang recovery. Jadi, jangan khawatir dengan kebijakan Trump,’’ paparnya.
BACA JUGA: Asyikk, Terminal Pelabuhan ini Siap Digunakan
Sasmito mengungkapkan, ada beberapa komoditas yang cukup potensial untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia tahun ini.
Di antaranya, crude palm oil (CPO) dan turunannya.
BACA JUGA: Kendalikan Bahan Pangan untuk Tekan Inflasi
Menurut dia, produk kelapa sawit masih mungkin dikembangkan untuk produk turunan seperti kosmetik.
Upaya itu bakal meningkatkan nilai tambah produk CPO tersebut.
Komoditas lain yang juga potensial adalah karet dan produk turunannya.
Dia mencontohkan produksi ban yang bisa terdongkrak pertumbuhan jumlah kendaraan.
Selain dua komoditas tersebut, batu bara cukup potensial.
’’Tapi, batu bara kan tidak bisa diapa-apakan, jadi digali, lalu langsung dikirim,’’ ungkapnya.
Berdasar data BPS, neraca perdagangan Januari 2017 mencatat surplus cukup besar, yakni USD 1,40 miliar.
Surplus tersebut merupakan yang terbanyak sejak tiga tahun terakhir.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, secara full year, tahun lalu ekspor Indonesia ke Tiongkok masih mengalami kenaikan sekitar 14 persen (year-on-year).
Namun, ekspor nonmigas Indonesia ke Tiongkok pada Januari ini menurun sekitar USD 329 juta atau drop 17,52 persen kalau dibandingkan dengan Desember 2016.
Menurut Josua, dampak kebijakan proteksionisme Trump belum terlihat pada neraca perdagangan RI Januari ini.
Namun, kata Josua, dampak kebijakan perdagangan AS yang menyasar Meksiko dan Tiongkok itu diprediksi terasa pada pertengahan tahun.
’’Baru terefleksikan 2–4 bulan mendatang setelah ada keputusan resmi pemerintah AS terkait dengan kenaikan bea impor dari Tiongkok,’’ jelasnya. (ken/c14/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... UGM Rekomendasikan Salah Satu Dosennya Jadi Pengawas BI
Redaktur & Reporter : Ragil