jpnn.com - Traveling ke gunung atau pantai sudah menjadi amat biasa. Tapi ke Kutub Utara? Tentu luar biasa. Bagi Nesha Kannama Ichida, 20, dan Kevin Hedrawan, 23, menjelajah ke Kutub Utara adalah impian yang sebentar lagi akan terwujud. Melalui program Youth4Arctic, mereka akan melakukan ekspedisi ke daratan es itu pada 16 Agustus–11 September 2015.
Laporan Andra Nur Oktaviani, Jakarta
BACA JUGA: Meski Diburu Petugas, Keuntungan Mencapai 200 Persen
SEJATINYA Kutub Utara bukanlah satu tujuan traveling favorit. Kondisinya yang dingin dan hanya berupa samudra berlapis es sama sekali tidak bisa dinikmati. Tidak seperti pantai hangat yang menawarkan suasana romantis atau gunung yang menawarkan ketenangan.
Atau mungkin pemandangan bawah laut yang penuh warna-warni biota laut. Jika dibandingkan, Kutub Utara tentu kalah jauh dan tidak menarik sama sekali untuk dikunjungi.
BACA JUGA: Rizman Putra, Astronot Pertama Asal Indonesia akan Segera Take Off, Ini Persiapannya
Tapi, bagi Kevin dan Nesha, Kutub Utara adalah salah satu tujuan traveling impian mereka. Entah apa yang ada dalam benak dua remaja itu. Mereka tidak peduli dengan kondisi Kutub Utara tersebut.
Yang jelas, keduanya penasaran dengan apa yang ada di sana. Mereka pun ingin melihat langsung. Meski tidak mendapatkan keromantisan ala pantai, ketenangan ala gunung, atau keindahan bawah laut, Kutub Utara tetap saja menggoda bagi Nesha dan Kevin.
BACA JUGA: Kompetisi Terhenti, Pemain Berbisnis Kuliner, Ada yang Jual Beli Batu Akik
”Selama ini kan kita hanya tahu kata orang. Aku ingin membuktikan sendiri kata orang itu. Caranya dengan datang langsung ke sana,” tutur Nesha kepada Jawa Pos saat ditemui di kantor Standard Pen, Cideng, Jakarta Barat, Rabu (24/6).
Gadis yang tercatat sebagai mahasiswi Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka di Inggris itu menambahkan, para explorer –termasuk dirinya– memang mendambakan bisa menjejakkan kaki di Kutub Utara.
Kevin, yang kendati tidak punya hobi yang berhubungan langsung dengan lingkungan hidup, juga punya rasa penasaran cukup besar akan Kutub Utara. Apalagi, dia tahu bahwa program Youth4Arctic tidak hanya memberi dirinya kesempatan untuk jalan-jalan gratis ke Kutub Utara. Tapi, juga memberikan kesempatan untuk membuat perubahan.
”Jalan-jalan yang enggak biasa. Jalan-jalan yang ada value lebihnya. Value-nya itu adalah menyelamatkan dunia. Kita tahu sendiri jika Kutub Utara mencair, dampaknya akan menyeluruh,” kata pemuda yang punya hobi olahraga itu.
Kabar mereka terpilih sebagai wakil Indonesia untuk ekspedisi ke Kutub Utara menyebar dengan cepat. Teman-teman dan keluarga mereka pun langsung melontarkan komentar. Orang tua Nesha termasuk yang berkomentar positif. Mereka bangga karena anaknya bisa menjadi salah seorang ”duta” lingkungan.
Mereka mendukung 100 persen kegiatan positif yang berkaitan dengan lingkungan yang dilakukan Nesha. Apalagi, ekspedisi bukanlah hal baru bagi gadis yang punya hobi diving, traveling, fotografi, dan modeling itu.
Menurut Nesha, orang tuanya termasuk orang yang menaruh concern pada lingkungan hidup. Nesha pernah beberapa kali melakukan ekspedisi bersama mereka. Baik di dalam maupun luar negeri.
Sebetulnya orang tua Nesha-lah yang mengenalkan anak bungsu mereka itu pada kegiatan semacam yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Tidak heran, mereka mendukung kegiatan tersebut.
Teman-teman Nesha pun cukup mendukung meski banyak juga yang terkejut. ”Mereka kaget saja sih. Terus malah pada minta oleh-oleh es dari sana. Dari sana bawa es, sampai sini sudah jadi air,” tutur Nesha, lalu tertawa. Orang tua Kevin pun tidak kalah suportif. Ayah dan ibu bangga dengan anak mereka itu.
Bukan tanpa perjuangan Kevin dan Nesha akhirnya bisa mewakili Indonesia untuk berangkat ke Kutub Utara. Mereka harus mengalahkan banyak kandidat yang punya segudang prestasi. Ada 20 kandidat –termasuk mereka yang dipilih– setelah melewati seleksi awal yang diikuti ratusan peserta.
Mereka harus melalui beragam tes terlebih dahulu. Mulai tes psikologi hingga presentasi mengenai climate change yang menjadi topik utama program tersebut.
”Pada seleksi awal kan kami harus membuat esai soal climate change. Masuk 20 besar, kami harus presentasi soal climate change di hadapan para panelis,” kata gadis kelahiran Jakarta, 7 November 1994, itu.
Berhadapan dengan pakar psikologi Universitas Indonesia Dieny Tjokro, pakar lingkungan Universitas Indonesia Mohammad Hasroel Thayib, CEO Nutrifood Mardi Wu, pakar geografi dan lingkungan Universitas Indonesia Mari E. Mulyani, dan psikolog Linawaty Moestopoh bukanlah hal yang mudah. Lima panelis itu merupakan ahli di bidang masing-masing. Mereka tidak akan membiarkan para kandidat melenggang begitu saja tanpa kemampuan yang memadai.
Di antara 20 kandidat, terpilihlah 7 yang dinilai paling baik. Tujuh kandidat itu harus melalui tes lainnya untuk bisa jadi pemenang. Kali ini tesnya agak berbeda.
Jika tes sebelumnya berhadapan langsung dengan panelis, mereka kali ini harus melalukannya lewat video call dengan Managing Director Unboxed Media Australia Liz Courtney sebagai pihak penyelenggara program Youth4Arctic. Kendati tidak langsung berhadapan dengan interviewer, rasa tegang tetap melanda Nesha, Kevin, dan lima kandidat lainnya. Namun, keduanya tetap yakin.
Tidak lama, nama Nesha dan Kevin pun muncul sebagai pemenang program tersebut. Mendapati diri mereka menang, Nesha dan Kevin mengaku terkejut.
Menurut mereka, saingan yang ikut berkompetisi bersama mereka bukanlah saingan yang yang mudah dikalahkan. Mereka punya misi yang hebat untuk menyelamatkan bumi. Mereka juga punya visi yang jelas. Karena itu, keduanya merasa beruntung bisa terpilih dari semua kandidat yang ada.
Rasa bangga pun menyeruak begitu mereka diumumkan sebagai pemenang. Bukan karena mereka keluar sebagai pemenang dan menyingkirkan kandidat lain. Tapi, karena mereka akan mewakili Indonesia untuk melakukan ekspedisi yang jelas tidak mudah ke Kutub Utara. Mereka akan menjadi dua pemuda Indonesia dalam rombongan Youth4Arctic nanti bersama pemuda dari negara lain.
”Rencananya dari tujuh negara akan dipilih 10–12 pemuda untuk berangkat ke Kutub Utara. Negara-negaranya adalah Filipina, Tiongkok, India, Singapura, Jerman, Australia, dan tentunya Indonesia,” jelas Nesha.
Kebanggaan juga makin menjadi saat tahu nanti mereka bergabung dengan para peneliti dan ilmuwan dari NASA yang selama ini melakukan penelitian di Kutub Utara. Bagaimana tidak, jika biasanya program ekspedisi ke Kutub Utara hanya bisa dilakukan para senior yang memiliki keahlian tertentu, kini mereka bisa merasakannya sendiri. Bedanya, hasil penelitian para ahli akan berupa jurnal dan sejenisnya. Hasil penelitian para pemuda itu akan berupa laporan langsung lewat media sosial.
Selain bangga, mereka diliputi rasa deg-degan yang makin menjadi. Setelah terpilih jadi pemenang, yang terlintas dalam benak Nesha dan Kevin adalah bagaimana bisa bertahan di Kutub Utara yang kondisinya tidak bisa mereka bayangkan.
”Medannya itu sama sekali tidak kami ketahui. Tapi, justru itulah yang menjadi tantangannya. Kami harus melakukan persiapan yang betul-betul matang,” ujar Kevin yang lahir di Purwokerto pada 21 Juni 1992 itu.
Sebelum berangkat ke Kutub Utara pada 16 Agustus mendatang, Nesha dan Kevin dipertemukan dengan pemuda lainnya di Jerman. Di sana mereka juga akan menjalani pre training untuk mematangkan persiapan ekspedisi ke belahan bumi paling utara itu.
Selain pembekalan secara teori, fisik mereka pun terus digenjot. Kevin mengatakan, para peserta ekspedisi nanti masuk freezing room yang suhunya disesuaikan dengan kondisi Kutub Utara untuk membiasakan tubuh dengan kondisi di Kutub Utara.
Sebenarnya Nesha dan Kevin sudah pernah merasakan suhu yang lebih dingin daripada suhu Kutub Utara sekarang di -10 derajat Celsius. Nesha pernah merasakan dinginnya suhu -18 derajat Celsius di Beijing. Sedangkan Kevin pernah hampir membeku di Korea dengan suhu -17 derajat Celsius. Namun, kondisinya berbeda. Mereka merasakan suhu sedingin itu di kota besar. Jika merasa sudah terlalu dingin, mereka tinggal masuk toko atau restoran yang dilengkapi penghangat ruangan.
”Nah, kalau di sana kan tidak seperti itu. Tidak ada toko atau restoran yang bisa dimasuki. Belum lagi, suhu itu bisa lebih rendah lagi saat malam tiba,” tutur Kevin yang terlihat meringis membayangkan dinginnya Kutub Utara.
Setelah berkumpul di Jerman, mereka beranjak ke Norwegia. Pulau-pulau di bagian utara Norwegian menjadi tujuan mereka. Di sana mereka akan mulai melakukan ekspedisi dan mengabadikan gambar-gambar untuk langsung disebar melalui media sosial. ”Selama program, kami akan difasilitasi sambungan internet untuk bisa melakukan live report melalui foto dan video,” tutur Nesha.
Live report memang menjadi salah satu tanggung jawab mereka terhadap program Youth4Arctic. Secara periodik, mereka harus melakukan laporan langsung. Mereka memang harus langsung menyebarkan apa yang mereka lihat di Kutub Utara agar efeknya kepada para pemuda di negara masih-masih bisa langsung terasa.
”Karena itu, segala macam peralatan elektronik dan gadget menjadi barang yang wajib dibawa selama melakukan ekspedisi. Karena itu yang akan jadi modal kami di sana,” ucap Nesha, lalu tertawa.
Setelah menjelajahi pulau-pulau yang berlokasi di kawasan Samudra Arktik itu, mereka menyeberang ke Greenland. Dari Greenland, mereka mulai menjelajah ke utara Samudra Arktik untuk melanjutkan ekspedisi dengan menggunakan kapal. Kapal yang digunakan pun bukan kapal sembarangan. Samudra yang tertutupi es itu harus dilalui dengan kapal pemecah es.
Kevin mengatakan, perjalanan dengan kapal tersebut dilakukan untuk melihat pola migrasi paus bongkok. Mereka juga akan melihat secara langsung habitat dan kehidupan beruang kutub yang selam ini hanya bisa dilihat di layar kaca atau internet. Nanti para peserta juga menjalani sesi untuk bertemu dengan penduduk lokal. Mereka akan mempelajari kehidupan penduduk lokal. Terutama kehidupan para pemudanya.
Setelah kembali ke negara masing-masing, ekspedisi yang mereka lakukan tidak lantas berakhir. Ekspedisi itu akan terus berlanjut dalam bentuk lainnya. Mereka akan terus mengampanyekan climate change dan dampaknya pada bumi. Dimulai dari diri sendiri, kemudian ke lingkungan yang lebih luas. Mulai dari hal kecil, lalu ke hal yang lebih besar.
”Misalnya, konsisten untuk tidak buang sampah sembarangan dan mengingatkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Begitu juga soal listrik yang harus selalu dimatikan jika tidak digunakan. Dari yang sederhana dulu,” tambah Nesha. (*/c10/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harmoko Ramah, Akbar Politikus Sejati, Agung Pernah Marah-marah, Marzuki Agamis
Redaktur : Tim Redaksi