Nih Yang Mau Tahu Riuh Rendah Sejarah Hari Pers

Rabu, 08 Februari 2017 – 19:28 WIB
Ilustrasi. Foto: The Huffington Post

jpnn.com - ADA apa dengan sejarah Hari Pers Nasional?

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Novanto: Pers Harus Terlibat dalam Pembangunan Nasional

Pukul 07.00 WIB pesawat yang membawa Presiden Soeharto beserta rombongan lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta menuju Padang, Sumatera Barat.

Hari itu, Senin, 4 Desember 1978. Presiden ke Padang untuk menghadiri dan membuka kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-16 yang berlangsung hingga 7 Desember 1978.

BACA JUGA: Kemenpar Gelar Talk Show Jalur Rempah di HPN 2017

Bagi PWI, boleh dibilang ini kongres yang cukup bersejarah. Sebab, saat itulah tercetus gagasan menjadikan hari lahir PWI, 9 Februari 1946 sebagai Hari Pers Nasional.  

Tak seketika diterima. Soeharto sebagai "orang nomor satu" di negeri ini, belum ambil pusing. Sementara waktu, gagasan itu diabaikan.

BACA JUGA: Pram…Datuk Punk!

Masa itu Ketua PWI dijabat Harmoko. Sekadar catatan, Harmoko memangku posisi itu dua periode, yakni hingga 1983. 

Angin bepihak ketika Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan III setelah pemilihan umum akhir 1982.

Sebagaimana ditulis Daniel Dhakidae dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Harmoko diangkat menjadi Menteri Penerangan baru menggantikan Ali Moertopo setahun kemudian.

Dalam posisi barunya, Harmoko tak lupa gagasan yang pernah dicetuskan PWI saat kongres di Padang.

Mula-mula, melalui Peraturan Menteri Penerangan No. 2/1984, PWI ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang boleh hidup di Indonesia.  

Sejurus kemudian, barulah apa yang dicita-citakan Harmoko berhasil.

Pada 1985, Soeharto menerbitkan Surat Keputusan Presiden No.5/1985 yang isinya 9 Februari, ulang tahun PWI resmi dirayakan tiap tahun sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Yang perlu dicatat, ide ini bermula pada 7 Desember 1978, pada puncak perhelatan kongres PWI di Padang.

Pada tanggal yang sama 29 tahun kemudian. 7 Desember 2007. Sekelompok jurnalis dan penulis muda mendeklarasikan Hari Pers Indonesia di gedung Indonesia Menggugat, Bandung.

"Saya tidak semata-mata menyatakan hari ini sebagai Hari Pers Nasional," kata Taufik Rahzen, salah satu deklarator, "tapi sebagai Hari Pers Indonesia," tandasnya saat itu.

Berikut cuplikan siaran pers yang diterbitkan deklarator pada hari itu…

Hari ini, 7 Desember 2007, tradisi pers Indonesia menapaktilasi perjuangan Tirto Adhi Soerjo selama seabad dan menarik kehadiran Medan Prijaji sebagai patok dimulainya sejarah pers kebangsaan. 

Dan sekaligus hari ini ditandai sebagai tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat... 

Siapa Tirto Adhi Soerjo?

Sabtu, 7 Desember 1918. Sebuah iring-iringan kecil, bahkan, "sangat kecil," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pemula, "mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir di Manggadua, Jakarta."

Tanpa pidato-pidato sambutan, orang-orang lantas berlalu setelah mengubur Tirto Adhi Soerjo. 

Demi mendengar kepulangan Tirto, Mas Marco Kartodikromo terperanjat. 

Jurnalis legendaris pendiri Inlandsch Journalisten Bond (IJB)--organ pelopor organisasi pers di Jawa--itu lantas menulis nekrologi, dimuat halaman I koran Djawi Hiswara, edisi 13 Desember 1918.    

Pembaca jang terhormat jang baroe berkenalan dengan soerat kabar dalam 4-5 tahoen sadja, boleh djadi beloem tahoe terang keadaan beliau, siapakah Raden Mas Tirto ini?

Demikian Marco membuka tulisannya. Lalu…

Boleh bilang toean T.A.S. indoek Journalist Boemipoetra di ini tanah Djawa, tadjam sekali beliau poenya penna.

T.A.S. adalah inisial Tirto di koran. Inisial yang cukup terkenal pada masanya. 

Menelaah kalimat pembuka nekrologi Marco, mudah disimpulkan bahwa ketika berpulang, T.A.S. sudah terlupakan.

Dan memang begitu.

"…sebuah kuburan di Manggadua, Batavia, yang sedikit pun tak berbeda dari kuburan-kuburan lain di sekitarnya, adalah tempat istirahat terakhir pekerja dan jurnalis ini…harian-harian pribumi tiada menyinggung lagi tentangnya," tulis J. Erkelens dalam Krant in Indonesie.

Revisi HPN

Tanggal 7 Desember kembali mengemuka pada 2010. Setelah PWI, Taufik Rahzen cs, kini giliran Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Kamis, 22 Juli 2010 AJI menyelenggarakan workshop di Newseum Cafe, Jl. Veteran Jakarta Pusat. Pesertanya para sejarawan.

Antara lain, Asvi Warman Adam (peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI), Suryadi (kandidat doktor, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie, Universiteit Leiden, Belanda) dan Taufik Rahzen (penulis buku Seratus Tahun Jejak Pers Indonesia).

Dalam workshop itu, diundang pula Atmamakusumah Astraatmadja (tokoh Dewan Pers dan pendiri Lembaga Pers Dr Soetomo) dan Ignatius Haryanto (pendiri LembagaStudi Pers dan Pembangunan).

AJI juga mewawancarai Dr. Taufik Abdullah (sejarawan senior LIPI) dan sejarawan Anhar Gonggong.

Dari serangkaian kajian itu, AJI menyimpulkan bahwa Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati tiap 9 Februari--berlandaskan ulang tahun PWI--tidak punya pijakan sejarah yang kuat.

Mengingat, jauh sebelum PWI sudah ada organisasi pers di negeri yang hari ini bernama Indonesia.

"Yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri tahun 1914 di Surakarta," ungkap Nezar Patria, Ketua Umum AJI dalam rilis bertajuk Revisi Hari Pers Nasional, yang diterbitkan 6 Agustus 2010.

"Ada juga Sarekat Journalists Asia yang lahir tahun 1925, Perkumpulan Kaoem Journalists pada 1931 dan Persatoean Djurnalis Indonesia yang dideklarasikan tahun 1940," sambung Nezar.

Sesuai tajuk rilisnya, AJI mengusulkan:

Bertolak pada kelahiran surat kabar pribumi terawal yang berbahasa Melayu dan beraksara Latin.

Surat kabar ini dimiliki dan dieditori oleh intelektual pribumi yang peduli terhadap pencerdasan kaum sebangsanya dan paling banyak menerbitkan surat kabar-surat kabar pribumi.

Ada tokoh pribumi asal Sumatra yang menurut AJI memenuhi kriteria ini: Dja Endar Moeda (1861-19??) dan Mahjoeddin Datoek Soetan Maharadja (1858-1921).

"Dua tokoh ini adalah intelektual pribumi awal yang mendirikan percetakan sendiri untuk menerbitkan surat kabar- surat kabar mereka dan buku-buku untuk murid-murid pribumi," papar Nezar.

Kemudian, merujuk sosok Tirto Adhi Soerjo (1878-1918) yang memilih dunia jurnalistik sebagai jalan hidup.

Tirto telah ditetapkan oleh Menteri Penerangan/Ketua Dean Pers Mashuri sebagai "Perintis Pers Indonesia" melalui surat No. 69/XI/1973, tertanggal 31 Maret 1973.

Ia juga telah dianugerai gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 silam.

Semasa hidupnya, Tirto aktif menggarap beberapa media massa. Di antaranya: Warna Sari (terbit 1901), Pembrita Betawi (terbit 1901), Soenda Berita (terbit 1903), Medan Prijaji (terbit 1907), Soeloeh Keadilan (terbit 1907), dan Pantjaran Warta (terbit 1909).

Tirto gigih membela kaum tertindas yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Tirto adalah jurnalis inklusif yang terus memperjuangkan keadilan.

"Sebagai pengormatan terhadap karya dan perjuangannya, maka hari meninggalnya Tirto pada 7 Desember 1918, AJI Indonesia usulkan sebagai pilihan penting untuk tonggak peringatan Hari Pers Nasional atau Hari Jurnalistik Indonesia," tandas Nezar Patria yang kini jadi anggota Dewan Pers.

Usul ini laksana memulangkan ingatan pada deklarasi Taufik Rahzen cs, 7 Desember 2007 di Bandung.

Apa lacur, usul tinggal usul. Hari ini, 9 Februari 2017 Hari Pers Nasional (HPN) dihelat di Ambon.

Dalam rangkaian perhelatan HPN 2017 diselenggarakan talkshow bertajuk Optimalisasi Target Pasar Wisata Jalur Rempah di Lapangan Merdeka Ambon. Merujuk pemberitaan sejumlah media massa, Taufik Rahzen dijadwalkan sebagai pembicara. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Maluku Sambut Positif Launching GenPI Kemenpar


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler