Nilai Budaya Simalungun Dalam Perjuangan Tuan Rondahaim

Oleh: Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha - Pendeta GKPS dan Budayawan Simalungun

Jumat, 26 Juli 2024 – 08:28 WIB
Pendeta GKPS dan Budayawan Simalungun, Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Etnis Simalungun seperti etnis suku lainnya memiliki nilai budaya lokal (local wisdom) yang berlaku dalam kehidupan tradisional orang Simalungun sejak suku Simalungun ada.

Nilai-nilai budaya orang Simalungun digambarkan dalam falsafah hidup, kesenian, dan adat istiadatnya.

BACA JUGA: Nilai-nilai Nasionalisme Tuan Rondahaim

Nilai budaya Simalungun berbeda, misalnya, dengan suku Toba yang menekankan 3-H (hagabeon, hamoraon, hasangapon), menitikberatkan pada materialistis dan prestise.

Sementara nilai budaya Simalungun memperjuangkan habonaron (kebenaran dan keadilan), sebagai landasan dan cita-cita hidup orang Simalungun.

BACA JUGA: Tuan Rondahaim Saragih Pantas Menerima Anugerah Pahlawan Nasional 2024

Terkait dengan penerbitan ulang buku Biografi Tuan Rondahaim Saragih, “Sebuah Kisah Kepahlawanan Menentang Penjajahan di Simalungun, Penulis Pandita Raya J. Wismar Saragih, penerbit NCBI-PMS, Juli 2024”, ada beberapa nilai budaya Simalungun yang melatar-belakangi perjuangan Tuan Rondahaim Saragih menentang penjajah Belanda, yaitu:

1. Habonaron do Bona sebagai jalan dan landasan hidup orang Simalungun sejak zaman Kerajaan Nagur, hidup dan berkembang dalam kesehari-hariannya.

BACA JUGA: Tuan Rondahaim Saragih Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Tunggu Keputusan Presiden Jokowi

Nilai budaya yang mengajarkan sikap jujur, adil dan benar dalam kehidupan, dan filosofi ini betul-betul dipegang teguh oleh Tuan Rondahaim selama hidupnya, seperti:

a). Amang bani haganup

Istilah amang sungguh dalam maknanya, bukan sebatas berarti bapak, tetapi berarti juga panutan, pengayom, pelindung, penerus kuasa gaib dari sejak leluhur.

Di dalam bahasa Simalungun, kata amang banyak terdapat dalam mantera, dan dalam ratapan orang Simalungun memakai istilah: amang na umbanei, amang na umbalos, amang siadopan.

Tuan Rondahaim adalah amang tempat rakyat mengadu untuk setiap persoalan baik nafkah, silang sengketa, perkara bahkan perjodohan.

Orang yang sulit menikah atau tidak mampu membayar mas kawin bila mengadu kepada Rondahaim, orang itu akan dibantunya bahkan tidak segan-segan Rondahaim memilih sendiri jodoh orang yang meminta pasangan kepadanya bahkan menggelar pesta pernikahan untuk orang tersebut dari uang pribadinya.

Sebagai amang, Rondahaim adalah sosok yang religius yang taat dengan ajaran agamanya (agama suku).

Sosok-sosok keramat sembahan orang Simalungun (sinumbah dan simagod) dihormatinya dan dipujanya dengan taat.

Adat dipegangnya teguh dan setiap pelanggar adat dihukumnya dengan keras. Pada masa Tuan Rondahaim setiap orang yang masuk ke Raya mesti menyesuaikan marganya dengan marga asli Simalungun.

Dengan demikian secara adat budaya, Kerajaan Raya benar-benar dijaganya betul supaya tetap beradat istiadat dan berkebudayaan Simalungun.

Sikap amang ditunjukkanya dengan menjadi teladan untuk semua orang, baik rakyat dan para pejabatnya.

Selain bersikap penolong, Rondahaim siap menerima maaf bahkan memulihkan nama baik seseorang.

Raja Goraha Gaim Purba Sidadolog yang terkenal ketangguhannya berperang itu tidak segan-segan dihukumnya karena sikap sang panglima yang terkesan setengah hati melaksanakan tugas yang diperintahkannya melawan musuh kerajaan.

Panglima Gaim Purba Sidadolog dibiarkannya terlentang di panas matahari di halaman istana ditonton orang banyak dengan tubuh terikat, setelah mulutnya disusupi bara kayu perapian.

Hukuman berakhir dan diampuni setelah Panglima Gaim mengaku tobat dan siap melaksanakan perintah Tuan Rondahaim menaklukkan musuhnya dalam pertempuran. 

b. Tipak Maradat 

Tuan Rondahaim sebagai kepala pemerintahan juga kepala adat. Di Simalungun sebetulnya adat berawal dari istana raja.

Acuan adat adalah praktek yang terjadi di istana raja. Itulah sebabnya, ada beberapa variasi dalam adat Simalungun, karena raja di Simalungun bukan hanya satu, di samping ada banyak partuanon yang masing-masing memiliki pola adat yang bervariasi di sana sini.

Sebagai raja, Tuan Rondahaim menghendaki supaya adat Simalungun menjadi amalan semua orang, termasuk kawula dan para pejabatnya. Juga setiap aturan yang menyangkut setiap orang harus dipatuhi.

c. Patunggungkon na patut sipatunggungon 

Tunggung berarti hormat. Setiap orang harus menghormati yang pantas dihormati. Sesuai kepribadian orang Simalungun, yang pantas dihormati (ipatunggung) guru, tuhang dan puang.

Guru adalah para pendidik, termasuk orangtua dan para datu, sebab mereka inilah yang mengajarkan anak-anak Simalungun baca tulis surat batak Simalungun dan ilmu-ilmu astronomi (parhalaan), obat-obatan (tambar-tambar) dan ilmu-ilmu magis yang lain (tondung, pidoras, parkasih, dan lain-lain).

Guru pada zaman dahulu sangat dihormati orang Simalungun. Jangankan rakyat biasa, raja sendiri sangat menghormati dan tergantung pada peranan guru ini, terutama di Kerajaan Raya dengan Guru Raya.

Guru pada zaman dahulu sangat dihormati orang Simalungun. Jangankan rakyat biasa, raja sendiri sangat menghormati dan tergantung pada peranan guru ini, terutama di Kerajaan Raya dengan Guru Raya.

Tuhang yaitu mereka yang mempunyai keahlian tertentu, seperti seniman, pembuat rumah dan alat-alat perkakas yang lain.

Terakhir, Puang yaitu pejabat pemerintah mulai dari pangulu (kepala kampung) sampai raja dan kerabat istana (partuanon, parbapaan) serta tondong pihak pemberi isteri.

Melecehkan puang, tuhang dan guru berakibat kutukan (sapata) dari dewata (Naibata). Terutama guru dipahami orang Simalungun sebagai perantara nagori tongah (tempat manusia tinggal) dengan nagori atas (tempat kedudukan para dewa) serta nagori toruh (dunia orang mati). 

d. Sijolom padan/bulawan 

Memegang teguh padan/bulawan (janji/sumpah) dan hasil musyawarah. Bagi orang Simalungun, melanggar sumpah sama dengan mencelakai diri sendiri seperti digambarkan pepatah, “Bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata” (lebih baik pindah telinga daripada mengingkari sumpah).

Dalam setiap kesepakatan yang dibuat raja-raja Simalungun dengan Rondahaim, prinsip ini dipegang teguh olehnya.

Dia tidak mau mengingkari padan atau janji yang sudah dibuatnya. Kadang-kadang kesepakatan yang sudah dibuat ternyata memposisikan dirinya dalam kondisi terjepit di antara dua pihak yang sebetulnya harus dihormatinya, seperti nyata dalam kesepakatannya dengan raja Panei, mertuanya, yang berperang dengan Tuan Nagaraja yang masih berstatus tondong raja Raya dari garis leluhur Sipinangsori raja Raya pertama.

Pada kondisi ini, Tuan Rondahaim harus bisa menempatkan dirinya dengan sangat hati-hati dan bijaksana tanpa melukai perasaan kedua belah pihak yang masing-masing adalah tondong Raya.

e. Dogil, mangkaporluhon na tang siporlunan

Memelihara harga diri secara wajar dan suka bekerja keras, berpola hidup sederhana serta memprioritaskan kebutuhan rakyat yang paling utama.

Tuan Rondahaim ditempa oleh kemiskinannya dan hal ini yang memacu dirinya untuk bangkit menjadi pemimpin yang disegani tanpa melupakan latar belakang penderitaan masa lalunya.

Oleh karena itu Rondahaim selalu mengupayakan dirinya peduli dengan penderitaan rakyatnya dengan tidak berpenampilan menyolok dengan pamer kemewahan dan kekuasaan.

Dia mengimbangi kemiskinan yang dia alami itu dengan kerja keras dan ini berdampak luas kepada rakyat yang meniru sikap serupa.

f. Pintor bani uhum

Rondahaim sebagai hakim tertinggi dalam pola peradilan tradisional Simalungun memutus perkara dengan seadil-adilnya tanpa memandang siapa yang dia adili (lang sitonggor jumbak).

Panglimanya sendiri yang sudah banyak berjasa untuk kerajaannya dalam setiap pertempuran dihukumnya dengan keras, untuk contoh bagi orang banyak bahwa setiap tindakan yang memalukan kerajaan diganjar hukuman berat.

Tanpa mengabaikan hati nuraninya, keputusan hukum yang dibuat Rondahaim tidak membabi buta. Kadang-kadang hukuman yang sudah dijatuhkan pun dicabutnya kembali atau dibayarnya sejumlah uang denda kepada orang yang dihukum itu atas dasar kemanusiaan.

g. Siimbang Silopak Mata pakon Siposah Porang 

Rondahaim adalah sosok pemimpin pejuang rakyat yang anti penjajahan asing yang merampas hak-hak dan kemerdekaan orang banyak dan perpecahan akibat ambisi orang perorang yang merongrong persatuan dan kesatuan negara.

Dia mengimpikan satu Simalungun yang kuat dan bersatu tanpa intervensi penjajahan oleh pihak asing.

Oleh karena itu, bantuan militer yang diminta pihak yang bersengketa selalu disanggupinya bila menyangkut menjaga keutuhan daerah Simalungun.

Daerah kabupaten Simalungun sekarang ini tidak akan seperti sekarang ini seandainya Rondahaim tidak bersikap seperti ini, sebab di akhir abad XIX sudah banyak upaya kesultanan Melayu yang dicatur Belanda untuk mencaplok wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Simalungun demi perluasan daerah perkebunan milik maskapai asing yang memberikan keuntungan ekonomis kepada penjajah Belanda dan kroninya Sultan Deli.

h.  Pabolag pardiha-dihaon ampa hasoman marmunsuh 

Prinsip menjalin pakta militer sudah dipakai Rondahaim dalam perlawanannya dengan kolonial Belanda.

Dia menjalin hubungan dengan Sibayak Suka di Karo, pasukan Aceh di Gayo dan pasukan Sisingamangaraja di Tapanuli, serta pasukan Kerajaan Padang pimpinan Raja Syahbokar Saragih untuk bersama-sama melawan Belanda.

Pakta militer ini terbukti efektif, di mana selama hidup Tuan Rondahaim, Belanda tidak penah berani masuk ke Raya, dan baru tunduk kepada Belanda setelah Tuan Rondahaim wafat di Pamatang Raya pada tahun 1891.

2. Hasadaon do Bona ni Hatunggungon

Untuk menghadapi penjajah Belanda, Rondahaim menyadari betul bahwa tanpa persatuan dan kesatuan yang kuat mustahil melawan Belanda yang lebih kuat persenjataanya. Oleh karena itu persatuan harus diwujudkan lebih dulu di pusat kekuasaan. 

Masing-masing harajaan, gamot dan masing-masing fungsionaris kerajaan harus memiliki dasar perjuangan yang sama.

Pihak-pihak yang menghambat perjuangan ditertibkan atau disadarkan dan bila tidak diindahkan baru diambil tindakan tegas.

Tuan Rondahaim menghormati raja-raja pendahulunya Raja Marompat dengan tidak mengangkat dirinya sebagai raja.

Gelar Tuan Rondahaim sampai dia meninggal tidak pernah raja tetapi Tuan Raya, sebab dia sadar bahwa kedudukannya adalah raja goraha di Kerajaan Panei, kerajaan mertuanya sendiri yang sudah membesarkannya.

Penjajah Belanda yang meningkatkan Raya menjadi kerajaan ,di samping kerajaan yang sudah ada bersama Purba dan Silimakuta.

3. Nilai budaya dalam hal ekonomi, “dearan molting ase ulang rotap" 

Maksudnya, “lebih baik masih tersisa sedikit tali daripada putus sama sekali”. Untuk tujuan ini Rondahaim menerapkan sistem kolektif dalam mempersiapkan ransum untuk prajurit Raya.

Rakyat dimobilisasi sedemikian rupa sehingga Belanda terkecoh. Pada siang hari rakyat berlaku sebagai petani untuk persiapan perang, tetapi pada malam hari rakyat Raya berlaku sebagai prajurit gerilya menyerang posisi pasukan Belanda dan Sultan Deli di Padang Hulu. Siasat ini disebut “munsuh borngin”.

Dalam rangka ini pula, Rondahaim menggalakkan peternakan kuda untuk transportasi perang yang cepat dan murah di seluruh Kerajaan Raya.

Dengan pasukan berkudanya, pasukan Rondahaim dapat bergerak dengan lebih cepat dan tangkas berperang menaklukkan musuh. Pasukan berkuda Tuan Rondahaim ini terkenal dengan ketangkasannya hingga menciutkan nyali pasukan musuh.

Senjata api dan meriam diperoleh dari barter dengan saudagar senjata dari Malaka. Hasil bumi Raya dibarter dengan senjata itu.

Selain itu Rondahaim juga mengusahakan senjata api rakitan sendiri di antara prajuritnya, sehingga peralaan perang Tuan Rondahaim terlengkap dibanding perlengkapan perang raja-raja Simalungun yang lain. Semua pemakaian alat perang itu dipantau oleh Tuan Rondahaim melalui panglima-panglimanya yang membawahi beberapa kelompok prajurit terlatih. 

4. Nilai budaya solidaritas, “sauyun, sapangahapan ibani ganupan na masa”

Tuan Rondahaim adalah sosok pemimpin yang bukan hanya sibuk di meja atau istana. Tuan Rondahaim sosok pemimpin yang merakyat, yang sering turun ke kampung-kampung dan medan tempur mendampingi bahkan kadang-kadang memimpin sendiri pasukan tempurnya melawan Belanda.

Strategi perangnya diatur dengan sangat rapi dibantu prajurit-prajurit dari Aceh. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan prajuritnya dan melakukan yang terbaik untuk prajuritnya tersebut.

Penutup

Tuan Rondahaim Saragih Garingging wafat pada tahun 1891 meninggalkan orang-orang yang dikasihinya, termasuk rakyatnya.

Sepak terjang Tuan Rondahaim bagi para musuhnya dianggap sebagai suatu hal yang menakutkan, sehingga dia digelari Tuan Raya Na Mabajan atau Tuan Raya Nabisang (Tuan Raya yang Jelek atau Tuan Raya yang Bengis). Di antara tokoh-tokoh perlawanan Simalungun menentang Belanda, hanya Tuan Rondahaim satu-satunya yang berani melawan Belanda dengan kekuatan senjata.

Perlawanannya kepada Belanda adalah bukti ketidaksudian Rondahaim, negerinya dijajah oleh Belanda.

Dia lebih suka mati berkalang tanah daripada dijajah Belanda, oleh karena itu dia mengobarkan terus semangat berjuang, pantang menyerah dan berusaha supaya peluru Belanda tidak membunuh dirinya.

Kepada rakyatnya ditanamkannya semangat sebagai bangsa merdeka dan bermartabat! Dan perjuangan Tuan Rondahaim sebetulnya berhasil, sebab selama dia hidup, Belanda tidak berani masuk ke Raya, dan Raya adalah satu-satunya daerah di Simalungun yang merdeka yang tidak berani dimasuki orang kulit putih selama Rondahaim masih hidup.

Kalau daerah Simalungun hilir sudah dimasuki Belanda tahun 1865 terutama di Tanah Jawa dan Siantar, Raya baru dimasuki Belanda tahun 1896 setelah kematian Tuan Rondahaim.

Sebagai raja yang patuh dengan adat istiadat. Rondahaim sosok pemimpin berbudaya yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat banyak daripada kepentingannya sendiri.

Dia tidak meninggalkan banyak harta kepada Tuan Hapoltakan selain kemerdekaan negerinya yang bebas dari penjajahan Belanda.

Sejarah mencatat di masa Tuan Hapoltakan anak-nyalah, Raya menjadi daerah taklukan Belanda di mana Tuan Hapoltakan mengaku tunduk kepada Belanda dengan menandatangani surat pernyataan takluk pada tahun 1896, 1902 dan terakhir Korte Verklaring 1907.

Dari pemaparan ini Rondahaim layaklah disandingkan dengan pahlawan nasional yang lain di Indonesia.

Dibandingkan Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol dan Sangnaualuh Damanik, Rondahaim punya nilai lebih yang tidak dimiliki para pejuang itu, yakni bahwa Rondahaim tidak pernah dapat ditangkap, ditahan atau dibunuh oleh Belanda, meskipun Belanda sudah melakukan segala upaya untuk itu.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler